tag:blogger.com,1999:blog-47495162649722118252024-03-21T13:59:24.258+07:00Pulau CerpenKumpulan Cerita PendekEllious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.comBlogger20125tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-22768596341872112532011-02-21T20:00:00.000+07:002011-02-21T20:00:03.552+07:00Karena Diriku Seorang Emak 2<div style="text-align: justify;">Semakin bertambah usiaku dengan hari-hari yang berlalu penuh penyesalan dan air mata. Udara dihatiku menjadi badai yang menyeruak mambuat aku terus mearasakan kesedihan diri atas anak-anakku. Terakhir ku dengan semua anakku sudah menikah dan Rukha baru melangsungkannya sebulan yang lalu. Sesak rasanya hatiku sebagai emak mereka. Tak satupun dari pernikahan mereka ku saksikan, bukan karena aku tak mau, tapi karena aku sangat malu dan sudah tak punya muka dihadapan maereka. Aku hanya bisa berdoa dari sini, agar mereka selalu diberi kebahagian dan agar aku diampuni, ampun untuk dosa yang tak terbendung karena telah mendurhakai putra-putriku.<br />
<br />
Aku sudah tak muda lagi, sekarang umurku hampir 70 tahun. Badan ini rasanya sudah aus dimakan zaman, lemah dan sakit-sakitan. Begitu halnya dengan mas Seno, tapi dia lebih kuat dari pada aku. Di usianya yang lebih dari 70 tahun dia masih sehat dan jarang sakit, dia pula yang selalu mengurusku yang sudah tua retah dan sakit-sakitan. Sakitku bukan dibadan saja, rasa sesal di hati ini yang lebih menyakitkan hingga tubuh juga ikut ambruk tak berdaya. Yang kuingat selalu adalah putra-putriku, aku ingin sekali bertemu mereka sebelum aku mati. Aku tidak ingin mati menjadi bangkai penuh dosa... aku ingin sekali memeluk mereka, meskipun maaf baru kudapatkan dengan mencium kaki mereka. Aku rela demi ampunan anak-anak terhadap emaknya yang takberdaya ini.<br />
<br />
Hati terus bersambung darah tak henti beralir, Yudi anak sulungku datang ke kalimantan bersama istrinya. Aku sangat pangling sekali dengannya. Anakku yang kutinggal saat masih remaja kini telah menjadi seorang bapak. Dia melihatku tak berdaya dipembaringan, lemah, sakit, dan tua sekali. Aku hanya dapat menangis bila memandang wajahnya, aku teringat berpuluh-puluh tahun silam, aku telah menelantarkannya dan tidak memberikan dia kasih sayang. Dia datang untuk menjemputku, membawa aku kembali pulang ke jawa. Yudi dan istrinya merawatku selama seminggu di rumahku, hingga aku mengiyakan untuk ikut dia kembali ke jawa, aku rindu Huda, Rohmah, dan Rukha. Memang aku sudah lupa rupa mereka tapi aku masih ingat telah melahirkan mereka dan aku adalah emaknya meski hanya emak tak tahu diri.<br />
<br />
Mas Seno tidak ikut kembali ke jawa karena dia masih mempunyai kewajiban di desa imigrasi itu sebagai abdi kelurahan di perkebunan. Akhirnya hanya aku yang ikut bersama Yudi dan Sani, menantuku. Aku sudah ingin bertemu anak-anakku yang lainnya hanya untuk meminta maaf. Memohon ikhlasnya hati mereka atas segala salahku di masa laluku, masa dimana aku seharusnya memberi kebahagiaan pada putra-putriku bukan mengukir luka yang meradang seperti saat ini.</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
Sampai di rumah Yudi aku aku disambut anak-anak Yudi yang sangat baik sekali kepadaku. Yudi bukanlah orang kaya, ia hidup sederhana dengan keluarganya, tapi ia sangat menyangi anak-anaknya, hingga rumah kecil dan bersahaja ini menjadi selalu hangat dengan kebahagiaan. Lain dengan mendiang bapaknya dulu yang kaya raya karena keuletannya menjaga warisan keluarga, sosok putra sulungku ini sangatlah bersahaja. Ia hidup dengan keringatnya sendiri, jerih payahnya selama ini untuk kebahagiaan keluarganya. Melihat kenyataan ini hatiku ngilu sekali, mengingat dulu mas Parman adalah tuan tanah yang dihormati, sedang anakku tidak mendapatkan apapun dari dirinya karena aku, karena khilaf yang membutakan mataku untuk menghabiskan seluruh kekayaan mendiang suami pertamaku demi menikmati kesenangan dunia yang semu.<br />
<br />
Sembilu berdarah merajam qalbu, menusuk dalam ke uluh hati. Sakit, perih dan panas. Seakan bara api keabadian tak kunjung padam, kekal dibawa mati. Anak-anakku juga berhati, merasa disakuti dan dikhianati oleh ibundanya sendiri. Setelah sekian lama ternyata luka itu tak lekas mengering, jangankan terangin angin... perih tersiram garam rasanya dengan kedatanganku lagi dihadapan mereka.<br />
<br />
Sehari setelah kedatanganku di rumah Yudi, ketiga anakku lainnya datang menengokku. Huda dan Rohmah datang di sore harinya dengan istri dan suami mereka, sedangkan Rukha baru tiba di rumah Yudi selepas Maghrib. Putra-putriku bukan anak kecil lagi, mereka telah menjadi manusia dewasa yang tentunya mengetahui tentang konsekuensi kehidupan ini.<br />
<br />
Lama mereka menatapku tanpa kata setelah mencium tanganku dengan airmata, airmata yang aku yakin bukan hanya airmata kebahagiaan namun merupakan luapan emosi kepadaku selama ini antara senang, kecewa, sedih dan trauma akan masa-masa yang denganku berupa ukiran pahit dariku.<br />
<br />
Bayang-bayang masa lalu kembali menyapaku, menuntut keadilan.... meminta pertaanggung jawaban dan menyeretku dalam kedukaan yang melukai hatiku dengan belati beracun yang kupegang sendiri. Sesak dada ini, bahkan paru-parupun seakan tak mau menerima udara lagi untukku. Ku iklhaskan jiwa dan raga atau apa pun yang tersisa pada tubuh yang tua ini sebagai bayaran maaf dari darah dagingku...<br />
<br />
”Mak, malang dirundung sengsara... hati ini beku jauh dari kasih sayangmu......., kami memang anakmu Mak, tapi pernahkah kau menjadi ibu kami selama ini..... siapa yang membelai kami disaat menangis, siapa yang merawat kami saat sakit.... bukan emakkan...!!!!! bulek Tri dan Bulek Sari yang memeluk kami dalam suka duka kami, bahkan saat kami kelaparan dan bapak kesakitan.... emak kah yang menyuapkan kasih sayang pada kami??????????????!!!!!!! Tidak Mak!!! Emak tidak pernah mengenal kami, karena kami hanyalah tumbal untuk mengganti kekayaan bapak yang emak Tuhankan” <br />
<br />
”Maafkan emak Rohmah..... emak salah”<br />
<br />
”tidak mak!!! Semua ini tak berarti” luka di hati Rohmah membara menyakitkan<br />
<br />
”sudah mbakyu.... beliau emak kita..” pelukan Rukha menghambur ke mbakyunya yang tak kuasa menahan gejolak di hatinya....<br />
<br />
”maaf kan emak nak....” hanya kata itu yang mampu ku ucapkan..... aku sudah takpantas mengucapkan apapun didepan anak-anak ku, bibir rasanya kelu.... suara pun hilang, berat memohon ampun diri.<br />
<br />
Kamar ini saksi kehidupanku, saksi sebuah sidang dunia atas nestapa dan salah kepada para penghuni rahim yang menghujatku, Tuhan adalah seagungnya hakim... sedangkan aku hanyalah terdakwa yang tak berdaya... tanpa kebenaran... tanpa pembelaan.... yang kuharapkan hanyalah pelukan ikhlas dari hati para penghujatku sehingga Hakim dapat kembali tersenyum kepadaku dan rela menaungiku kelak...<br />
<br />
Huda tetap diam dalam kekecewaan padaku... tak sepatah katapun ia ucapkan, hanyalah tatapan pilu yang melelehkan perasaanku.....<br />
<br />
”Rohmah! Sudahlah...” Yudi memeluk adik-adiknya, kemudian dia membelaiku dan mencium keningku.... kurasakan hangatnya hati anak sulungku ini, hati yang penuh kasih sayang kepadaku.<br />
<br />
”Maaf kan emak Nak..., emak salah, emak durhaka,.. emak berdosa.... balaslah emak nak..... pukul nak... pukul saja emak ini... emak rela mati asalkan kalian semua memaafkan emak” aku tak tahu harus mengatakan apalagi....<br />
<br />
”Sampun Mak..... Cukup, kami anak-anakmu... kami berhutang nyawa padamu mak.... tidaklah pantas kami mendendam padamu Mak” Yudi mencium tanganku dengan airmata yang semakin menyesakkan saja.<br />
<br />
”Rohmah, Rukha, Huda... adikku...., cukup!!! Tidak pantas kalian terus memojokkan Emak.... hilangkan dendam kalian... tahanlah emosi kalian.... coba lihat diri kita sendiri..!!!! memangnya apa yang telah berikan kepada Emak... nggak ada kan... sedangkan hidup kita bila bisa digadaikan takkan sanggup mengganti peluh yang menetes dari raga Emak saat kelahiran kita...!!!!”<br />
<br />
kata-kata Yudi dingin sekali menyentuh hatiku..... bara ini serasa padam dari api abadi penyesalan hidupku selama ini. Lega rasanya.... tangan-tangan anakku kembali menghangatkan rongga keputusasahan yang membeku selama ini. Yudi, Huda, Rohmah, Rukha.. tak kuasa menahan tangis mereka, memelukku, menciumku..... hangat rasannya..... aku bahagia sekali.... aku baru merasakan terlahir didunia ini sebagai seorang ibu, meskipun terlambat... aku sangat-sangat bahagia... kebahagian yang sudah sangat lama kulupakan dan kuragukan keberadaannya, namun sekarang kudapat merasakannya..... terima kasih Tuhan....<br />
