20 Oktober 2009

Di Sebuah Jembatan Penyeberangan


Sorot matanya begitu membekukan hati. Eni begitu kasihan melihat orang di depannya. Kira-kira 100 meter dari hadapannya. Pada hari seterik ini, ia bertarung dengan sinar matahari yang membakar kulitnya yang memang telah hitam terbakar karena entah berapa lama ia telah menantang matahari seperti itu.
Eni terpaksa berhenti. Ia merogoh recehan yang berada dalam tas mungil yang berisi peralatan rias, satu buku resep makanan dan sebuah gantungan kunci bertuliskan Malaysia. Beberapa bulan yang lalu, Eni sempat merasakan tingginya menara KL atau twin towers yang terkenal di seluruh dunia dan berbelanja di mall-mall ternama di sana. Hanya dalam beberapa hari saja, Eni dapat mengucapkan beberapa kata Melayu Malaysia, salah satunya adalah awak yang berarti kamu.
Perjalanan Eni di Malaysia merupakan perjalanan kedinasan yang mengharuskan dirinya meninggalkan suami dan anaknya yang masih berumur 7 tahun.
“Mama, Rian minta oleh-oleh ya,” ucap Rian polos.
“Iya sayang, mama akan belikan kamu oleh-oleh. Tapi Rian janji ya nggak nakal. Harus nurut sama papa ya,” Eni sempat berpesan sebelum berangkat ke Malaysia.
Setelah seminggu di Malaysia, Eni merasakan perbedaan yang berarti antara Malaysia dan Indonesia. Di Malaysia, semua serba teratur, disiplin dan penuh tanggung jawab, sementara di Indonesia, semua bertolak belakang dengan kondisi Malaysia.
Namun di Hatinya, timbul perasaan gundah. Bagaimanapun parah kondisi Indonesia, namun ia lahir dan besar di sini, Indonesia. Eni pun merasa bertanggung jawab atas semua yang pernah ia lakukan.
Eni terus mencari uang recehan yang tersembunyi di dalam tas mungilnya. Ia hanya mendapati sejumlah uang recehan. Ia menghitungnya pelan. Seratus, dua ratus, lima ratus dan seribu. Ya, uang recehannya kini berjumlah seribu. Ia melangkahkan kakinya ringan. Ia berniat tulus untuk memberi orang yang berada di sudut jembatan penyeberangan dengan uang recehannya tadi.
Beberapa meter lagi ia akan memberikan uang receh itu, tapi tiba-tiba dari arah yang berlawanan seseorang menyenggolnya. Uang recehan yang terkumpul kini bertebaran dimana-mana. Ia memunggutnya cepat. Tangannya mencari-cari uang recehan yang terakhir untuk mengenapkannya menjadi seribu rupiah. Tapi sayang Eni gagal mengenapkannya. Kini yang berada dalam gengamannya hanya berjumlah 900 rupiah. Eni tampak lesu dengan peristiwa tadi. Orang yang menabraknya hanya pergi meninggalkannya yang sedang mencari uang recehan. Tanpa minta maaf sedikit pun. Apakah ini watak orang Indonesia? Apakah ini watakku?
Dilihatnya orang yang berada di sudut jembatan penyeberangan. Orang itu tertunduk lesu. Dengan baju yang telah pudar warnanya dan celana yang kumal, ia masih bisa bertahan.
Eni berjalan mendekatinya tanpa ragu. Ia menaruh uang recehan berjumlah 900 rupiah itu kedalam gelas plastik berukuran kira-kira 250 ml air. Aku mengenalinya pasti, karena aku sering meminum air kemasan itu.
Orang itu tak bergeming dengan uang pemberianku. Ia hanya menunduk. Eni terpaku sejenak. Ia melanjutkan langkahnya tanpa berhenti memperhatikan orang itu. Dan kemudian Eni berlalu tanpa memperhatikan orang berpenampilan lesu.
Busway koridor Salemba UI penuh dengan penumpang yang menunggu bus berwarna silver atau merah. Hari senin seperti ini biasanya memang ramai. Apalagi setelah jam 3 yang merupakan jam pulang kantor. Beberapa orang nampak tidak sabar dengan kondisi yang makin panas. Tisu-tisu nampak bertebaran tak beraturan di lantai koridor Busway Salemba UI. Eni berusaha membuang tisu yang dipakainya ke dalam tempat sampah yang memang telah di sediakan.
Eni ingat kembali perjalanannya di Malaysia. Kendaraan bus seperti busway di Jakarta lebih tertata dengan rapi. Bahkan, KL telah memiliki beberapa rute monorail yang cepat dan efisien bagi kaum pekerja kantoran. Ia merindukan perjalanan itu.
Sebetulnya, busway di Jakarta tak jauh berbeda dengan bus yang ada di KL. Tapi, penguna jasa bus itu sadar bahwa menjaga kondisi yang nyaman adalah kewajiban sehingga nantinya mereka akan menikmatinya kembali. Salah satunya adalah menjaga kebersihan koridor.
