21 Februari 2011

Karena Diriku Seorang Emak 2

Semakin bertambah usiaku dengan hari-hari yang berlalu penuh penyesalan dan air mata. Udara dihatiku menjadi badai yang menyeruak mambuat aku terus mearasakan kesedihan diri atas anak-anakku. Terakhir ku dengan semua anakku sudah menikah dan Rukha baru melangsungkannya sebulan yang lalu. Sesak rasanya hatiku sebagai emak mereka. Tak satupun dari pernikahan mereka ku saksikan, bukan karena aku tak mau, tapi karena aku sangat malu dan sudah tak punya muka dihadapan maereka. Aku hanya bisa berdoa dari sini, agar mereka selalu diberi kebahagian dan agar aku diampuni, ampun untuk dosa yang tak terbendung karena telah mendurhakai putra-putriku.

Aku sudah tak muda lagi, sekarang umurku hampir 70 tahun. Badan ini rasanya sudah aus dimakan zaman, lemah dan sakit-sakitan. Begitu halnya dengan mas Seno, tapi dia lebih kuat dari pada aku. Di usianya yang lebih dari 70 tahun dia masih sehat dan jarang sakit, dia pula yang selalu mengurusku yang sudah tua retah dan sakit-sakitan. Sakitku bukan dibadan saja, rasa sesal di hati ini yang lebih menyakitkan hingga tubuh juga ikut ambruk tak berdaya. Yang kuingat selalu adalah putra-putriku, aku ingin sekali bertemu mereka sebelum aku mati. Aku tidak ingin mati menjadi bangkai penuh dosa... aku ingin sekali memeluk mereka, meskipun maaf baru kudapatkan dengan mencium kaki mereka. Aku rela demi ampunan anak-anak terhadap emaknya yang takberdaya ini.

Hati terus bersambung darah tak henti beralir, Yudi anak sulungku datang ke kalimantan bersama istrinya. Aku sangat pangling sekali dengannya. Anakku yang kutinggal saat masih remaja kini telah menjadi seorang bapak. Dia melihatku tak berdaya dipembaringan, lemah, sakit, dan tua sekali. Aku hanya dapat menangis bila memandang wajahnya, aku teringat berpuluh-puluh tahun silam, aku telah menelantarkannya  dan tidak memberikan dia kasih sayang. Dia datang untuk menjemputku, membawa aku kembali pulang ke jawa. Yudi dan istrinya merawatku selama seminggu di rumahku, hingga aku mengiyakan untuk ikut dia kembali ke jawa, aku rindu Huda, Rohmah, dan Rukha. Memang aku sudah lupa rupa mereka tapi aku masih ingat telah melahirkan mereka dan aku adalah emaknya meski hanya emak tak tahu diri.

Mas Seno tidak ikut kembali ke jawa karena dia masih mempunyai kewajiban di desa imigrasi itu sebagai abdi kelurahan di perkebunan. Akhirnya hanya aku yang ikut bersama Yudi dan Sani, menantuku. Aku sudah ingin bertemu anak-anakku yang lainnya hanya untuk meminta maaf. Memohon ikhlasnya hati mereka atas segala salahku di masa laluku, masa dimana aku seharusnya memberi kebahagiaan pada putra-putriku bukan mengukir luka yang meradang seperti saat ini.
***

Sampai di rumah Yudi aku aku disambut anak-anak Yudi yang sangat baik sekali kepadaku. Yudi bukanlah orang kaya, ia hidup sederhana dengan keluarganya, tapi ia sangat menyangi anak-anaknya, hingga rumah kecil dan bersahaja ini  menjadi selalu hangat dengan kebahagiaan. Lain dengan mendiang bapaknya dulu yang kaya raya karena keuletannya menjaga warisan keluarga, sosok putra sulungku ini sangatlah bersahaja. Ia hidup dengan keringatnya sendiri, jerih payahnya selama ini untuk kebahagiaan keluarganya. Melihat kenyataan ini hatiku ngilu sekali, mengingat dulu mas Parman adalah tuan tanah yang dihormati, sedang anakku tidak mendapatkan apapun dari dirinya karena aku, karena khilaf yang membutakan mataku untuk menghabiskan seluruh kekayaan mendiang suami pertamaku demi menikmati kesenangan dunia yang semu.

Sembilu berdarah merajam qalbu, menusuk dalam ke uluh hati. Sakit, perih dan panas. Seakan bara api keabadian tak kunjung padam, kekal dibawa mati. Anak-anakku juga berhati, merasa disakuti dan dikhianati oleh ibundanya sendiri. Setelah sekian lama ternyata luka itu tak lekas mengering, jangankan terangin angin... perih tersiram garam rasanya dengan kedatanganku lagi dihadapan mereka.

Sehari setelah kedatanganku di rumah Yudi, ketiga anakku lainnya datang menengokku. Huda dan Rohmah datang di sore harinya dengan istri dan suami mereka, sedangkan Rukha baru tiba di rumah Yudi selepas Maghrib. Putra-putriku bukan anak kecil lagi, mereka telah menjadi manusia dewasa yang tentunya mengetahui tentang konsekuensi kehidupan ini.

Lama mereka menatapku tanpa kata setelah mencium tanganku dengan airmata, airmata yang aku yakin bukan hanya airmata kebahagiaan namun merupakan luapan emosi kepadaku selama ini antara senang, kecewa, sedih dan trauma akan masa-masa yang denganku berupa ukiran pahit dariku.

Bayang-bayang masa lalu kembali menyapaku, menuntut keadilan.... meminta pertaanggung jawaban dan menyeretku dalam kedukaan yang melukai hatiku dengan belati beracun yang kupegang sendiri. Sesak dada ini, bahkan paru-parupun seakan tak mau menerima udara lagi untukku. Ku iklhaskan jiwa dan raga atau apa pun yang tersisa pada tubuh yang tua ini sebagai bayaran maaf dari darah dagingku...

”Mak, malang dirundung sengsara... hati ini beku jauh dari kasih sayangmu......., kami memang anakmu Mak, tapi pernahkah kau menjadi ibu kami selama ini..... siapa yang membelai kami disaat menangis, siapa yang merawat kami saat sakit.... bukan emakkan...!!!!! bulek Tri dan Bulek Sari yang memeluk kami dalam suka duka kami, bahkan saat kami kelaparan dan bapak kesakitan.... emak kah yang menyuapkan kasih sayang pada kami??????????????!!!!!!! Tidak Mak!!! Emak tidak pernah mengenal kami, karena kami hanyalah tumbal untuk mengganti kekayaan bapak yang emak Tuhankan”

”Maafkan emak Rohmah..... emak salah”

”tidak mak!!! Semua ini tak berarti” luka di hati Rohmah membara menyakitkan

”sudah mbakyu.... beliau emak kita..” pelukan Rukha menghambur ke mbakyunya yang tak kuasa menahan gejolak di hatinya....

”maaf kan emak nak....” hanya kata itu yang mampu ku ucapkan..... aku sudah takpantas mengucapkan apapun didepan anak-anak ku, bibir rasanya kelu.... suara pun hilang, berat memohon ampun diri.

Kamar ini saksi kehidupanku, saksi sebuah sidang dunia atas nestapa dan salah kepada para penghuni rahim yang menghujatku, Tuhan adalah seagungnya hakim... sedangkan aku hanyalah terdakwa yang tak berdaya... tanpa kebenaran... tanpa pembelaan.... yang kuharapkan hanyalah pelukan ikhlas dari hati para penghujatku sehingga Hakim dapat kembali tersenyum kepadaku dan rela menaungiku kelak...

Huda tetap diam dalam kekecewaan padaku... tak sepatah katapun ia ucapkan, hanyalah tatapan pilu yang melelehkan perasaanku.....