<br />
Diriku tak membeku lagi.. rasa ku membara.... hatiku ringan... aku baru terlahir kembali, kurasakan dunia ini terang benderang..... semua indah terlihat... oh Tuhan, sungguh nikmat kurasakan..... <br />
<br />
lambat laun suara anakku terasa jauh, sentuhan hangat mereka sudah tak dapat kurasakan.... tapi hangatnya hati mereka yang penuh kasih sayang kekal di hatiku.... kulihat mas Parman, suamiku tampak sangat tampan sekali, dia tersenyum dan aku ingin berlari memeluknya............<br />
<br />
”EMAK...!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”<br />
indah dan bahagia yang kurasakan.....<br />
”TIDAK!!!!, EMAK!!!!!....................”<br />
<br />
</div><div style="text-align: center;"><b>S E L E S A I</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: right;"><i>Oleh : Zulfikar Alya</i></div><div style="text-align: justify;"></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-56490746619490711662011-02-14T20:10:00.000+07:002011-02-14T20:10:01.051+07:00Karena Diriku Seorang Emak 1<div style="text-align: center;"><span style="font-size: large;">KARENA DIRIKU SEORANG EMAK</span></div><div style="text-align: right;"><b>Part 1</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Layaknya hutan yang tak bertuan, sepi sendiri di tengah hingar bingar meganhnya dunia. Hanya lemah raga yang menemani dengan penyesalan tiada henti, aduan airmata yang semakin deras saja setiap hari, penuh duka, amarah, kecewa dan sesal, tidak kepada siapapun di sampingku, tapi amarah yang menyesakkakn hati atas diri yang rentah dan hina, berkubang dosa, salah, semu hanyalah bayangan dunia yang membutakan pandangan di masa lalu. Masa lalu yang telah menjadi luka bagi hati-hati yang tak berdosa, bagi raga-raga yang masih lugu, meninggalkan dendam, benci dan kekecewaan</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kamar ini, sepercik air oase bagi padang prahara di hatiku. Memang bukanlah ruangan yang indah dengan ornamen mewah, hanya sebuah bilik kecil. Bilik yang disekat dengan dinding papan kayu seadanya dengan jendela kecil dekat langit-langit. Tapi ini semua adalah isyarat, tanda sayang dan cinta dari putra sulung ku. Anakku yang telah lama ku tinggalkan dan ku abaikan tanpa cinta, kasih serta belaian sayangku. Aku mendurhaki mereka. Aku menyakiti mereka, aku.. aku.. hanya salah padaku atas mereka selama ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Aku hanyalah seorang emak yang berkhianat pada kodrat sebagai wanita. Berpuluh puluh tahun yang lalu aku adalah wanita tercantik di desaku, semua mata akan tunduk syahdu memandang eloknya parasku, lelaki manapun pasti tergila-gila dengan rupaku, layaknya bidadari sanjungan dari mereka. Hingga seorang pemuda kaya raya berhasil mempersuntingku sebagai belahan jiwanya. Mas Parman, Suamiku adalah juragan tanah yang makmur, sawahnya terhampar luas di desa itu, hasil panennya terbaik diantara semua petani saat itu, tak heran kalau hidupku serba makmur dan berkucupan. Tiada hal yang mustahil kumiliki, seakan jadi perempuan paling beruntung didunia. Meski hidup di desa, aku bahagia, bersuka atas semua hal yang dipenuhi suamiku dan atas segala penghormatan penduduk desa kepadaku sebagai wanita terhormat dan kaya raya</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hidup dengan kesempurnaan adalah hari-hariku, harta yang berlimpah, kehormatan yang tinggi dan suami yang selalu mencintaiku. Dia sangat memujaku, atas kecantikannku yang luar biasa menurutnya, lebih lebih aku telah bisa menghadiahinya anak-anak dambaannya. 5 tahun menikah kami sudah memilki 3 anak, 2 laki-laki dan seorang perempuan, Yudi, Huda, dan Rohmah. Suamiku sangat menyangi mereka dan selalu mencintaiku sehingga ia sama sekli tidak menginginkanku melelahkan diri untuk mengurus anak-anak kami. Batur- baturpun dibayar oleh mas Parman untuk mengurus gundik-gundik yang kulahirkan, sedangkan aku hanyalah ia minta untuk menikmati apa yang berikan kepadaku dan mempercantik diri untukku.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hidup dalam kemakmuran dan berkecukupan membuatku menjadi sosok yang lupa segalanya. Duaniapun seakan sudah ada di genggamannku, aku tidak perduli dengan apapun tetek bengek di sekitarku, memperindah diri sendiri adalah hal yang terpenting bagiku. Mas parman memboyongku dari orangtuaku sejak kami menikah, sehingga aku sudah jarang sekali bertemu dengan ke dua saudaraku, Sari dan Tri. Mungkin karena harta yang membutakan hatiku, aku sudah berubah menjadi perempuan sombong dan acuh. Pernah suatu hari Sari datang ke rumahku untuk meminta bantuan, ia mengatakan padaku kalau anaknya sedang sakit keras dan di butuh biaya besar untuk pengobatan anakknya. Entah apa yang kupikirkan waktu itu sehingga aku menolak mentah-mentah kedatangannya yang seperti pengemis, bajunya kotor, lusuh dengan rupanya sudah persis gelandangan, memang waktu itu suaminya hanyalah seorang buruh angkut di pasar, sehari-hari keluarga mereka hidup serba kekurangan, apalagi ditambah dengan anaknya yang sednag sakit parah, semakin terpuruk saja keadaan adikku ini. Tapi itu semua sama sekali tidak membuat hatiku tersentuh untuk membantunya. Aku malu punya saudara seperti dia.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Sari saat itu, tidak dengan membantunya, aku malah mengusirnya. Aku marah padanya, salah sendiri kenapa dia mau menikah dengan orang miskin seperti suaminya itu yang hanya bisa memberikannya penderitaan sekarang saat dia kesulitan aku juga yang direpoti. Aku merasa Sari terlalu bodoh dan aku tak peduli lagi dengan urusannya sekalipun ia meronta-ronta memohon kepada ku tidak ada rasa kasihan di hatiku. Esoknya Sari datang lagi dengan diantar Tri, dan aku tetap beku. Kuusir mereka dan kuminta orang suruhan suamiku untuk menyeret mereka keluar rumahku.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">”bagai batu yang tak berhati dirimu mbak, aku tidak akan mengemis padamu lagi. Aku kira sampeyan masih dulurku!!!, sesambung darah dari rahim...., tapi kalau memang ati wis malih rupa, batupun tidak sekeras hatimu.... ” kata-kata itulah yang sampai sekarang benar-benar lekat di benakku sebagai sesal di kemudian hari.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mas parman tidak pernah marah kepadaku, dia hanya bertutur kalem agar aku besikap baik kepada saudara-saudaraku, tapi aku tetap segala-galanya bagi mas parman sehingga dia tidak akan pernah menggugat buruknya perangaiku. Lebih-lebih setalah aku melahirkan Rukha, anak keempatku. Bertambahlah suka cita dan cinta suamiku kepadaku. Aku telah memberinnya dua anak lelaki dan dua anak perempuan yang didambanya selama ini. Betapa ia merasa sempurna memandangku sehingga kesalahan kesalahanku sudah tak tampak lagi baginya meski ada di pelupuk matanya, yakni tergantikanya kasih sayangku kepada buah hati kami dengan harta dan kekayaan yang kupuja dengan sepenuh jiwa raga.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yudi, Huda, Rohmah, dan Rukha secara badaniah adalah anak-anakku, darah dagingku dan mas Parman, akan tetapi nyatanya, sehari-hari merekalah putra-putri batur-batur yang kubayar untuk mengasuh mereka. Mereka memanggilku emak, hanya suatu panggilan tentunnya, ada di bibir saja namun tak secuil hati mereka menyebutku benar-bener sebagai seorang emak. Salahku sendiri memang, aku sangat jarang memberi perhatian kepada mereka, hanya uang yang berlimpah kutitipkan pada batur-batur untuk memenuhi segala permintaan anak-anakku. Aku tak sadar kalo itu semua masih jauh dari cukup. Mereka tidaklah bahagia, hati mereka kering dan akhirnya menjdi keras tanpa sentuhan kasih sayangku sebagai emak yang telah melahirkan mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Yudi dan Huda tumbuh menjadi anak yang menyusahkan sekali, berkali-kali mereka berulah disekolah, dihukum gurunya bahkan hingga dikeluarkan. Suamiku sangat marah, sedikit berbeda dengan diriku yang acuh, mas Parman masih memperhatikan anak-anak kami, ia mendidik mereka dengan keras, melatih mental mereka dengan tangannya sendiri, tak heran jika Yudi dan Huda lebih hormat kepada bapaknya. Rohmah dan Rukha sangat menurut pada orang tuanya, meski mereka anak perempuan perhatianku kepada mereka tidak lebih dari perhatianku kepada batur-batur, kasar dan keras. Mungkin tidak salah bagi mereka berempat kalau tidak ada sosok seorang ibu di hati mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sudah belasan tahun kami menikah, bahkan Yudi sudah akan lulus SMP. Hidupku terasa selalu indah dengan kekayaan suamiku, hingga pada suatu saat mas Parman mulai sakit dan semakin hari semakin parah saja sakitnya. Sejak kecil mas Parman biasa hidup soro dan ngonyo dan disinilah mulai terasa lelahnya setalah sekian lama bekerja keras. Yudi dan Huda harus mengganti pekerjaan baapaknya nguusi hasil sawah, tapi tetap saja suamiku ikut mengawasi sambil mendidik mereka karena ia berharap agar suatu saat anakknya bisa mandiri kelak.