Dalam perjalanannya ke rumah, ia hanya membayangkan kenangannya di Malaysia yang menarik perhatiannya. Hanya seminggu, ia berada disana, namun kenangan yang ia raih akan tetap berada di dalam hatinya. Kenangan berada di Malaysia.
Eni menghempaskan tubuhnya pada sofa putih dekat televisi. Rian mendekati Eni. Kali ini Rian mencoba memeluk Eni.
“Mama capek ya, Ma,” ujar Rian.
“Mama capek banget. Rian sayang udah makan?” kata Eni menjawabnya.
“Belum, Ma. Mau bareng sama mama makannya,” kata Rian lugu.
Eni memutar pandangannya ke arah meja makan yang telah tersedia makan siang. Di meja itu terdapat dua piring yang masih tertutup.
Eni dan Rian bergegas ke meja makan. Di sana nampak Yuni, pembantu setia Eni telah siap menata kembali meja makan yang telah lama ditinggalnya.
Rian makan dengan lahapnya, sementara Eni hanya makan sesuap demi sesuap saja melihat kelahapan Rian. Eni terlihat senang dengan kondisi seperti ini, artinya Rian akan semakin tumbuh dan tambah berat badan. Berat badan Rian kerap kali menjadi masalah. Semenjak lahir, Rian berbobot di bawah normal karena memang Rian lahir Caesar sebelum bulan kelahiran yang semula direncanakan. Kecemasan sebetulnya melanda Eni sejak kelahiran Rian. Namun, kini Rian tumbuh menjadi anak yang cerdas dengan berat yang normal seusianya.
“Ma, Rian udah selesai makan. Rian mau bobo dulu ya, Ma,” Pamit Rian menuju kamar tidurnya di sebelah ruang keluarga.
“Iya, selamat bobo ya sayang. Mimpiin mama ya,”
Pikiran Eni kembali melayang pada pemilik sorat mata yang redup dan tak bersemangat. Sepertinya orang itu tak memiliki harapan untuk hidup. Bahkan untuk sedetik saja.
Kalau saja Eni berada dalam hal yang sama dengan orang itu, pastilah ia akan bernasib sama. Eni merupakan anak pertama dari pengusaha pertambangan ternama di Indonesia. Bagianya, untuk hidup bermewahan adalah hal mudah. Tapi, Eni memutuskan untuk hidup bersama suami tanpa menerima anugerah harta melimpah dari keluarganya. Keluarganya pun berubah pikiran dan dalam sekejap saja keluarganya menjauhi Eni. Jangankan untuk menjenguk orangtuanya, untuk menelepon pun tak boleh. Eni pun terima semua perlakuan itu dengan sabar.
Baginya, kebahagian suami dan anaknya adalah yang utama. Tanpa mengesampingkan keluarga dan orangtuanya yang telah membesarkan dirinya.
Eni mendesah melihat foto dirinya bersama bapak dan Ibunya. Ia terlihat ceria, hanya saja ia tak dapat bertemu dengan orangtuanya kini. Tak terasa air matanya meleleh. Ia tak dapat membendungnya lagi. Ia sesungukan menangis di bantal putih pemberian mamanya sebelum melahirkan Rian.
***
Orang itu masih tertunduk lesu. Tiba-tiba dari arah yang tak jauh darinya terlihat wanita setengah baya berhenti mendadak. Ia sepertinya mencari sesuatu dalam tas kecilnya. Orang itu masih tertunduk. Dari tadi pagi, ia belum makan sebutir nasi pun. Jangankan untuk makan sebutir nasi, untuk meneguk segelas air pun ia tak dapat melakukannya.
Terlihat hanya beberapa uang recehan di gelas plastik. Mungkin hanya sekitar tiga ratus rupiah. Terik matahari terus menyengat badan orang itu. Badannya yang hitam, kini akan tambah lebih hitam legam. Tapi orang itu mencoba terus bertahan.
Orang itu melirik wanita setengah baya yang terlihat masih mencari sesuatu. Ia teringat masa lalu yang kini tergambar jelas. Tapi, mungkin ia salah melihat orang. Ia kembali tertunduk lesu.
Kini ia hanya tinggal menunggu nasib yang tak kunjung membaik. Ia sebetul terpaksa melakukan semuanya demi menyambung hidup. Ia mendiami sebuah gubuk kecil di daerah pinggiran terminal senen. Dalam gubuk itu ia harus berbagi dengan beberapa orang bernasib sama, bahkan ada yang lebih menderita darinya karena terpaksa harus merelakan dirinya berjalan dengan satu kaki.
Orang itu mendesah ringan. Ia masih menunduk. Sementara wanita setengah baya itu terhenti beberapa meter dihadapanya. Kemudian secara cepat datanglah seorang yang menabrak wanita itu dan recehan yang berada di tangan bertebaran dimana-mana. Wanita setengah baya itu bergeges memunggut kembali uang recehan.