”Rohmah! Sudahlah...”  Yudi memeluk adik-adiknya, kemudian dia membelaiku dan mencium keningku.... kurasakan hangatnya hati  anak sulungku ini, hati yang penuh kasih sayang kepadaku.

”Maaf kan emak Nak..., emak salah, emak durhaka,.. emak berdosa.... balaslah emak nak..... pukul nak... pukul saja emak ini... emak rela mati asalkan kalian semua memaafkan emak” aku tak tahu harus mengatakan apalagi....

”Sampun Mak..... Cukup, kami anak-anakmu... kami berhutang nyawa padamu mak.... tidaklah pantas kami mendendam padamu Mak”  Yudi mencium tanganku dengan airmata yang semakin menyesakkan saja.

”Rohmah, Rukha, Huda... adikku...., cukup!!! Tidak pantas kalian terus memojokkan Emak.... hilangkan dendam kalian... tahanlah emosi kalian.... coba lihat diri kita sendiri..!!!! memangnya apa yang telah berikan kepada Emak... nggak ada kan... sedangkan hidup kita bila bisa digadaikan takkan sanggup mengganti peluh yang menetes dari raga Emak saat kelahiran kita...!!!!”

kata-kata Yudi dingin sekali menyentuh hatiku..... bara ini serasa padam dari api abadi penyesalan hidupku selama ini. Lega rasanya.... tangan-tangan anakku kembali menghangatkan rongga keputusasahan yang membeku selama ini. Yudi, Huda, Rohmah, Rukha.. tak kuasa menahan tangis mereka, memelukku, menciumku..... hangat rasannya..... aku bahagia sekali.... aku baru merasakan terlahir didunia ini sebagai seorang ibu, meskipun terlambat... aku sangat-sangat bahagia... kebahagian yang sudah sangat lama kulupakan dan kuragukan keberadaannya, namun sekarang kudapat merasakannya..... terima kasih Tuhan....

Diriku tak membeku lagi.. rasa ku membara.... hatiku ringan... aku baru terlahir kembali, kurasakan dunia ini terang benderang..... semua indah terlihat... oh Tuhan, sungguh nikmat kurasakan.....

lambat laun suara anakku terasa jauh, sentuhan hangat mereka sudah tak dapat kurasakan.... tapi hangatnya hati mereka yang penuh kasih sayang kekal di hatiku....  kulihat mas Parman, suamiku tampak sangat tampan sekali, dia tersenyum dan aku ingin berlari memeluknya............

”EMAK...!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
indah dan bahagia yang kurasakan.....
”TIDAK!!!!, EMAK!!!!!....................”

S E L E S A I

Oleh : Zulfikar Alya

14 Februari 2011

Karena Diriku Seorang Emak 1

KARENA DIRIKU SEORANG EMAK
Part 1


Layaknya hutan yang tak bertuan, sepi sendiri di tengah hingar bingar meganhnya dunia. Hanya lemah raga yang menemani dengan penyesalan tiada henti, aduan airmata yang semakin deras saja setiap hari, penuh duka, amarah, kecewa dan sesal, tidak kepada siapapun di sampingku, tapi amarah yang menyesakkakn hati atas diri yang rentah dan hina, berkubang dosa, salah, semu hanyalah bayangan dunia yang membutakan pandangan di masa lalu. Masa lalu yang telah menjadi luka bagi hati-hati yang tak berdosa, bagi raga-raga yang masih lugu, meninggalkan dendam, benci dan kekecewaan

Kamar ini, sepercik air oase bagi padang prahara di hatiku. Memang bukanlah ruangan yang indah dengan ornamen mewah, hanya sebuah bilik kecil. Bilik yang disekat dengan dinding papan kayu seadanya dengan jendela kecil dekat langit-langit. Tapi ini semua adalah isyarat, tanda sayang dan cinta dari putra sulung ku. Anakku yang telah lama ku tinggalkan dan ku abaikan tanpa cinta, kasih serta belaian sayangku. Aku mendurhaki mereka. Aku menyakiti mereka, aku.. aku.. hanya salah padaku atas mereka selama ini.

Aku hanyalah seorang emak yang berkhianat pada kodrat sebagai wanita. Berpuluh puluh tahun yang lalu aku adalah wanita tercantik di desaku, semua mata akan tunduk syahdu memandang eloknya parasku, lelaki manapun pasti tergila-gila dengan rupaku, layaknya bidadari sanjungan dari mereka. Hingga seorang pemuda kaya raya berhasil mempersuntingku sebagai belahan jiwanya. Mas Parman, Suamiku adalah juragan tanah yang makmur, sawahnya terhampar luas di desa itu, hasil panennya terbaik diantara semua petani saat itu, tak heran kalau hidupku serba makmur dan berkucupan. Tiada hal yang mustahil kumiliki, seakan jadi perempuan paling beruntung didunia. Meski hidup di desa, aku bahagia, bersuka atas semua hal yang dipenuhi suamiku dan atas segala penghormatan penduduk desa kepadaku sebagai wanita terhormat dan kaya raya

Hidup dengan kesempurnaan adalah hari-hariku, harta yang berlimpah, kehormatan yang tinggi dan suami yang selalu mencintaiku. Dia sangat memujaku, atas kecantikannku yang luar biasa menurutnya, lebih lebih aku telah bisa menghadiahinya anak-anak dambaannya. 5 tahun menikah kami sudah memilki 3 anak, 2 laki-laki dan seorang perempuan, Yudi, Huda, dan Rohmah. Suamiku sangat menyangi mereka dan selalu mencintaiku sehingga ia sama sekli tidak menginginkanku melelahkan diri untuk mengurus anak-anak kami. Batur- baturpun dibayar oleh mas Parman untuk mengurus gundik-gundik yang kulahirkan, sedangkan aku hanyalah ia minta untuk menikmati apa yang berikan kepadaku dan mempercantik diri untukku.

Hidup dalam kemakmuran dan berkecukupan membuatku menjadi sosok yang lupa segalanya. Duaniapun seakan sudah ada di genggamannku, aku tidak perduli dengan apapun tetek bengek di sekitarku, memperindah diri sendiri adalah hal yang terpenting bagiku. Mas parman memboyongku dari orangtuaku sejak kami menikah, sehingga aku sudah jarang sekali bertemu dengan ke dua saudaraku, Sari dan Tri. Mungkin karena harta yang membutakan hatiku, aku sudah berubah menjadi perempuan sombong dan acuh. Pernah suatu hari Sari datang ke rumahku untuk meminta bantuan, ia mengatakan padaku kalau anaknya sedang sakit keras dan di butuh biaya besar untuk pengobatan anakknya. Entah apa yang kupikirkan waktu itu sehingga aku menolak mentah-mentah kedatangannya yang seperti pengemis, bajunya kotor, lusuh dengan rupanya sudah persis gelandangan, memang waktu itu suaminya hanyalah seorang buruh angkut di pasar, sehari-hari keluarga mereka hidup serba kekurangan, apalagi ditambah dengan anaknya yang sednag sakit parah, semakin terpuruk saja keadaan adikku ini. Tapi itu semua sama sekali tidak membuat hatiku tersentuh untuk membantunya. Aku malu punya saudara seperti dia.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Sari saat itu, tidak dengan membantunya, aku malah mengusirnya. Aku marah padanya, salah sendiri kenapa dia mau menikah dengan orang miskin seperti suaminya itu yang hanya bisa memberikannya penderitaan sekarang saat dia kesulitan aku juga yang direpoti. Aku merasa Sari terlalu bodoh dan aku tak peduli lagi dengan urusannya sekalipun ia meronta-ronta memohon kepada ku tidak ada rasa kasihan di hatiku. Esoknya Sari datang lagi dengan diantar Tri, dan aku tetap beku. Kuusir mereka dan kuminta orang suruhan suamiku untuk menyeret mereka keluar rumahku.