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hari berganti, bulan berlalu cepat. Sudah 2 tahun sakit mas Parman tak kunjung sembuh, dadanya sesak dan sering nyeri, dua bualan ini ia hanya bisa tergolek lemah di kamar. Segala pekerjaannya terbengkalai tidak ada yang mengatur bahkan beberapa petak sawah kami harus dijual untuk membiayai pengobatan suamiku. Secara umum ia masih muda, baru 40 tahunan, tapi karena sakitnya yang takkunjung sembuhnya ia tampak sangat tua dan lemah sekali. Karena badannya yang sudah tidak kuat lagi untuk mengurusi kerjanya, keadaan perekonomian keluarga kami pun kacau balau, belum lagi untuk mengobatan mas Parman sendiri yang tidak ada habisnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Takdir betul milik Tuhan. Tak lama setelah kondisi suamiku sangat lemah dan sering tidak sadarkan diri, Mas Parman pun menghembuskan nafas terkhir. Meninggalkan kami semua, aku dan anak-anakku tanpa pesan sama sekali. Aku hanya bisa meratap, membayangkan hidupku selajutnya yang sangat menghantuiku. Siapa lagi yang akan menanggung hidupkku dan anak-anaku... entahlah, aku sangat terpuruk sekali waktu itu. Begitu pula dengan anak-anakku yang benar-benar harus kehilangan satu-satunya sosok orang tua mereka yakni, suamiku tercinta.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kepergian mas Parman membuatku limbung deperti anak ayam kehilangan indukknya, keadaan keluargaku kacau balau. Sepeninggal suamiku aku yang mengurus semua pekerjaannya, selama ini aku tidak pernah ambil bagian dalam urusan ini, aku sama sekali tidak tau menahu bagaimana harus melakukannya. Tapi semua usahaku untuk mengurus peninggalan suamiku hancur, semua pekerja menghilang, aku tidak tahu apa sebab jelasnya, mungkin memang aku tidak pandai mengurus pekerjaan karena yang kutahu selama ini hanyalah bagaimana merias diri dan menghamburkan uang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bingung karena sudah tidak banyak lagi kekayaan mas Parman yang tersisa akupun menjual semua sawah yang kami miliki agar aku bisa terus bersenang-senag dengan uang. Aku tak ambil pusing dengan Yudi, Huda, Rohmah, dan Rukha, meski aku ibunya aku tak seberapa kenal dengan mereka selama ini mereka lebih dekat dengan bu leknya atau adik-adikku. Biar Yudi menjadi anak badung sekalipun bahkan sampai dikeluarkan dari sekolahnya aku tak perduli, yang penting bagiku bersenang-senang dan menghamburkan uang. Sampai pada suatu saat aku bertemu dengan mas Seno seorang lelaki yang dapat memikat hatiku kembali. Dia mengaku adalah seorang komandan ABRI, waktu itu tenatara sangat dihormati hingga aku sangat tersanjung. Tak beberapa lama kamipun menikah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Malang kepalang aku ini, ternyata aku hanya dibohongi oleh mas Seno. Ia bukanlah anggota ABRI, ia hanya tentara gadungan... lebih dari itu dia juga buronan polisi atas kasus pencurian. Selama ini aku kenal mas Seno sebagai seorang yang baik-baik, ia mengatakan kepadaku sedang ditugaskan di desaku, aku percaya saja dan sudah menggantungkan diriku kepadanya. Walaupun aku marah sekali dengan mas Seno aku tidak bisa berbuat apapun karena ku sudah menyerahkan diri sepenuhnya kepadanya. Benar-benar keputus asaan yang kumiliki waktu itu, aku rela kemanapun dan melakukan apapun demi mas Seno, karena aku sudah kalap dan gelap hatiku.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebulan setelah pernikahan kami desas desus kebohongan suami ke duaku ini sudah mulai terdengar. Merasa terancam dengan keadaan seperti mas Seno mengajakku untuk pindah ke luar pulau, saat itu di desa tetangga kami sedang ada pendaftaran imigrasi ke kalimantan. Akhirnya kami pun mendaftar dan pindah ke Kalimantan selatan daerah pedalaman, jauh dari kota. Mengetahui rencana seperti itu adik-adikku sangat tidak senang sekali, ia tidak tega membiarkan ke 4 anakku ikut pindah denganku. Aku tidak menghiraukan mereka sama sekali, biar mereka mau menahan anak-anakku disini aku tak perduli, dan itu bagus malahan... aku tidak perlu repot-repot lagi mendengan racauan anak-anak nakal itu. Aku lebih memilih hidup dengan mas Seno dari pada harus ribut mengasuh mereka.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di kalimantan kehidupan kami tidak semakin baik, kami disana hanya diberi rumah dan lahan untuk memenuhi kehidupan. Tidak seperti mas Parman yang ulet mas Seno adalah lelaki pemalas ia juga tidak pandai mengurus lahannya sendiri hingga kami hanya bekerja menjadi buruh kebun saja selama berpuluh-puluh tahun disana. Setelah jauh dirantau aku jadi sering teringat dengan anak-anakku di jawa. Sudah jadi apakah Yudi dan Huda, sudah menikahkah Rohmah dan Rukha, sesak sekali dadaku ini mengingat mereka. Kehidupan di kalimantan serba susah dan sebuah janji mas Seno hanya bualan. Aku menyesal dan kecewa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kadangkala aku mengirim sepucuk surat ke Yudi, anak pertamaku. Sekedar bertukar kabar dan kesusahan kami, selama ini Yudi tidak pernah membalas surat dari ku, ia hanya mengirim wessel berisi sejumlah uang kepadaku. Aku sadar aku tak pantas mengadu kepada mereka, anak-anakku yang telah kusakiti. Suatu hari aku juga berkirim surat kepada Sari dan Tri untuk meminta maaf, dari itu aku baru sadar kenapa mereka begitu menyayangi putra-putriku. Saat mas Parman masih hidup secara diam-diam ia sering membatu keluarga Sri dan Tri, maka dri itu adik-adikku merasa berhutang budi pada mas Parman hingga mereka begitu menyayangi anakku.</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: center;"><i><b>Bersambung ke bagian 2 </b></i></div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: right;"><i>Oleh : Zulfikar Alya</i></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-91995122849739916952011-02-09T12:03:00.000+07:002011-02-09T12:03:07.900+07:00Love Is Crime<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">The Great Conqueror Concubine, cakram film klasik Tiongkok yang disewanya hampir satu bulan yang lalu, tergeletak begitu saja didepan TV plasma kamarnya yang beraroma cendana. Tidak peduli berapa lama vcd itu berada dalam kamarnya, tidak peduli Joe bakalan mencak-mencak ketika bertemu dengannya untuk kesekian kalinya pada minggu ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Sudahlah Joe, siapa sih, orang yang mau pinjam film itu lagi. Lagian kan , film itu sudah masuk kategori IV, tinggal menunggu waktu daur ulang saja diributin!” kilahnya, pada saat bertemu di sore harinya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Bon-bon sayang…..?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Hei, kuperingatkan ya, namaku Bonita, B-O-N-I-T-A! Ingat itu!” sergahnya dengan bermain-main.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Iya, ya, tapi kamu perlu tahu, semua member disini pasti tahu segala peraturan peminjaman film disini. Karyawanku saja pasti aku tegur kalau telat mengembalikan pinjaman,” Joe menjelaskan. “Apa jadinya kalau mereka tahu, aku terlalu lunak kepadamu. Dan lagian, kenapa kamu tidak cari bahan lainnnya saja. Kenapa harus dari film?” Joe bersedekap sambil dagunya mengangguk-angguk kearah depan, seakan-akan mau menunjukkan peraturan peminjaman film yang tercetak dan tertempel di dinding kaca rental Joe’s, miliknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Aku sudah terlanjur, dan lagi pula aku sudah pada bab yang tidak mungkin aku cabut lagi.” Bonita mengayunkan langkah, sambil ujung jemarinya mengelus badan cover dvd-dvd yang tertata rapi di rak mika, seakan-akan jari-jari itu bisa memilihkan mana film yang layak dibawa pulang.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe sendiri sudah sibuk dengan mouse dan keyboard yang sebelum Bonita datang sudah dia hajar dengan jari-jarinya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dia sendirian malam itu, dua orang karyawatinya yang berjaga di shift malam, sama-sama meminta izin untuk menemani pacar masing-masing. Maklum, minggu keempat akhir bulan ini adalah long weekend. Bonita tahu akan hal itu, dan bukan kebetulan, karena ketika mereka sama-sama sepakat meminta izin cuti beberapa malam lalu, Bonita sempat mampir ke situ dan mendengar mereka berbicara dengan setengah berbisik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Pangeranmu kemana?” tanpa mengalihkan perhatian dari layar komputer.