Orang itu merasa kasihan, ia ingin menolong wanita itu. Tapi apa daya, apa jadinya bila ia menolong. Bukan terima kasih yang ia dapatkan namun mungking sebuah omelan dan pukulan karena telah menganggu wanita itu.
Wanita itu tampak kesal, ia kemudian menghitung kembali uang recehan itu. Namapaknya ada yang kurang dari uang recehannya karena ia berulang kali ia menghitungnya.
Kemudian ia mendekati orang itu dan menaruh uang recehan. Wanita itu terus memperhatikan orang yang berada di sudut jembatan penyeberangan. Dan kemudian berlalu.
Orang itu hanya dapat mendesah panjang. Ia tak dapat mengucapkan terima kasih pada wanita tengah baya itu. Ia mengucapkan syukur pada Tuhan. Ia bersujud sejenak. ia mengucapkan sesuatu yang lirih dan tak terdengar.
Mungkin inilah caranya untuk bersyukur di tengah kondisi Jakarta yang terlihat terik dan panas menyengat.
Setelah lama ia terduduk, ia kemudian bangkit dan meninggalkan sudut itu. Ia berjalan tergopoh tak seimbang. Ia mencoba bertahan dengan kondisinya. Di gengamnya uang hasil belas kasihan orang. Ia sebetulnya tak mau merepotkan orang yang lalu lalang di jembatan penyeberangan itu. Tapi, apakah yang harus dilakukan dengan kondisi yang makin memburuk?
Ia berjalan dengan tegap karena perutnya telah terisi makanan yang di belinya di pinggir jalan. Ia kembali ke gubuk kecil yang cukup pengap. Hanya ada beberapa orang yang telah terlelap. Ia merebahkan tubuh kurusnya ke atas tanah yang beralaskan karton bekas bungkus mie instan.
Ia tampak menikmati hangatnya alas karton. Kemudian diambilnya sebuah foto usang yang masih dapat ia lihat. Tampak empat orang yang tersenyum gembira. Ia merebahkan kembali tubuhnya. Tak terasa air matanya mengalir ke bawah hidungnya. Ia menangis.
Tangisannya tak terdengar oleh teman-temannya yang terlelap. Ia segera menyeka air matanya. Ia hanya dapat meratapi kondisinya yang memburuk. Sebetulnya nasib buruk yang membawanya kini hidup seperti ini.
Orang tuanya memiliki segudang perusahaan ternama. Ia mengelola sebagian perusahaan. Namun, semenjak kondisi Indonesia yang gonjang ganjing pada pertengahan 1997, perusahaan yang dikelolanya berangsur-angsur jatuh bangkrut.
Kondisi tersebut di perparah dengan perginya adik perempuannya yang menikah dengan seorang pengusaha kecil. Setahun setelah kepergian adiknya, mendadak bapaknya meninggal dan 2 tahun yang lalu ibunya menyusul bapaknya.
Kondisi perusahaan yang bangkrut menjadikan dirinya merasa kehilangan muka dan harga diri. Ia kemudian menjual semua aset perusahaan dan membayar semua hutang. Dan tinggallah kini ia meratapi nasib yang kini menderanya.
Ia mendesah, hatinya terasa sesak dan air matinya kini sudah mengering. Ia terus bersyukur. Dalam batinnya kini yang ada rasa syukur karena ia masih selamat dan masih memiliki dirinya yang utuh. Walaupun kini ia harus mengadu nasibnya dengan meminta-minta.
Ia mencoba memejamkan matanya yang kembali basah dengan air matanya. Ia kini benar-benar terlelap sambil memegang foto yang sudah usang.
***
“Bu Ira, saya duluan ya,” Eni bergegas pulang.
“Iya bu Eni. Hati-hati di jalan ya,” jawab bu Ira.
Eni tampak bergegas keluar dari kantonya yang berada di jalan Salemba. Ia berjalan menuju jembatan penyeberangan menuju ke koridor busway.
Ia melangkahkan kaki dengan ringan. Ia mengamati sudut jembatan penyeberangan. Ia tak mendapati lelaki agak tua yang kemarin ia temui. Sebetulnya ia ingin menolongnya dan memeberinya sebungkus nasi yang sengaja ia beli.
Eni penasaran dengan orang itu. Dalam hatinya, ia merasakan getaran kuat. Sepertinya ia mengenal orang itu, tapi bukankah orang tua dan kakaknya tinggal di Pondok Indah.
Sementara itu, di sebuah gubuk kecil beberapa orang terlihat sedih. Mereka mendapati temannya yang meninggal. Dari jenazah itu tercium bau harum dan wajahnya terlihat cerah bersinar, sementara di tangannya terdapat foto empat orang yang tersenyum bahagia.

Oleh : Januaribiroe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu bisa memberikan masukan, kritik dan saran untuk entry cerpen ini. Kata-kata kalian sangat membantu. Terima Kasih...