”bagai batu yang tak berhati dirimu mbak, aku tidak akan mengemis padamu lagi. Aku kira sampeyan masih dulurku!!!, sesambung darah dari rahim...., tapi kalau memang ati wis malih rupa, batupun tidak sekeras hatimu.... ” kata-kata itulah yang sampai sekarang benar-benar lekat di benakku sebagai sesal di kemudian hari.

Mas parman tidak pernah marah kepadaku, dia hanya bertutur kalem agar aku besikap baik kepada saudara-saudaraku, tapi aku tetap segala-galanya bagi mas parman sehingga dia tidak akan pernah menggugat buruknya perangaiku. Lebih-lebih setalah aku melahirkan Rukha, anak keempatku. Bertambahlah suka cita dan cinta suamiku kepadaku. Aku telah memberinnya dua anak lelaki dan dua anak perempuan yang didambanya selama ini. Betapa ia merasa sempurna memandangku sehingga kesalahan kesalahanku sudah tak tampak lagi baginya meski ada di pelupuk matanya, yakni tergantikanya kasih sayangku kepada buah hati kami dengan harta dan kekayaan yang kupuja dengan sepenuh jiwa raga.

Yudi, Huda, Rohmah, dan Rukha secara badaniah adalah anak-anakku, darah dagingku dan mas Parman, akan tetapi nyatanya, sehari-hari merekalah putra-putri batur-batur yang kubayar untuk mengasuh mereka. Mereka memanggilku emak, hanya suatu panggilan tentunnya, ada di bibir saja namun tak secuil hati mereka menyebutku benar-bener sebagai seorang emak. Salahku sendiri memang, aku sangat jarang memberi perhatian kepada mereka, hanya uang yang berlimpah kutitipkan pada batur-batur untuk memenuhi segala permintaan anak-anakku. Aku tak sadar kalo itu semua masih jauh dari cukup. Mereka tidaklah bahagia, hati mereka kering dan akhirnya menjdi keras tanpa sentuhan kasih sayangku sebagai emak yang telah melahirkan mereka.

Yudi dan Huda tumbuh menjadi anak yang menyusahkan sekali, berkali-kali mereka berulah disekolah, dihukum gurunya bahkan hingga dikeluarkan. Suamiku sangat marah, sedikit berbeda dengan diriku yang acuh, mas Parman masih memperhatikan anak-anak kami, ia mendidik mereka dengan keras, melatih mental mereka dengan tangannya sendiri, tak heran jika Yudi dan Huda lebih hormat kepada bapaknya. Rohmah dan Rukha sangat menurut pada orang tuanya, meski mereka anak perempuan perhatianku kepada mereka tidak lebih dari perhatianku kepada batur-batur, kasar dan keras. Mungkin tidak salah bagi mereka berempat kalau tidak ada sosok seorang ibu di hati mereka.

***

Sudah belasan tahun kami menikah, bahkan Yudi sudah akan lulus SMP. Hidupku terasa selalu indah dengan kekayaan suamiku, hingga pada suatu saat mas Parman mulai sakit dan semakin hari semakin parah saja sakitnya. Sejak kecil mas Parman biasa hidup soro dan ngonyo dan disinilah mulai terasa lelahnya setalah sekian lama bekerja keras. Yudi dan Huda harus mengganti pekerjaan baapaknya nguusi hasil sawah, tapi tetap saja suamiku ikut mengawasi sambil mendidik mereka karena ia berharap agar suatu saat anakknya bisa mandiri kelak.

Hari berganti, bulan berlalu cepat. Sudah 2 tahun sakit mas Parman tak kunjung sembuh, dadanya sesak dan sering nyeri, dua bualan ini ia hanya bisa tergolek lemah di kamar. Segala pekerjaannya terbengkalai tidak ada yang mengatur bahkan beberapa petak sawah kami harus dijual untuk membiayai pengobatan suamiku. Secara umum ia masih muda, baru 40 tahunan, tapi karena sakitnya yang takkunjung sembuhnya ia tampak sangat tua dan lemah sekali. Karena badannya yang sudah tidak kuat lagi untuk mengurusi kerjanya, keadaan perekonomian keluarga kami pun kacau balau, belum lagi untuk mengobatan mas Parman sendiri yang tidak ada habisnya.

Takdir betul milik Tuhan. Tak lama setelah kondisi suamiku sangat lemah dan sering tidak sadarkan diri, Mas Parman pun menghembuskan nafas terkhir. Meninggalkan kami semua, aku dan anak-anakku tanpa pesan sama sekali. Aku hanya bisa meratap, membayangkan hidupku selajutnya yang sangat menghantuiku. Siapa lagi yang akan menanggung hidupkku dan anak-anaku... entahlah, aku sangat terpuruk sekali waktu itu. Begitu pula dengan anak-anakku yang benar-benar harus kehilangan satu-satunya sosok orang tua mereka yakni, suamiku tercinta.

Kepergian mas Parman membuatku limbung deperti anak ayam kehilangan indukknya, keadaan keluargaku kacau balau. Sepeninggal suamiku aku yang mengurus semua pekerjaannya, selama ini aku tidak pernah ambil bagian dalam urusan ini, aku sama sekali tidak tau menahu bagaimana harus melakukannya. Tapi semua usahaku untuk mengurus peninggalan suamiku hancur, semua pekerja menghilang, aku tidak tahu apa sebab jelasnya, mungkin memang aku tidak pandai mengurus pekerjaan karena yang kutahu selama ini hanyalah bagaimana merias diri dan menghamburkan uang.

Bingung karena sudah tidak banyak lagi kekayaan mas Parman yang tersisa akupun menjual semua sawah yang kami miliki agar aku bisa terus bersenang-senag dengan uang. Aku tak ambil pusing dengan Yudi, Huda, Rohmah, dan Rukha, meski aku ibunya aku tak seberapa kenal dengan mereka selama ini mereka lebih dekat dengan bu leknya atau adik-adikku. Biar Yudi menjadi anak badung sekalipun bahkan sampai dikeluarkan dari sekolahnya aku tak perduli, yang penting bagiku bersenang-senang dan menghamburkan uang. Sampai pada suatu saat aku bertemu dengan mas Seno seorang lelaki yang dapat memikat hatiku kembali. Dia mengaku adalah seorang komandan ABRI, waktu itu tenatara sangat dihormati hingga aku sangat tersanjung. Tak beberapa lama kamipun menikah.

Malang kepalang aku ini, ternyata aku hanya dibohongi oleh mas Seno. Ia bukanlah anggota ABRI, ia hanya tentara gadungan... lebih dari itu dia juga buronan polisi atas kasus pencurian. Selama ini aku kenal mas Seno sebagai seorang yang baik-baik, ia mengatakan kepadaku sedang ditugaskan di desaku, aku percaya saja dan sudah menggantungkan diriku kepadanya. Walaupun aku marah sekali dengan mas Seno aku tidak bisa berbuat apapun karena ku sudah menyerahkan diri sepenuhnya kepadanya. Benar-benar keputus asaan yang kumiliki waktu itu, aku rela kemanapun dan melakukan apapun demi mas Seno, karena aku sudah kalap dan gelap hatiku.