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ha, apa?” itu kebiasaan Bonita,meskipun sudah pasti mendengar. Hal itu kadang-kadang menjadi permasalahan ketika harus berbicara dalam suatu forum diskusi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe memandangi dalam-dalam wajah Bonita, seakan-akan dia menjelaskan kalau dia malas untuk mengulang pertanyaan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Oh, dia. Katanya ada acara dengan klien,” jawab Bonita singkat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Hari ini, jam segini non!?” tanya Joe sambil mengalihkan pandangan kearah jam dinding satu-satunya yang ada di rental itu. 8.10 PM.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Bukan acara resmi sich, cuma acara dinner,” jawab Bonita. “Itu yang aku tahu,” sambungnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Joe melayani dua orang pelanggan yang hampir setengah jam lalu mengitari seluruh rak-rak film. Bonita mengamati film-film baru yang tertata di rak new entry. Punggungnya terlihat dari tempat Joe, tampak naik turun, ketika gadis itu harus jongkok dan berdiri berulang-ulang didepan deretan cakram film.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tiba-tiba tubuh gadis itu berdiri mematung,mengamati jalan raya di luar. Rak new entry memang diposisikan Joe bersandar pada dinding kaca. Sehingga pelanggan yang berdiri tepat di depannya bisa langsung melihat jalan raya. “Luck…! Ah, tidak mungkin. Cuma perasaanku saja dan penglihatanku saja yang salah,” gumam Bonita dalam hati. “Pasti”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebuah mobil jenis SUV berwarna hitam melaju tidak terlalu kencang, beberapa detik lalu. Mobil keluaran produsen Amerika itu jumplahnya pasti tidak bisa dihitung dengan jari manusia normal pada umumnya,apalagi ini kota metropolitan. “Tapi kenapa mobil tadi membuatku menjadi resah?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Bisakah kau menjemputku ditempat Joe sekarang, honey!?” kata-kata permintaan itu terucap begitu saja,tanpa menunggu ucapan hallo dari ponsel yang terhubung dengan ponselnya kini. Beberapa saat gadis itu terdiam, sudut matanya memicing. “Tidak yakin pasti pulang sampai jam berapa? tapi, tidakkah acara dinner mu itu cuma beberapa blok dari sini?” kembali gadis itu terdiam, tangan kanannya mencengkram erat ponsel yang ditempelkan di pelipis sebelah kanan, sambil sudut matanya tetap memicing. “Oh,ya sudah,kalau begitu. Tapi ingat! Jangan mabuk, Ok?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Perhatian sekali kamu non, memangnya sekarang dia ada dimana?” tiba-tiba Joe sudah berada hampir sejajar dengannya, dan dia kini sedang merapikan beberapa cakram film.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Siapa?” Bonita memasukkan ponselnya kedalam tas DG yang tersampir di bahunya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe mendongak dan memandang dalam-dalam kearah Bonita, sudah dua kali ini dia melakukannya, dan kali ini dia imbangi dengan sebuah senyuman.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Dia dalam perjalanan ke Pub dan Resto di wilayah utara. Aku fikir dia cuma beberapa blok saja dari sini, makanya aku memintanya untuk mampir sekalian,” jawabnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Untuk ikutan party sekalian?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ah, tidak!” ucap Bonita singkat. Namun sebenarnya, fikirannya masih menerawang, mengingat sebuah mobil berwarna hitam yang baru saja lewat beberapa saat lalu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kamu percaya sama alasan dia?” Joe memutar tubuh dan kembali ke meja kerjanya. “Ah, kelihatannya tidak tuh!?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Apa!?” Bonita mengernyit, tidak mengerti apa maksud ucapan Joe, namun dilihatnya Joe sudah tenggelam separuh badan dibalik meja kerjanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Intensitas mereka bertemu memang berkurang akhir-akhir ini. Namun dengan persuasi yang baik, gadis itu bukan menjadi masalah, toh nostalgia kebersamaan mereka yang ia bangun secara halus dan intens, mampu meredakan kegusaran gadis itu. Kemampuan ini secara alami telah terasah lewat hari-harinya yang ia jalani di kantor. Meskipun sejak bersamanya, hampir tiga tahun ini, Bonita tidak lagi selugu seperti pada awal-awal mereka menjalani hubungan ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Wah, rasanya aku sanggup mengantarmu ke Solo setiap weekend, asalkan aku bisa menikmati gulai ceker ayam seminggu sekali,” ucapnya beberapa waktu lalu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Benarkah?” Bonita menanggapi dengan ekspresi senang, “Kukabulkan permintaanmu,” sambungnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Yup!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Semester depan, aku sudah mengincar satu CV yang bergerak dalam industri batik etnik. Asalkan kamu masih setia, aku akan isi perutmu dengan ceker ayam,sampai kau pingsan, Ok?” Kata Bonita sambil mengerling.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Satu ciuman ia daratkan di pipi gadis itu, sebagai tanggapan atas guyonan ringan yang terjadi dilorong basement menuju tempat parkir mobil, di sebuah mall beberapa saat lalu sehabis nonton.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Itu adalah salah satu sekelumit kenangan yang masih terekam dibenaknya. Sekelumit kemampuan untuk menutup fakta yang ada,menutup gejolak jiwa yang akhirnya muncul secara alami dan meledak. Bisa dibilang begitu, setelah pesta gila yang terjadi beberapa minggu sesudahnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dari puluhan “gentlement” yang hadir, hatinya tersedot oleh pesona cool dan kerlingan penuh arti dari pemuda semi mongoloid. Jefry, begitu pemuda itu mengaku, mahasiswa salah satu PTS terkenal, yang sama-sama menjadi new comers pada saat pesta itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kalau kebersamaannya bersama Bonita, adalah kamuflase yang sempurna yang ia ciptakan, intensitasnya bersama Jefry adalah panggilan jiwa. Harus ia akui itu, seperti malam ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Fikirannya terus berperang, antara sikap gentlement dengan sikap pengecut yang menohok dari sisi belakang. Semula angan-angannya membubung tinggi, ketika harapannya terbuka walau cuma sekian persen, sedangkan persentase yang lebih besar, telah ditunjukkan Bonita dengan sikap yang tetap care terhadap Lucky. Namun dalam beberapa pertemuan terakhir ini, secara tak terduga telah mengobarkan api kompetitor ke titik yang lebih membara, meskipun harus diakui cara-cara ini tidaklah fair untuk pria-pria yang seharusnya mengagungkan nilai sportifitas. “Tapi, ah, peduli amat!” </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kamu tidak keberatan kan , kalau suatu saat aku membutuhkan bantuanmu, lebih dari apa yang telah kau perbuat selama ini?” dengan bersuara sedikit serak dan kalimat yang lebih pas untuk theatrical, Bonita memohon sesaat tadi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Apa itu?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kurang dari setengah jam, dari waktu biasanya, Joe menutup rentalnya secara “suka rela”. Dan tidak lebih dari lima belas menit, mereka berdua sudah berada didalam city car milik Bonita. Tidak ada yang memulai pembicaraan, ketika mereka melaju sedang ke wilayah timur kota . Di pinggiran pantai, tempat maniak adrenalin bermedia kecepatan biasanya berkumpul.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Enak juga mobil ini, apalagi di dapat secara cuma-cuma .tunanganmu hebat sekali nona”, fikir Joe. Joe tahu, mobil ini dibeli Bonita dengan uang kurang dari lima puluh persen, dari yang seharusnya Bonita keluarkan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tak lama kemudian mereka telah puas mengobrak-abrik tiap sudut sirkuit dengan hasil yang nihil.