Sebulan setelah pernikahan kami desas desus kebohongan suami ke duaku ini sudah mulai terdengar. Merasa terancam dengan keadaan seperti mas Seno mengajakku untuk pindah ke luar pulau, saat itu di desa tetangga kami sedang ada pendaftaran imigrasi ke kalimantan. Akhirnya kami pun mendaftar dan pindah ke Kalimantan selatan daerah pedalaman, jauh dari kota. Mengetahui rencana seperti itu adik-adikku sangat tidak senang sekali, ia tidak tega membiarkan ke 4 anakku ikut pindah denganku. Aku tidak menghiraukan mereka sama sekali, biar mereka mau menahan anak-anakku disini aku tak perduli, dan itu bagus malahan... aku tidak perlu repot-repot lagi mendengan racauan anak-anak nakal itu. Aku lebih memilih hidup dengan mas Seno dari pada harus ribut mengasuh mereka.

Di kalimantan kehidupan kami tidak semakin baik, kami disana hanya diberi rumah dan lahan untuk memenuhi kehidupan. Tidak seperti mas Parman yang ulet mas Seno adalah lelaki pemalas ia juga tidak pandai mengurus lahannya sendiri hingga kami hanya bekerja menjadi buruh kebun saja selama berpuluh-puluh tahun disana. Setelah jauh dirantau aku jadi sering teringat dengan anak-anakku di jawa. Sudah jadi apakah Yudi dan Huda, sudah menikahkah Rohmah dan Rukha, sesak sekali dadaku ini mengingat mereka. Kehidupan di kalimantan serba susah dan sebuah janji mas Seno hanya bualan. Aku menyesal dan kecewa.

Kadangkala aku mengirim sepucuk surat ke Yudi, anak pertamaku. Sekedar bertukar kabar dan kesusahan kami, selama ini Yudi tidak pernah membalas surat dari ku, ia hanya mengirim wessel berisi sejumlah uang kepadaku. Aku sadar aku tak pantas mengadu kepada mereka, anak-anakku yang telah kusakiti. Suatu hari aku juga berkirim surat kepada Sari dan Tri untuk meminta maaf, dari itu aku baru sadar kenapa mereka begitu menyayangi putra-putriku. Saat mas Parman masih hidup secara diam-diam ia sering membatu keluarga Sri dan Tri, maka dri itu adik-adikku merasa berhutang budi pada mas Parman hingga mereka begitu menyayangi anakku.
 
Bersambung ke bagian 2


Oleh : Zulfikar Alya

09 Februari 2011

Love Is Crime


The Great Conqueror  Concubine, cakram film klasik Tiongkok yang disewanya hampir satu bulan yang lalu, tergeletak begitu saja didepan TV plasma kamarnya yang beraroma cendana. Tidak peduli berapa lama vcd itu berada dalam kamarnya, tidak peduli Joe bakalan mencak-mencak ketika bertemu dengannya untuk kesekian kalinya pada minggu ini.

“Sudahlah Joe, siapa sih, orang yang mau pinjam film itu lagi. Lagian kan , film itu sudah masuk kategori IV, tinggal menunggu waktu daur ulang saja diributin!” kilahnya, pada saat bertemu di sore harinya.

“Bon-bon sayang…..?”

“Hei, kuperingatkan ya, namaku Bonita, B-O-N-I-T-A! Ingat itu!” sergahnya dengan bermain-main.

“Iya, ya, tapi kamu perlu tahu, semua member disini pasti tahu segala peraturan peminjaman film disini. Karyawanku saja pasti aku tegur kalau telat mengembalikan pinjaman,” Joe menjelaskan. “Apa jadinya kalau mereka tahu, aku terlalu lunak kepadamu. Dan lagian, kenapa kamu tidak cari bahan lainnnya saja. Kenapa harus dari film?” Joe bersedekap sambil dagunya mengangguk-angguk kearah depan, seakan-akan mau menunjukkan peraturan peminjaman film yang tercetak dan tertempel di dinding kaca rental Joe’s, miliknya.

“Aku sudah terlanjur, dan lagi pula aku sudah pada bab yang tidak mungkin aku cabut lagi.” Bonita mengayunkan langkah, sambil ujung jemarinya mengelus badan cover dvd-dvd  yang tertata rapi di rak mika, seakan-akan jari-jari itu bisa memilihkan mana film yang layak dibawa pulang.

Joe sendiri sudah sibuk dengan mouse dan keyboard yang sebelum Bonita datang sudah dia hajar dengan jari-jarinya.

Dia sendirian malam itu, dua orang karyawatinya yang berjaga di shift malam, sama-sama meminta izin untuk menemani pacar masing-masing. Maklum, minggu keempat akhir bulan ini adalah long weekend. Bonita tahu akan hal itu, dan bukan kebetulan, karena ketika mereka sama-sama sepakat meminta izin cuti beberapa malam lalu, Bonita sempat mampir ke situ dan mendengar mereka berbicara dengan setengah berbisik.

“Pangeranmu kemana?” tanpa mengalihkan perhatian dari layar komputer.

“Ha, apa?” itu kebiasaan Bonita,meskipun sudah pasti mendengar. Hal itu kadang-kadang menjadi permasalahan ketika harus berbicara dalam suatu forum diskusi.

Joe memandangi dalam-dalam wajah Bonita, seakan-akan dia menjelaskan kalau dia malas untuk mengulang pertanyaan.

“Oh, dia. Katanya ada acara dengan klien,” jawab Bonita singkat.

“Hari ini, jam segini non!?” tanya Joe sambil mengalihkan pandangan kearah jam dinding satu-satunya yang ada di rental itu. 8.10 PM.

“Bukan acara resmi sich, cuma acara dinner,” jawab Bonita. “Itu yang aku tahu,” sambungnya.

Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Joe melayani dua orang pelanggan yang hampir setengah jam lalu mengitari seluruh rak-rak film. Bonita mengamati film-film baru yang tertata di rak new entry. Punggungnya terlihat dari tempat Joe, tampak naik turun, ketika gadis itu harus jongkok dan berdiri berulang-ulang didepan deretan cakram film.

Tiba-tiba tubuh gadis itu berdiri mematung,mengamati jalan raya di luar. Rak new entry memang diposisikan Joe bersandar pada dinding kaca. Sehingga pelanggan yang berdiri tepat di depannya bisa langsung melihat jalan raya. “Luck…! Ah, tidak mungkin. Cuma perasaanku saja dan penglihatanku saja yang salah,” gumam Bonita dalam hati. “Pasti”

Sebuah mobil jenis SUV berwarna hitam melaju tidak terlalu kencang, beberapa detik lalu. Mobil keluaran produsen Amerika itu jumplahnya pasti tidak bisa dihitung dengan jari manusia normal pada umumnya,apalagi ini kota metropolitan. “Tapi kenapa mobil tadi membuatku menjadi resah?”

“Bisakah kau menjemputku ditempat Joe sekarang, honey!?” kata-kata permintaan itu terucap begitu saja,tanpa menunggu ucapan hallo dari ponsel yang terhubung dengan ponselnya kini. Beberapa saat gadis itu terdiam, sudut matanya memicing. “Tidak yakin pasti pulang sampai jam berapa? tapi, tidakkah acara dinner mu itu cuma beberapa blok dari sini?” kembali gadis itu terdiam, tangan kanannya mencengkram erat ponsel yang ditempelkan di pelipis sebelah kanan, sambil sudut matanya tetap memicing. “Oh,ya sudah,kalau begitu. Tapi ingat! Jangan mabuk, Ok?”

“Perhatian sekali kamu non, memangnya sekarang dia ada dimana?” tiba-tiba Joe sudah berada hampir sejajar dengannya, dan dia kini sedang merapikan beberapa cakram film.

“Siapa?” Bonita memasukkan ponselnya kedalam tas DG yang tersampir di bahunya.

Joe mendongak dan memandang dalam-dalam kearah Bonita, sudah dua kali ini dia melakukannya, dan kali ini dia imbangi dengan sebuah senyuman.