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kita bisa mengisi bahan bakar dulu kan ?” Joe meminta, sambil menepuk-nepuk lambungnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Di warteg saja!” tampaknya kalimat “kita” yang diucapkan Joe tepat pada waktunya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">11.12 PM, jam digital di dashboard menunjukkan waktu, dimana jalan-jalan protokol biasanya masih cukup padat. Namun paling tidak untuk malam ini, tiba-tiba berubah agak lengang. Pada saat-saat long weekend seperti ini, biasanya warga lokal bersuka cita akan kelonggaran “urat nadi” transportasi yang setiap hari dipenuhi warga pendatang yang mengais rejeki di salah satu kota terpadat di negeri ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Meskipun Joe memiliki license mengemudi, sebenarnya belum tentu sebulan sekali ia memegang kemudi bundar. License itu ia dapatkan, ketika liburan menjelang hari raya tahun kemarin, pada saat membantu pamannya yang terkenal sebagai juragan beras di kampung halamanya. Dan atas kebaikan pamannya itu jugalah, Joe bisa menyewa ruko sederhana dan membuka rental DVD, sekaligus membiayai kuliahnya sendiri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Karena bisa dibilang langka, maka Joe memanfaatkan kesempatan yang ada ini untuk mengemudikan mobil keluaran terbaru ini dengan santainya. Gigi rendah, 50 km/jam. Si pemilik pun tampaknya tidak protes dengan cara Joe mengemudikan mobil, yang bisa dibilang masih lebih cepat anak belasan tahun yang sedang belajar mengemudikan mobil. Malahan, Bonita merendahkan tempat duduknya yang berwarna peach itu, sambil mendengarkan denting piano Maxim yang di putar salah satu channel radio.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada saat itu, sebuah konvoi kecil sepeda motor, meraung dan menyalip mobil yang ditumpangi mereka berdua. Dilihat dari bendera yang dibawa oleh salah satu peserta konvoi, tampaknya mereka para bikers yang bernaung pada salah satu bengkel motor terkenal yang disponsori oleh perusahaan rokok. Beberapa saat kemudian, konvoi kecil itu menghilang di tikungan yang berjarak kurang lebih 300 m, dari mobil yang Joe kemudikan kini. Dan Bonita pun, sekarang malah memejamkan matanya. Late Dinner Music still go on.</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Brak!</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mana yang lebih cepat, benturan itu, atau sebatang Marlboro membara yang meloncat ke sela-sela pahanya. Yang pasti Lucky buru-buru menjentikkan jari tengah dan ibu jarinya untuk mengusir sisa batang rokok yang seharusnya tidak akan membuat jok burgundy nya terlalu buruk.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Oh, my God, my God!” perkataan itu berulang-ulang, seperti rentetan petasan Imlek dan keluar dari bibir pemuda di samping Lucky. Perhatiannya mengarah ke kerumunan orang-orang bersepeda motor yang kini sudah setengah lingkaran mengelilingi mobil yang mereka tumpangi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kekerasan adalah hal terburuk yang memungkinan terjadi pada saat itu, mereka berdua benar-benar seperti dua ekor tikus yang terjebak di dalam kaleng bekas, sementara itu dari segala arah, beberapa ekor kucing siap memangsa. Jefry tidak terfikir sedikit pun untuk bersinggungan dengan yang namanya kekerasan fisik, membayangkannya saja tidak pernah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hampir semua bikers itu telah mencopot helm masing-masing, dan beberapa dari mereka mulai merapat di sisi kiri dan kanan mobil SUV yang Lucky kemudikan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jefry berpaling ke arah Lucky, namun sepertinya Lucky tidak peduli atas kekhawatirannya. Kepalanya ia benturkan-benturkan di headrest.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Cih, sialan!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> “Oh Tuhan, apa aku tidak salah lihat!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe menoleh, ia kira Bonita sudah tertidur. Tubuh gadis yang diam-diam ditaksirnya itu, langsung tegak dan dengan segera dia mengembalikan tempat duduknya keposisi normal. Joe segera melihat kea rah jam dua, di lihatnya sekerumunan pria dengan kuda besi masing-masing mengerumuni sebuah mobil berwarna hitam. Joe sebenarnya sudah tahu sebelum Bonita berteriak, namun ia berfikir ada insiden tabrakan yang seharusnya bukan menjadi urusan mereka berdua. “Tidak salah lagi, mereka para bikers tadi, dan…?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kita menepi Joe!” Bonita membuka jendela di sisi kirinya, dan memberi kode kearah seorang pedagang kaki lima yang membawa rombongnya untuk lewat dari sisi kanan mobil yang ditumpanginya. “Joe!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Iya, iya, ini sudah menepi,” Joe yang telat menyalakan lampu sen kiri, segera membanting setir.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bonita segera melompat keluar, sebelum mobil belum benar-benar berhenti.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe segera memotong jalan dan segera berpindah lajur jalan, ketika Bonita sudah mencapai separuh badan jalan. Malam itu, dua ruas jalan itu benar-benar di bawah normal, hanya beberapa kendaraan saja yang lewat dalam rentang satu menit. Sungguh aneh, fikir Joe, dalam keadaan jalan sesepi ini bisa terjadi tubrukan, meskipun itu bisa dibilang insiden yang sangat kecil, karena Joe kini sudah melihat body kiri tepat dibelakang roda belakang mobil Lucky yang penyok.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Lucky!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Nita, tunggulah di tepi, kami semua mau menepi!”, Lucky segera membuka mobil dari pintu depan sebelah kiri, mengambil sweather berwarna coklat susu dan dengan segera menyerahkannya ke Bonita sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut dengan sebelah tangan. “Kamu sama Joe? dari mana saja?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“ Kamu mabuk ya?” Bonita menerima sweather itu, namun ia tidak segera memakainya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Entah mendengar atau tidak, Lucky buru-buru masuk ke mobilnya dan menepikan kendaraan itu. Kini sebuah mobil produk USA , dan dua belas sepeda motor bermerk sama namun berbeda jenis sudah menepi, yang sebelumnya bergerombol di dekat portal pembatas jalan dua arah tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe yang mengurungkan niatnya untuk menyusul Bonita ditengah kerumunan tadi, kini bersandar pada kap mobil yang tadi dikemudikannya. Sementara itu tidak jauh dari tempatnya sepasang kekasih sedang beradu argument.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Maaf ini nama saya,” tiba-tiba pria yang baru saja menjadi “korban” Lucky menyela perdebatan keduanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lucky memperhatikan tanda pengenal itu, seorang anggota Brimob dari Mapolda. “Ya, saya mengerti, kita damai kan ?” sambil menyerahkan tanda pengenal itu, “Berapa kira-kira?” lanjutnya dan melirik sepeda motor jenis touring yang sayap depannya pecah dan handle rem yang bengkok.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Sayap depan terdiri dari dua bagian, jadi kalau yang rusak separuh, kita tidak mungkin membeli satu bagian kan ?, dan handle rem depan!”, pria itu diam sesaat, “ Itu belum termasuk tangan saya, jadi mungkin…..?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Jadi anda minta berapa?” tampak nya Lucky sudah kurang sabar.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pertanyaan bernada tinggi itu terasa tidak enak di telinga siapa pun yang mendengarnya. Dan sebelum anggota Brimob itu mendekat, Bonita yang tadi hanya mendengar negosiasi itu mencoba menengahi keadaan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ok, ok, Lucky kamu bisa merendahkan suaramu sedikit khan?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lucky seperti mau protes ketika Bonita menyampirkan sweather yang tadi ia pinjamkan, ke pundak kirinya, namun Bonita sudah selangkah di depannya untuk menghadapi pria itu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Maaf, Mas, anda tahu kan kondisi teman saya?” diliriknya sekilas orang yang dimaksudkan itu, yang tak lain adalah tunangannya sendiri “Ok, memang teman saya yang salah, karena berkendara pada kondisi agak mabuk. Sekali lagi saya minta maaf,” imbuhnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Nita!? aku masih normal, ehm…., maksudku, aku hanya minum beberapa gelas saja, tidak lebih. Tidak separah yang kau fikirkan!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Tapi Lucky…?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Maaf, mungkin saya yang salah. Apa segini sudah cukup?”, kini mereka membentuk segi empat, dengan Jefry sebagai orang terakhir yang melengkapi. “Saya kira sudah!?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketiga orang itu menatap dalam-dalam kearah Jefry, dengan ekspresi yang tidak terdeteksi satu sama lain. Untuk sesaat semuanya menjadi terdiam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Biker itu menoleh ke kiri empat puluh lima derajad, “Ok, aku terima. Tapi bukan kau yang mengemudikan mobil itu kan? jadi tidak usah pucat seperti itu.” Kemudian ia mengcungkan jempol kearah Jefry, dan berlalu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tak lama kemudian kedua belas sepeda motor itu menderu dan berlalu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Mereka semua apa sama-sama anggota kepolisian ya?” tanya Bonita sambil menyikut lengan Lucky.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ehm, mungkin!?” jawabnya sambil melirik Jefry.</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kalau siang hari, kota ini sangat panas dengan suhu bisa mencapai 40 derajad, dan pada bulan inilah pergantian musim terjadi, dari musim penghujan ke musim kemarau. Sebaliknya pada malam hari, udara dinginnya membuat kulit merinding, tipe hawa yang bisa berakibat buruk bagi kesehatan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bonita sudah bersin untuk yang kesekian kalinya, dan Lucky untuk kesekian kali pula memperingatkan untuk memakai sweather kepunyaannya, sweather hadiah ulang tahunnya dari Bonita. Namun gadis yang membelikannya itu tidak kalah ngotot menolaknya, yang terakhir ini alasanya terlalu kedodoran untuk dipakainya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Sorry, aku habiskan.”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bonita hanya diam dan menunggu tegukan terakhir dari botol air mineral yang beradu bibir dengan Lucky.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kenapa….?” keduanya berbarengan, kemudian saling bertatapan. Kini, mereka berdua berada dalam satu mobil di mobil Bonita yang terparkir, dan sama-sama berada di sisi tempat duduk deret kedua, Lucky di ujung kiri, Bonita di ujung kanan. Ada space secara harfiah diantara mereka, mungkin secara psikologi juga.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Bersama Joe, baru shopping?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kau cemburu?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Tidak?! aku tahu kapasitas Joe”, sambil melempar bekas botol air mineral ketempat sampah yang berjarak kurang dari 5 meter, meleset.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ya, memang bukan itu yang harus dibahas,” Bonita menimpali.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lucky memandangi lurus kearah Joe dan Jefry yang tampaknya membahas soal benturan di body mobilnya tadi. Mereka berdua sama-sama sibuk menghisap filter rokok dan duduk di moncong mobil SUV nya yang terparkir setengah menyerong. “Tidak! aku masih lebih keren dari pada Joe”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Aku cuma heran Luck! aku sudah cukup lama mengenalmu. Bahkan kini….?” Bonita terdiam sebentar, ia merapikan rambutnya yang tertiup angin dari samping dengan cara menyisirnya memakai jari-jari tangan kirinya. Ada cincin yang melingkar di jari manisnya, dan sepertinya ia memang bermaksud tertentu dengan aksi seperti itu. “Untuk orang sedisiplin kau, memintaku untuk menelefon dan membangunkanmu setiap pagi ini sungguh aneh”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Hei, bukankah kita bertunangan, bukankah kita harus saling mendukung untuk berbagai hal,” Lucky menggeser posisi duduknya, “Sayang? kau tidak ingin kan, kalau aku telat masuk kantor”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Tapi ini sudah sebulan lebih Luck! aku tahu kau bukan tipe orang pemalas, tapi akhir-akhir ini….?” Bonita memandang kearah Lucky dengan wajah seperti akan menangis, “Aku takut kalau-kalau kau….?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kalau-kalau apa, cepat teruskan”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mereka berdua sama-sama terdiam dan saling memandang. Lucky tidak bisa berkata apa-apa, dan menunggu kelanjutan kalimat dari Bonita, yang pasti pula, efek alkohol masih bersarang di ubun-ubun kepalanya. Bonita sendiri masih tidak percaya kalau baru saja ia hampir mengucapkan kata-kata yang 180 derajad bertolak belakang dari kenyataan yang diketahuinya tentang tunanggannya ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kita putar balik atau….?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Biarkan mereka pergi dulu Joe!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kini Joe sudah kembali berada di depan kemudi mobil Bonita, dan Bonita sendiri, sedang memandangi mobil hitam yang ditumpangi tunangannya beserta teman prianya yang menurutnya agak misterius dan aneh. Mobil itu dengan pelan merangkak menaiki jalan beraspal, dan dua kali bunyi klakson terdengar seperti mewakili ucapan “sampai jumpa” ketika keempat roda mobil itu semuanya telah menapak aspal.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Aku memang minum sayang, ya seperti malam ini, tapi tidak narkoba, percayalah, sedikitpun aku belum pernah menyentuh barang haram itu. Bahkan seingatku, aku tidak pernah melihat wujud asli barang-barang itu, tepat di depan mataku ,tapi kalau minum sih, jarang-jarang, kamu tahu sendiri kan? Dan lagi pula, kamu seperti tidak pernah minum saja. Eh, sorry lho kalau kata-kataku…?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ya, kita memang pernah mabuk bersama Luck! Dan aku masih ingat, kapan itu, dan…….., dan aku tidak mau mengulangi hal konyol itu lagi”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Why?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Why, kau sudah tahu kan, seisi kontrakkan menertawakanku. Belum lagi aku harus membersihkan lantai depan kontrakkan sesudahnya”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Tapi, aku suka melihatmu pada saat mabuk, kau tampak seksi sekali. Tambah cantik”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Jangan memaksakan pujian, pokoknya aku tidak mau teler lagi, titik. Kau juga jangan terlalu over kalau minum, lihat akibatnya tadi, untung mereka masih bisa sabar, coba jika sampai terjadi pengeroyokan”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ok, ok, honey, sorry ya, kepalaku berat banget, aku butuh istirahat, boleh aku sekarang…..”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ya pulanglah, kalau kau tidak kuat menyetir, jangan memaksakan diri, biar temanmu itu yang menyetir, cuma……?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ya, apa?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Aku tidak suka teman priamu itu!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Hei, hei, perutku sudah tidak bisa ditolerir lagi nona, jadi tidak mentraktirku?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ucapan Joe seperti seember air dingin yang mengguyur lamunannya, “Siapa mentraktir siapa? bayar sendiri-sendiri!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe hanya nyengir mendengar perkataan bernada canda itu, ia pun menghidupkan mesin mobil dan berputar balik di tempat terjadinya tubrukan tadi. “Aku ngeri melihat tatapan pria itu”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Memang dia dari kesatuan Brimob. Mungkin semua teman-temannya pun, orang-orang militer,” Bonita menanggapi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Namanya Jefry begitu dia mengenalkan diri”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kapan kamu berbicara dengan dia, perasaan kamu tidak jauh-jauh dari mobil ini tadi”, tanya Bonita, heran.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe menatap Bonita sambil memicingkan sudut matanya, sambil terus mengawasi lalu lintas di depannya yang bertambah sepi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bonita tiba-tiba berucap, “Eh, namanya kalau tidak salah Rus…., Rustam, ya, Rustam. Kalau Jefry……, kau ini membicarakan siapa sih?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Aku membicarakan Jefry, temannya Lucky tadi!” jawab Joe.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ooooh, aku kira….?” Bonita diam sebentar, sebenarnya ia enggan membicarakan tentang pemuda berwajah Chinese yang bersama tunangannya tadi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Mereka berteman sudah lama?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Tentang Jefry tadi? malahan aku baru tahu kalau namanya Jefry”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Eh?” sekarang ganti Joe yang bingung. “Kamu ini, gimana sih, teman tunanganmu sendiri tidak tahu?