“Dia dalam perjalanan ke Pub dan Resto di wilayah utara. Aku fikir dia cuma beberapa blok saja dari sini, makanya aku memintanya untuk mampir sekalian,” jawabnya.

“Untuk ikutan party sekalian?”

“Ah, tidak!” ucap Bonita singkat. Namun sebenarnya, fikirannya masih menerawang, mengingat sebuah mobil berwarna hitam yang baru saja lewat beberapa saat lalu.

“Kamu percaya sama alasan dia?” Joe memutar tubuh dan kembali ke meja kerjanya. “Ah, kelihatannya tidak tuh!?”

“Apa!?” Bonita mengernyit, tidak mengerti apa maksud ucapan Joe, namun  dilihatnya Joe sudah tenggelam separuh badan dibalik meja kerjanya.

***

Intensitas mereka bertemu memang berkurang akhir-akhir ini. Namun dengan persuasi yang baik, gadis itu bukan menjadi masalah, toh nostalgia kebersamaan mereka yang ia bangun secara halus dan intens, mampu meredakan kegusaran gadis itu. Kemampuan ini secara alami telah terasah lewat hari-harinya yang ia jalani di kantor. Meskipun sejak bersamanya, hampir tiga tahun ini, Bonita tidak lagi selugu  seperti pada awal-awal mereka menjalani hubungan ini.

“Wah, rasanya aku sanggup mengantarmu ke Solo setiap weekend, asalkan aku bisa menikmati gulai ceker ayam seminggu sekali,” ucapnya beberapa waktu lalu.

“Benarkah?” Bonita menanggapi dengan ekspresi senang, “Kukabulkan permintaanmu,” sambungnya.

“Yup!”

“Semester depan, aku sudah mengincar satu CV yang bergerak dalam industri batik etnik. Asalkan kamu masih setia, aku akan isi perutmu dengan ceker ayam,sampai kau pingsan, Ok?” Kata Bonita sambil mengerling.

Satu ciuman ia daratkan di pipi gadis itu, sebagai tanggapan atas guyonan ringan yang terjadi dilorong basement menuju tempat parkir mobil, di sebuah mall beberapa saat lalu sehabis nonton.

Itu adalah salah satu sekelumit kenangan yang masih terekam dibenaknya. Sekelumit kemampuan untuk menutup fakta yang ada,menutup gejolak jiwa yang akhirnya muncul secara alami dan meledak. Bisa dibilang begitu, setelah pesta gila yang terjadi beberapa minggu sesudahnya.

Dari puluhan “gentlement” yang hadir, hatinya tersedot oleh pesona cool dan kerlingan penuh arti dari pemuda semi mongoloid. Jefry, begitu pemuda itu mengaku, mahasiswa salah satu PTS terkenal, yang sama-sama menjadi new comers  pada saat pesta itu.

Kalau kebersamaannya bersama Bonita, adalah kamuflase yang sempurna yang ia ciptakan, intensitasnya bersama Jefry adalah panggilan jiwa. Harus ia akui itu, seperti malam ini.

***

Fikirannya terus berperang, antara sikap gentlement dengan sikap pengecut yang menohok dari sisi belakang. Semula angan-angannya membubung tinggi, ketika harapannya terbuka walau cuma sekian persen, sedangkan persentase yang lebih besar, telah ditunjukkan Bonita dengan sikap yang tetap care terhadap Lucky. Namun dalam beberapa pertemuan terakhir ini, secara tak terduga telah mengobarkan api kompetitor ke titik yang lebih membara, meskipun harus diakui cara-cara ini tidaklah fair untuk pria-pria yang seharusnya mengagungkan nilai sportifitas. “Tapi, ah, peduli amat!”

“Kamu tidak keberatan kan , kalau suatu saat aku membutuhkan bantuanmu, lebih dari apa yang telah kau perbuat selama ini?” dengan bersuara sedikit serak dan kalimat yang lebih pas untuk theatrical, Bonita memohon sesaat tadi.

“Apa itu?”

***

Kurang dari setengah jam, dari waktu biasanya, Joe menutup rentalnya secara “suka rela”. Dan tidak lebih dari lima belas menit, mereka berdua sudah berada didalam city car milik Bonita. Tidak ada yang memulai pembicaraan, ketika mereka melaju sedang  ke wilayah timur kota . Di pinggiran pantai, tempat maniak adrenalin bermedia kecepatan biasanya berkumpul.

“Enak juga mobil ini, apalagi di dapat secara cuma-cuma .tunanganmu hebat sekali nona”, fikir Joe. Joe tahu, mobil ini dibeli Bonita  dengan uang kurang dari lima puluh persen, dari yang seharusnya Bonita keluarkan.

Tak lama kemudian mereka telah puas mengobrak-abrik tiap sudut sirkuit dengan hasil yang nihil.

“Kita bisa mengisi bahan bakar dulu kan ?” Joe meminta, sambil menepuk-nepuk lambungnya.

“Di warteg saja!” tampaknya kalimat “kita” yang diucapkan Joe tepat pada waktunya.

11.12 PM, jam digital di dashboard menunjukkan waktu, dimana jalan-jalan protokol biasanya masih cukup padat. Namun paling tidak untuk malam ini, tiba-tiba berubah agak lengang. Pada saat-saat long weekend seperti ini, biasanya warga lokal bersuka cita akan kelonggaran “urat nadi” transportasi yang setiap hari dipenuhi warga pendatang yang mengais rejeki di salah satu kota terpadat di negeri ini.

Meskipun Joe memiliki license mengemudi, sebenarnya belum tentu sebulan sekali ia memegang kemudi bundar. License itu ia dapatkan, ketika liburan menjelang hari raya tahun kemarin, pada saat membantu pamannya yang terkenal sebagai juragan beras di kampung halamanya. Dan atas kebaikan pamannya itu jugalah, Joe bisa menyewa ruko sederhana dan membuka rental DVD, sekaligus membiayai kuliahnya sendiri.

Karena bisa dibilang langka, maka Joe memanfaatkan kesempatan yang ada ini untuk mengemudikan mobil keluaran terbaru ini dengan santainya. Gigi rendah, 50 km/jam. Si pemilik pun tampaknya tidak protes dengan cara Joe mengemudikan mobil, yang bisa dibilang masih lebih cepat anak belasan tahun yang sedang belajar mengemudikan mobil. Malahan, Bonita merendahkan tempat duduknya yang berwarna peach itu,  sambil mendengarkan denting piano Maxim yang di putar salah satu channel radio.

Pada saat itu, sebuah konvoi kecil sepeda motor, meraung dan menyalip mobil yang ditumpangi mereka berdua. Dilihat dari bendera yang dibawa oleh salah satu peserta konvoi, tampaknya mereka para bikers yang bernaung pada salah satu bengkel motor terkenal yang disponsori oleh perusahaan rokok. Beberapa saat kemudian, konvoi kecil itu menghilang di tikungan yang berjarak kurang lebih 300 m, dari mobil yang Joe kemudikan kini. Dan Bonita pun, sekarang malah memejamkan matanya. Late Dinner Music still go on.

***

Brak!

Mana yang lebih cepat, benturan itu, atau sebatang Marlboro membara yang meloncat ke sela-sela pahanya. Yang pasti Lucky buru-buru menjentikkan jari tengah dan ibu jarinya untuk mengusir sisa batang rokok yang seharusnya tidak akan membuat jok burgundy nya terlalu buruk.

“Oh, my God, my God!” perkataan itu berulang-ulang, seperti rentetan petasan Imlek dan keluar dari bibir pemuda di samping Lucky. Perhatiannya mengarah ke kerumunan orang-orang bersepeda motor yang kini sudah setengah lingkaran mengelilingi mobil yang mereka tumpangi.