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Lucky itu orangnya workoholic tahu? waktunya banyak dihabiskan di tempat kerja, jikapun ada waktu luang, dia habiskan bersamaku saja, tidak pernah rame-rame,” balas Bonita. “Bahkan di sirkuit yang kita datangi tadi, ia sering mengajakku. Dulu sih pernah bersama teman sekantornya, tapi itu pun mereka berpasangan, berempat dengan aku dan Lucky, pendek kata, jujur saja ia tidak telalu punya banyak teman di luar tempat kerja,” imbuhnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Mungkin Jefry teman yang dikenal Lucky di pub kali?” Joe menimpali.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Mungkin?” sahut Bonita singkat, namun “Sebentar-sebentar, kamu tadi bilang apa? si Jefry membuatmu ngeri, maksudmu apa sih?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe tampaknya ragu-ragu, namun akhirnya dengan pelan ia berkata, “Kamu pernah bilang kan, kalau, akhir-akhir ini Lucky bisa dikatakan kedisiplinannya berkurang!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bonita mengangguk, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa keingin tahunya lebih lanjut, dan hanya menunggu kalimat lanjutan itu setelah mobil yang dikendarai mereka berhenti di perempatan lampu merah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Sorry sebelumnya. Apa aku salah kalau berfikir soal narkoba?” akhirnya dugaan itu muncul juga.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bonita menyandarkan kembali tubuhnya, “Jangan sampai itu terjadi.” Mobil itu berjalan kembali, ia pun berkata “Dia tampak serius meyakinkan aku soal itu, ehm…, maksudku, dia tidak berhubungan dengan barang-barang seperti itu. Dan aku percaya, karena aku tahu benar Lucky, merokok pun jarang, juga alcohol, kecuali tadi, mungkin dia lagi pas sial soal tabrakan kecil tadi”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe membiarkan suasana hening untuk beberapa saat, dan tidak langsung menanggapi penjelasan dari Bonita. Ia berharap ada kelanjutannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akhirnya Bonita melanjutkan ucapannya “Tapi, sepertinya Lucky mau menutup-nutupi sesuatu, kau tahu?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Heh?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Lucky, tidak pernah melepaskan pandangan ke kalian sewaktu kau dan Jefry mengobrol di moncong mobil ini tadi! Dan lagi, si Jefry itu menatapku dengan pandangan sinis, belum lagi gerak-geriknya yang sangat aneh. Dia, Jefry, menatapku begitu tajam ketika Lucky tidak berhadapan langsung dengannya” Bonita menatapnya Joe sambil mengangkat bahu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akhirnya, Joe tidak kuasa menahan kata-kata yang ia pendam, “Kau tahu, sewaktu mengobrol di kap mobil tadi….” Joe mendesis seperti orang yang sedang menahan hawa dingin, “Tatapan matanya, seperti mau menelanjangiku!” sambil menunduk, dan menatap sebentar kedua belah pahanya. Kemudian menoleh ke arah Bonita sambil menyeringai.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Beberapa saat, Bonita menatap Joe dalam-dalam yang mengemudi tetap pelan dan tengah menikmati suara ceriwis penyiar radio yang pernah menjadi finalis Miss Earth beberapa tahun lalu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Stop Joe!” tiba-tiba suara Bonita memecah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“What?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Stop, kita menepi sebentar!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Joe membanting setir ke kiri dan mobil itu pun turun ke tepi jalan. Dilihatnya, Bonita sudah menempelkan ponsel kedekat pelipisnya sendiri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Seandainya saja ia tidak terlalu banyak menenggak alkohol, seandainya saja tabarakan kecil itu tidak terjadi,mungkin Bonita tidak akan menemukanya. Dan ia masih punya kesempatan untuk menentukan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Namun sekarang ia merasa sudah tidak punya waktu lagi untuk menimbang-nimbang, apa lagi pemuda yang membuat hatinya tergetar, yang ada disebelahnya ini, seperti benar-benar tidak memberi kesempatan untuk berfikir lagi. Harus segera di putuskan, “Ya, segera”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Keheningan membekukan suasana yang semula pecah, ketika mereka beradu argument sebelumnya. Tidak ada yang memulai berbicara untuk beberapa saat. Kini mereka berhenti di sebuah sudut taman kota yang tercahaya remang-remang oleh lampu taman bermozaik yang berada di tengah-tengah taman.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jefry masih membuang muka keluar jendela, ekspresi wajahnya seperti seseorang yang baru patah hati. “Kapan kau akan memutuskan?” ucapnya lirih, bahkan nyaris tidak terdengar.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Setelah ia mengembalikan sweather itu nanti”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> “Kau yakin secepat itu, atau aku yang akan……, pergi!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Jangan Jef, please!?” Lucky mencoba meraih tangan Jefry namun pemuda itu menghindarinya. Lucky mengalah, baginya ia harus memberikan pembuktian dari pada janji-janji. Jefry mengira kalau ia berbohong, memang kepada Bonita dan mungkin kapada semua orang yang berperilaku normal yang ada disekitarnya. Tapi, kepada Jefry ia tidak bisa menutup-nutupi, apalagi pemuda yang dikenalnya ini ternyata sefaham dengannya, dan ada chemistry pula. “Persetan dengan yang namanya normal atau pun yang tidak normal, aku hanya ingin hidup jujur dan aku tidak bisa berbohong terus menerus. Oh Tuhan kuatkan hatiku, kalau ini memang jalanku”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> “Kau tahu, buat orang seperti kita Luck, kejujuran itu sangat penting, dan kau telah bertunangan. Aku benar-benar tidak mengira kalau cincin itu….?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Cincin ini!” Lucky melolos cincin yang melingkar di jari manisnya dan meletakkan secara asal di dashboard mobil. “Sekarang aku kuat bersamamu Jef, please, kau tahukan bagaimana ekspresi dan perasaanku selama ini,” ia mencoba merapat kembali, kali ini tidak ada penolakan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hanya tongkat transmisi yang menghalangi mereka, dan ketika wajah mereka hampir merapat dengan intim, cahaya di belakang kendaraan yang mereka tumpangi menerobos masuk.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketika mereka menoleh, terlihat Bonita sudah menempatkan mobilnya kurang dari lima meter dibelakang mereka. Tanpa mematikan mesin dan lampu dia menghambur keluar.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lucky bersiap-siap menyambut gadis yang sebentar lagi akan menjadi “mantan” tunangannya itu, namun ia tidak menyangka, Bonita malah menghampiri mobilnya dari sisi kiri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jefry dengan terpaksa membuka jendela, Bonita terlihat tersenyum, senyum yang menurut Lucky sangat aneh yang belum pernah dilihatnya selama ini. “Hai Luck, hai juga,” sambil menyapa Jefry. Jefry hanya menunduk dan tersenyum gatir.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Nita, kau tidak perlu repot-repot mengembalikan sweather itu sekarang. Dan bukannya kau lagi sedang flu?” Lucky berbasa-basi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Siapa yang flu? malahan bisa dibilang aku lagi hot!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lucky dan Jefry saling memandang heran.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Undangan yang kita sebar masih kurang Luck!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Apa, undangan?” Lucky terhenyak.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Ya, pernikahan kita, tapi tidak banyak kok, cuma kurang satu, untuk teman kita yang satu ini. Maaf, siapa nama anda, anda pasti sudah tahu kan nama ku dari Lucky?” Bonita menyodorkan tangannya, namun tidak mendapatkan sambutan dari Jefry.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lucky hanya bisa menelan ludah, “Ia sudah tahu”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Aku mau keluar. Aku mau mencari taksi!” Jefry buru-buru keluar dari mobil dan dengan reflek Bonita menghindari kibasan daun pintu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Jef, tunggu! Nita apa maksudmu?” Lucky dengan cepat keluar dari mobil.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Asbun!