Kekerasan adalah hal terburuk yang memungkinan terjadi pada saat itu, mereka berdua benar-benar seperti dua ekor tikus yang terjebak di dalam kaleng bekas, sementara itu dari segala arah, beberapa ekor kucing siap memangsa. Jefry tidak terfikir sedikit pun untuk bersinggungan dengan yang namanya kekerasan fisik, membayangkannya saja tidak pernah.

Hampir semua bikers itu telah mencopot helm masing-masing, dan beberapa dari mereka mulai merapat di sisi kiri dan kanan mobil SUV yang Lucky kemudikan.

Jefry berpaling ke arah Lucky, namun sepertinya Lucky tidak peduli atas kekhawatirannya. Kepalanya ia benturkan-benturkan di headrest.

“Cih, sialan!”

***

 “Oh Tuhan, apa aku tidak salah lihat!”

Joe menoleh, ia kira Bonita sudah tertidur. Tubuh gadis yang diam-diam ditaksirnya itu, langsung tegak dan dengan segera dia mengembalikan tempat duduknya keposisi normal. Joe segera melihat kea rah jam dua, di lihatnya sekerumunan pria dengan kuda besi masing-masing mengerumuni sebuah mobil berwarna hitam. Joe sebenarnya sudah tahu sebelum Bonita berteriak, namun ia berfikir ada insiden tabrakan yang seharusnya bukan menjadi urusan mereka berdua. “Tidak salah lagi, mereka para bikers tadi, dan…?”

“Kita menepi Joe!” Bonita membuka jendela di sisi kirinya, dan memberi kode kearah seorang pedagang kaki lima yang membawa rombongnya untuk lewat dari sisi kanan mobil yang ditumpanginya. “Joe!”

“Iya, iya, ini sudah menepi,” Joe yang telat menyalakan lampu sen kiri, segera membanting setir.

Bonita segera melompat keluar, sebelum mobil belum benar-benar berhenti.

Joe segera memotong jalan dan segera berpindah lajur jalan,  ketika Bonita sudah mencapai separuh badan jalan. Malam itu, dua ruas jalan itu benar-benar di bawah normal, hanya beberapa kendaraan saja yang lewat dalam rentang satu menit. Sungguh aneh, fikir Joe, dalam keadaan jalan sesepi ini bisa terjadi tubrukan, meskipun itu bisa dibilang insiden yang sangat kecil, karena Joe kini sudah melihat body kiri tepat dibelakang roda belakang mobil Lucky yang penyok.

“Lucky!”

“Nita, tunggulah di tepi, kami semua mau menepi!”, Lucky segera membuka mobil dari pintu depan sebelah kiri, mengambil sweather berwarna coklat susu dan dengan segera menyerahkannya ke Bonita sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut dengan sebelah tangan. “Kamu sama Joe? dari mana saja?”

“ Kamu mabuk ya?” Bonita menerima sweather itu, namun ia tidak segera memakainya.

Entah mendengar atau tidak, Lucky buru-buru masuk ke mobilnya dan menepikan kendaraan itu. Kini sebuah mobil produk USA , dan dua belas sepeda motor bermerk sama namun berbeda jenis sudah menepi, yang sebelumnya bergerombol di dekat portal pembatas jalan dua arah tersebut.

Joe yang mengurungkan niatnya untuk menyusul Bonita ditengah kerumunan tadi, kini bersandar pada kap mobil yang tadi dikemudikannya. Sementara itu tidak jauh dari tempatnya sepasang kekasih sedang beradu argument.

“Maaf ini nama saya,” tiba-tiba pria yang baru saja menjadi “korban” Lucky menyela perdebatan keduanya.

Lucky memperhatikan tanda pengenal itu, seorang anggota Brimob dari Mapolda. “Ya, saya mengerti, kita damai kan ?” sambil menyerahkan tanda pengenal itu, “Berapa kira-kira?” lanjutnya dan melirik sepeda motor jenis touring yang sayap depannya pecah dan handle rem yang bengkok.

“Sayap depan terdiri dari dua bagian, jadi kalau yang rusak separuh, kita tidak mungkin membeli satu bagian kan ?, dan handle rem depan!”, pria itu diam sesaat, “ Itu belum termasuk tangan saya, jadi mungkin…..?”

“Jadi anda minta berapa?” tampak nya Lucky sudah kurang sabar.

Pertanyaan bernada tinggi itu terasa tidak enak di telinga siapa pun yang mendengarnya. Dan sebelum anggota Brimob itu mendekat, Bonita yang tadi hanya mendengar negosiasi itu mencoba menengahi keadaan.

“Ok, ok, Lucky kamu bisa merendahkan suaramu sedikit khan?”

Lucky seperti mau protes ketika Bonita menyampirkan sweather yang tadi ia pinjamkan, ke pundak kirinya, namun Bonita sudah selangkah di depannya untuk menghadapi pria itu.

“Maaf, Mas, anda tahu kan kondisi teman saya?” diliriknya sekilas orang yang dimaksudkan itu, yang tak lain adalah tunangannya sendiri “Ok, memang teman saya yang salah, karena berkendara pada kondisi agak mabuk. Sekali lagi saya minta maaf,” imbuhnya.

“Nita!? aku masih normal, ehm…., maksudku, aku hanya minum beberapa gelas saja, tidak lebih. Tidak separah yang kau fikirkan!”

“Tapi Lucky…?”

“Maaf, mungkin saya yang salah. Apa segini sudah cukup?”, kini mereka membentuk segi empat, dengan Jefry sebagai orang terakhir yang melengkapi. “Saya kira sudah!?”

Ketiga orang itu menatap dalam-dalam kearah Jefry, dengan ekspresi yang tidak terdeteksi satu sama lain. Untuk sesaat semuanya menjadi terdiam.

Biker itu menoleh ke kiri empat puluh lima derajad, “Ok, aku terima. Tapi bukan kau yang mengemudikan mobil itu kan? jadi tidak usah pucat seperti itu.” Kemudian ia mengcungkan jempol kearah Jefry, dan berlalu.

Tak lama kemudian kedua belas sepeda motor itu menderu dan berlalu.

“Mereka semua apa sama-sama anggota kepolisian ya?” tanya Bonita sambil menyikut lengan Lucky.

“Ehm, mungkin!?” jawabnya sambil melirik Jefry.

***

Kalau siang hari, kota ini sangat panas dengan suhu bisa mencapai 40 derajad, dan pada bulan inilah pergantian musim terjadi, dari musim penghujan ke musim kemarau. Sebaliknya pada malam hari, udara dinginnya membuat kulit merinding, tipe hawa yang bisa berakibat buruk bagi kesehatan.

Bonita sudah bersin untuk yang kesekian kalinya, dan Lucky untuk kesekian kali pula memperingatkan untuk memakai sweather kepunyaannya, sweather hadiah ulang tahunnya dari Bonita. Namun gadis yang membelikannya itu tidak kalah ngotot menolaknya, yang terakhir ini alasanya terlalu kedodoran untuk dipakainya.

“Sorry, aku habiskan.”

Bonita hanya diam dan menunggu tegukan terakhir dari botol air mineral yang beradu bibir dengan Lucky.

“Kenapa….?” keduanya berbarengan, kemudian saling bertatapan. Kini, mereka berdua berada dalam satu mobil di mobil Bonita yang terparkir, dan sama-sama berada di sisi tempat duduk deret kedua, Lucky di ujung kiri, Bonita di ujung kanan. Ada space secara harfiah diantara mereka, mungkin secara psikologi juga.

“Bersama Joe, baru shopping?”

“Kau cemburu?”

“Tidak?! aku tahu kapasitas Joe”, sambil melempar bekas botol air mineral ketempat sampah yang berjarak kurang dari 5 meter, meleset.

“Ya, memang bukan itu yang harus dibahas,” Bonita menimpali.

Lucky memandangi lurus kearah Joe dan Jefry yang tampaknya membahas soal benturan di body mobilnya tadi. Mereka berdua sama-sama sibuk menghisap filter rokok dan duduk di moncong mobil SUV nya yang terparkir setengah menyerong. “Tidak! aku masih lebih keren dari pada Joe”

“Aku cuma heran Luck! aku sudah cukup lama mengenalmu. Bahkan kini….?” Bonita terdiam sebentar, ia merapikan rambutnya yang tertiup angin dari samping dengan cara menyisirnya memakai jari-jari tangan kirinya. Ada cincin yang melingkar di jari manisnya, dan sepertinya ia memang bermaksud tertentu dengan aksi seperti itu. “Untuk orang sedisiplin kau, memintaku untuk menelefon dan membangunkanmu setiap pagi ini sungguh aneh”

“Hei, bukankah kita bertunangan, bukankah kita harus saling mendukung untuk berbagai hal,” Lucky menggeser posisi duduknya, “Sayang? kau tidak ingin kan, kalau aku telat masuk kantor”

“Tapi ini sudah sebulan lebih Luck! aku tahu kau bukan tipe orang pemalas, tapi akhir-akhir ini….?” Bonita memandang kearah Lucky dengan wajah seperti akan menangis, “Aku takut kalau-kalau kau….?

“Kalau-kalau apa, cepat teruskan”

Mereka berdua sama-sama terdiam dan saling memandang. Lucky tidak bisa berkata apa-apa, dan menunggu kelanjutan kalimat dari Bonita, yang pasti pula, efek alkohol masih bersarang di ubun-ubun kepalanya. Bonita sendiri masih tidak percaya kalau baru saja ia hampir mengucapkan kata-kata yang 180 derajad bertolak belakang dari kenyataan yang diketahuinya tentang tunanggannya ini.

***

“Kita putar balik atau….?”

“Biarkan mereka pergi dulu Joe!”

Kini Joe sudah kembali berada di depan kemudi mobil Bonita, dan Bonita sendiri, sedang memandangi mobil hitam yang ditumpangi tunangannya beserta teman prianya yang menurutnya agak misterius dan aneh. Mobil itu dengan pelan merangkak menaiki jalan beraspal, dan dua kali bunyi klakson terdengar seperti mewakili ucapan “sampai jumpa” ketika keempat roda mobil itu semuanya telah menapak aspal.

“Aku memang minum sayang, ya seperti malam ini, tapi tidak narkoba, percayalah, sedikitpun aku belum pernah menyentuh barang haram itu. Bahkan seingatku, aku tidak pernah melihat wujud asli barang-barang itu, tepat di depan mataku ,tapi kalau minum sih, jarang-jarang, kamu tahu sendiri kan? Dan lagi pula, kamu seperti tidak pernah minum saja. Eh, sorry lho kalau kata-kataku…?”

“Ya, kita memang pernah mabuk bersama Luck! Dan aku masih ingat, kapan itu, dan…….., dan aku tidak mau mengulangi hal konyol itu lagi”

“Why?”

“Why, kau sudah tahu kan, seisi kontrakkan menertawakanku. Belum lagi aku harus membersihkan lantai depan kontrakkan sesudahnya”

“Tapi, aku suka melihatmu pada saat mabuk, kau tampak seksi sekali. Tambah cantik”

“Jangan memaksakan pujian, pokoknya aku tidak mau teler lagi, titik. Kau juga jangan terlalu over kalau minum, lihat akibatnya tadi, untung mereka masih bisa sabar, coba jika sampai terjadi pengeroyokan”

“Ok, ok, honey, sorry ya, kepalaku berat banget, aku butuh istirahat, boleh aku sekarang…..”

“Ya pulanglah, kalau kau tidak kuat menyetir, jangan memaksakan diri, biar temanmu itu yang menyetir, cuma……?”

“Ya, apa?”

“Aku tidak suka teman priamu itu!”

“Hei, hei, perutku sudah tidak bisa ditolerir lagi nona, jadi tidak mentraktirku?”

Ucapan Joe seperti seember air dingin yang mengguyur lamunannya, “Siapa mentraktir siapa? bayar sendiri-sendiri!”

Joe hanya nyengir mendengar perkataan bernada canda itu, ia pun menghidupkan mesin mobil dan berputar balik di tempat terjadinya tubrukan tadi. “Aku ngeri melihat tatapan pria itu”

“Memang dia dari kesatuan Brimob. Mungkin semua teman-temannya pun, orang-orang militer,” Bonita menanggapi.

“Namanya Jefry begitu dia mengenalkan diri”

“Kapan kamu berbicara dengan dia, perasaan kamu tidak jauh-jauh dari mobil ini tadi”, tanya Bonita, heran.

Joe menatap Bonita sambil memicingkan sudut matanya, sambil terus mengawasi lalu lintas di depannya yang bertambah sepi.

Bonita tiba-tiba berucap, “Eh, namanya kalau tidak salah Rus…., Rustam, ya, Rustam. Kalau Jefry……, kau ini membicarakan siapa sih?”

“Aku membicarakan Jefry, temannya Lucky tadi!” jawab Joe.

“Ooooh, aku kira….?” Bonita diam sebentar, sebenarnya ia enggan membicarakan tentang pemuda berwajah Chinese yang bersama tunangannya tadi.

“Mereka berteman sudah lama?”

“Tentang Jefry tadi? malahan aku baru tahu kalau namanya Jefry”

“Eh?” sekarang ganti Joe yang bingung. “Kamu ini, gimana sih, teman tunanganmu sendiri tidak tahu?”

“Lucky itu orangnya workoholic tahu? waktunya banyak dihabiskan di tempat kerja, jikapun ada waktu luang, dia habiskan bersamaku saja, tidak pernah rame-rame,” balas Bonita. “Bahkan di sirkuit yang kita datangi tadi, ia sering mengajakku. Dulu sih pernah bersama teman sekantornya, tapi itu pun mereka berpasangan, berempat dengan aku dan Lucky, pendek kata, jujur saja ia tidak telalu punya banyak teman di luar tempat kerja,” imbuhnya.

“Mungkin Jefry teman yang dikenal Lucky di pub kali?” Joe menimpali.

“Mungkin?” sahut Bonita singkat, namun “Sebentar-sebentar, kamu tadi bilang apa? si Jefry membuatmu ngeri, maksudmu apa sih?”

Joe tampaknya ragu-ragu, namun akhirnya dengan pelan ia berkata, “Kamu pernah bilang kan, kalau, akhir-akhir ini Lucky bisa dikatakan kedisiplinannya berkurang!”

Bonita mengangguk, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa keingin tahunya lebih lanjut, dan hanya menunggu kalimat lanjutan itu setelah mobil yang dikendarai mereka berhenti di perempatan lampu merah.

“Sorry sebelumnya. Apa aku salah kalau berfikir soal narkoba?” akhirnya dugaan itu muncul juga.

Bonita menyandarkan kembali tubuhnya, “Jangan sampai itu terjadi.” Mobil itu berjalan kembali, ia pun berkata “Dia tampak serius meyakinkan aku soal itu, ehm…, maksudku, dia tidak berhubungan dengan barang-barang seperti itu. Dan aku percaya, karena aku tahu benar Lucky, merokok pun jarang, juga alcohol, kecuali tadi, mungkin dia lagi pas sial soal tabrakan kecil tadi”

Joe membiarkan suasana hening untuk beberapa saat, dan tidak langsung menanggapi penjelasan dari Bonita. Ia berharap ada kelanjutannya.

Akhirnya Bonita melanjutkan ucapannya “Tapi, sepertinya Lucky mau menutup-nutupi sesuatu, kau tahu?”

“Heh?”

“Lucky, tidak pernah melepaskan pandangan ke kalian sewaktu kau dan Jefry mengobrol di moncong mobil ini tadi! Dan lagi, si Jefry itu menatapku dengan pandangan sinis, belum lagi gerak-geriknya yang sangat aneh. Dia, Jefry, menatapku begitu tajam ketika Lucky tidak berhadapan langsung dengannya” Bonita menatapnya Joe sambil mengangkat bahu.

Akhirnya, Joe tidak kuasa menahan kata-kata yang ia pendam, “Kau tahu, sewaktu mengobrol di kap mobil tadi….” Joe mendesis seperti orang yang sedang menahan hawa dingin, “Tatapan matanya, seperti mau menelanjangiku!” sambil menunduk, dan menatap sebentar kedua belah pahanya. Kemudian menoleh ke arah Bonita sambil menyeringai.

Beberapa saat, Bonita menatap Joe dalam-dalam yang mengemudi tetap pelan dan tengah menikmati suara ceriwis penyiar radio yang pernah menjadi finalis Miss Earth beberapa tahun lalu.

“Stop Joe!” tiba-tiba suara Bonita memecah.

“What?”

“Stop, kita menepi sebentar!”

Joe membanting setir ke kiri dan mobil itu pun turun ke tepi jalan. Dilihatnya, Bonita sudah menempelkan ponsel kedekat pelipisnya sendiri.

***

Seandainya saja ia tidak terlalu banyak menenggak alkohol, seandainya saja tabarakan kecil itu tidak terjadi,mungkin Bonita tidak akan menemukanya. Dan ia masih punya kesempatan untuk menentukan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Namun sekarang ia merasa sudah tidak punya waktu lagi untuk menimbang-nimbang, apa lagi pemuda yang membuat hatinya tergetar, yang ada disebelahnya ini, seperti benar-benar tidak memberi kesempatan untuk berfikir lagi. Harus segera di putuskan, “Ya, segera”

Keheningan membekukan suasana yang semula pecah, ketika mereka beradu argument sebelumnya. Tidak ada yang memulai berbicara untuk beberapa saat. Kini mereka berhenti di sebuah sudut taman kota yang tercahaya remang-remang oleh lampu  taman bermozaik yang berada di tengah-tengah taman.

Jefry masih membuang muka keluar jendela, ekspresi wajahnya seperti seseorang yang baru patah hati. “Kapan kau akan memutuskan?” ucapnya lirih, bahkan nyaris tidak terdengar.

“Setelah ia mengembalikan sweather itu nanti”

 “Kau yakin secepat itu, atau aku yang akan……, pergi!”

“Jangan Jef, please!?” Lucky mencoba meraih tangan Jefry namun pemuda itu menghindarinya. Lucky mengalah, baginya ia harus memberikan pembuktian dari pada janji-janji. Jefry mengira kalau ia berbohong, memang kepada Bonita dan mungkin kapada semua orang yang berperilaku normal yang ada disekitarnya. Tapi, kepada Jefry ia tidak bisa menutup-nutupi, apalagi pemuda yang dikenalnya ini ternyata sefaham dengannya, dan ada chemistry pula. “Persetan dengan yang namanya normal atau pun yang tidak normal, aku hanya ingin hidup jujur dan aku tidak bisa berbohong terus menerus. Oh Tuhan kuatkan hatiku, kalau ini memang jalanku”

 “Kau tahu, buat orang seperti kita Luck, kejujuran itu sangat penting, dan kau telah bertunangan. Aku benar-benar tidak mengira kalau cincin itu….?”

“Cincin ini!” Lucky melolos cincin yang melingkar di jari manisnya dan meletakkan secara asal di dashboard mobil. “Sekarang aku kuat bersamamu Jef, please, kau tahukan bagaimana ekspresi dan perasaanku selama ini,” ia mencoba merapat kembali, kali ini tidak ada penolakan.

Hanya tongkat transmisi yang menghalangi mereka, dan ketika wajah mereka  hampir merapat dengan intim, cahaya di belakang kendaraan yang mereka tumpangi menerobos masuk.

Ketika mereka menoleh, terlihat Bonita sudah menempatkan mobilnya kurang dari lima meter dibelakang mereka. Tanpa mematikan mesin dan lampu dia menghambur keluar.

Lucky bersiap-siap menyambut gadis yang sebentar lagi akan menjadi “mantan” tunangannya itu, namun ia tidak menyangka, Bonita malah menghampiri mobilnya dari sisi kiri.

Jefry dengan terpaksa membuka jendela, Bonita terlihat tersenyum, senyum yang menurut Lucky sangat aneh yang belum pernah dilihatnya selama ini. “Hai Luck, hai juga,” sambil menyapa Jefry. Jefry hanya menunduk dan tersenyum gatir.

“Nita, kau tidak perlu repot-repot mengembalikan sweather itu sekarang. Dan bukannya kau lagi sedang flu?” Lucky berbasa-basi.

“Siapa yang flu? malahan bisa dibilang aku lagi hot!”

Lucky dan Jefry saling memandang heran.

“Undangan yang kita sebar masih kurang Luck!”

“Apa, undangan?” Lucky  terhenyak.

“Ya, pernikahan kita, tapi tidak banyak kok, cuma kurang satu, untuk teman kita yang satu ini. Maaf, siapa nama anda, anda pasti sudah tahu kan nama ku dari Lucky?” Bonita menyodorkan tangannya, namun tidak mendapatkan sambutan dari Jefry.

Lucky hanya bisa menelan ludah, “Ia sudah tahu”

“Aku mau keluar. Aku mau mencari taksi!” Jefry buru-buru keluar dari mobil dan dengan reflek Bonita menghindari kibasan daun pintu.

“Jef, tunggu! Nita apa maksudmu?” Lucky dengan cepat keluar dari mobil.

“Asbun!”

“Apa?”

“Asbun Luck! asal bunyi Luck! mas Jefry, anda jangan pergi dulu!”

“Jef!” Lucky hampir mengejar, namun tatapan Bonita menghentikan langkahnya. Ia bingung mengambil keputusan dan hanya menggigit batang telunjuknya.

“Kejar dia! dan ini sudah berakhir,” Bonita melemparkan sesuatu yang berkilat kearah Lucky. Tepat mengenai dadanya dan jatuh ke tanah. “Kau aktor hebat Luck, kau pantas mendapat Pulitzer” 

Kalau situasinya tidak sedramatis ini, Lucky mungkin akan tertawa mendengar Bonita salah dalam menyebutkan nama penghargaan itu. Ia memungut cincin yang terjatuh itu, dan matanya mulai kabur. Sungguh, baru pertama kali ini ia menyakiti gadis itu, yang pertama dan yang paling telak.

“Kejar dia, dan ikuti nalurimu!” Bonita berkacak pinggang, pose yang sebenarnya untuk menutupi kerapuhannya, tubuhnya gemetar. Kalau saja bayang-bayang dedaunan yang berdiri dibelakangnya tidak meng hambat cahaya dan Joe tidak mematikan mesin mobil, tentunya butir-butir air matanya akan terlihat oleh Lucky. “Seandainya saja aku sadar bahwa, kau terlalu sopan Luck!”

***

From : +6285xxxxxxxxx
Good job, ku transfer, plng lmbt, lusa. Ok
J one

***

From : +6231xxxxxxx
Thanks, sbnrnya ku benr2 suka sm L, qta
tak usah ktmu lg.ok.slmt u uda bisa sama
B, bye. J two


S E L E S A I



                                                                                          Surabaya, July 2008
Oleh : Harun “Aaron” Setiawan