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Apa?”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Asbun Luck! asal bunyi Luck! mas Jefry, anda jangan pergi dulu!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Jef!” Lucky hampir mengejar, namun tatapan Bonita menghentikan langkahnya. Ia bingung mengambil keputusan dan hanya menggigit batang telunjuknya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kejar dia! dan ini sudah berakhir,” Bonita melemparkan sesuatu yang berkilat kearah Lucky. Tepat mengenai dadanya dan jatuh ke tanah. “Kau aktor hebat Luck, kau pantas mendapat Pulitzer” </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kalau situasinya tidak sedramatis ini, Lucky mungkin akan tertawa mendengar Bonita salah dalam menyebutkan nama penghargaan itu. Ia memungut cincin yang terjatuh itu, dan matanya mulai kabur. Sungguh, baru pertama kali ini ia menyakiti gadis itu, yang pertama dan yang paling telak.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">“Kejar dia, dan ikuti nalurimu!” Bonita berkacak pinggang, pose yang sebenarnya untuk menutupi kerapuhannya, tubuhnya gemetar. Kalau saja bayang-bayang dedaunan yang berdiri dibelakangnya tidak meng hambat cahaya dan Joe tidak mematikan mesin mobil, tentunya butir-butir air matanya akan terlihat oleh Lucky. “Seandainya saja aku sadar bahwa, kau terlalu sopan Luck!”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">From : +6285xxxxxxxxx</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="font-family: "Courier New",Courier,monospace; text-align: justify;">Good job, ku transfer, plng lmbt, lusa. Ok</div><div style="font-family: "Courier New",Courier,monospace; text-align: justify;"></div><div style="font-family: "Courier New",Courier,monospace; text-align: justify;">J one</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;">***</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">From : +6231xxxxxxx</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="font-family: "Courier New",Courier,monospace; text-align: justify;">Thanks, sbnrnya ku benr2 suka sm L, qta</div><div style="font-family: "Courier New",Courier,monospace; text-align: justify;"></div><div style="font-family: "Courier New",Courier,monospace; text-align: justify;">tak usah ktmu lg.ok.slmt u uda bisa sama</div><div style="font-family: "Courier New",Courier,monospace; text-align: justify;"></div><div style="font-family: "Courier New",Courier,monospace; text-align: justify;">B, bye. J two</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;">S E L E S A I</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: right;"> <i>Surabaya, July 2008</i></div><div style="text-align: right;"><i>Oleh : Harun “Aaron” Setiawan</i></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-88533213273703649112010-06-19T19:39:00.000+07:002010-06-19T19:39:20.249+07:00Selamat Jalan Priti!<div style="text-align: justify;">“Hhh...”</div><div style="text-align: justify;"><br />
Hari ini desahannya cukup panjang. Walaupun Sharon sudah mulai terbiasa dengan desahan yang selalu mengawali tiap rutinitasnya, mau tak mau ia harus mengakui bahwa desahannya kali ini adalah yang paling berat. Apalagi kalo bukan itu alasannya. Hari pertama kali sekolah setelah dua minggu yang panjang mendekam di rumah karena liburan.<br />
<br />
Aku harus siap. Anggap saja mereka seperti sebuah kerikil di sudut pandanganmu yang tak terjangkau mata. Ya, kerikil yang tak pernah minta diperhatikan, juga tak pernah memperhatikan. Aku harus bisa menjalani hari ini.Pasti.<br />
<br />
“Tenang, aku pasti di sampingmu..” Sharon tersentak melihat sebuah sosok anak perempuan berbaju hijau kini tengah berdiri di depannya dengan senyum manis.<br />
<br />
“Kamu... aduh, aku sampai kaget.” Kata Sharon melayangkan tinju candanya yang kemudian tembus melewati bahu anak itu.<br />
<br />
“Kamu kan tahu, aku pasti selalu menjagamu, jangan biarkan anak-anak lain memperolokmu. Yakinlah pada dirimu sendiri. Ingat, hanya aku yang mengerti kamu.”<br />
<br />
Hanya aku yang mengrti kamu. Kata-kata itu begitu menyanjung Sharon, yang sepersekian detik kemudian meraih kacamata botol susu sapinya dengan mantap dan berdiri lebih tegak.<br />
<br />
“Iya, aku harus yakin, Priti...” begitu gadis bergaun hijau itu dipanggil. “Kamu janji kan nggak bakal tinggalin aku?”<br />
<br />
“Priti mengangguk penuh keyakinan. “Aku tercipta untukmu Sharon...”<br />
* * *<br />
<br />
Walaupun sepatu pantofelnya sedari tadi menimbulkan gema di sepanjang lorong koridor sekolah, tak ada satu pun yang benar-benar peduli. Ketika Sharon yang berjalan tertunduk itu terjatuh ke belakang akibat air pel yang belum kering pun tak ada yang benar-benar menyimak. Sesaat Sharon mengira kepala bulatnya akan sukses beradu dengan lantai, sampai sedetik kemudian ia merasa ada yang menopangnya dari belakang. Ia baru saja akan berterima kasih pada sang empunya tangan, sebelum akhirnya air mukanya memerah, begitu menyadari siapa sang dewa penolongnya.<br />
<br />
“Kau tak apa-apa? Hati-hati kalau jalan...”Sesaat sharon merasa dunianya berputar, begitu melihat pangerannya begitu dekat dengannya saat ini. Rasanya dengkul ini lemas dan kepalanya penat untuk sekian detik. Oh. Ia tak mau ini berlalu begitu saja.<br />
<br />
“Hei, kau tak apa-apa kan? Apa kau mengalami semacam rematik sampai tak bisa bangun?”<br />
<br />
Kuping Sharon memerah seketika. Ia terlompat seakan baru saja menemukan kesadarannya yang sempat mengembara. “Oh.. Ma... ma..af. Ma..ka..s.sih..” ucapnya terbata sambil tergesa lagi. Oh, benar-benar air pel sialan, rutuknya. Tampaknya ia harus membayar ucapannya itu karena sedetik kemudian badannya terayun ke depan begitu cepat dan ia siap terjatuh lagi.<br />
<br />
Sharon merasakan badannya tertahan sebelum kacamata botol susu sapinya terjatuh dengan sukses.”Oops. Hampir jatuh lagi! Hati-hati kalau jalan!” kata pangerannya lagi sambil menyangga berat badan Sharon. Sharon tak mempedulikannya. Tangannya sibuk menggapai-gapai ke sekeliling. Berharap bisa menemukan kacamatanya. “Oh, nyari kacamata ya? Ini..”Kevin, begitu sang pangeran dipanggil, langsung menyerahkan kacamata yang terjatuh tadi. Sesaat ia memandang Sharon yang tanpa kacamata. Wih, dibalik kaca tebel ini tersembunyi paras nan rupawan, batin Kevin kumat untuk berfilosofi.<br />
Buru-buru Sharon merebut kacamata itu dan memakainya tergesa. “Makasih. Aku nggak bisa melihat tanpa ini.”<br />
<br />
“Sama-sama...” kata Kevin sebelum akhirnya Sharon tergopoh-gopoh meneruskan perjalanannya kembali dengan mata tertunduk. Kevin menatap punggung itu menjauh dengan jutaan rasa penasaran.<br />
* * *<br />
<br />
Tahun ajaran baru begitu membosankan seperti biasanya. Teman baru, kelas baru, lingkungan baru, semuanya membuat Sharon begitu nelangsa, frustasi karena tak segera mendapat teman duduk, jengkel karena belum bisa menyapa seorang pun, dan sebal lantaran sekelilingnya pun tak berusaha menyapanya. Kenapa ya?<br />
Ia memandang penampilannya sendiri lewat layar HP yang cahayanya redup. Aku culun. Rambut diikat dua, kacamata setebal pantat botol, baju kebesaran, rok kepanjangan, sungguh bad style dari si aneh Sharon. Siapa yang mau berteman denganku? Apalagi Kevin. Batin Sharon seraya mengerling pangerannya yang asyik bercanda dengan anak perempuan yang agresif. Oh, pikir apa kamu Sharon? Jelas sajalah dia tak mau berteman denganmu. Jangan berharap terlalu banyak!<br />
<br />
Kan ada Priti. Ya, Priti. Dia yang selama ini di sampingku sebagai teman. Kalau teman-teman sudah memperolokku, merendahkanku, dan meremehkanku, Sharon selalu menjadi yang pertama menghiburku dengan senyum tulusnya.<br />
Tak terasa bibirnya mengulas senyum. Ternyata sudah 14 tahun ia menjalin pertemanan dengan Priti. Saat itu ia msih berumur 3 tahun, tatkala tetangganya memperoloknya begitu rupa. Saat itu Priti muncul dan membisikkan kata-kata penenang jiwa. “Tenang saja Sharon. Aku selalu di sampingmu, mulai sekarang kita berteman, ya.”<br />
<br />
Sejak itu ia selalu muncul tak terduga. Menghibur Sharon sebanyak ia mau, muncul pada saat yang dibutuhkan, pagi, siang, sore, bahkan malam menjelang Sharon tidur. Sharon begitu menyayangi temannya ini. Bahkan ia rela kehilangan apa saja asal tak kehilangan Priti.<br />
Lamunan Sharon pecah tatkala bunyi tumit sepatu kepunyaan Bu Hilda bergema di ruangan. “Ibu tak banyak waku saat ini, karena harus mengawasi OSIS yang mengorientasi murid baru. Yang jelas ibu mau membagi kalian menjadi 8 kelompok untuk mengerjakan tugas laporan pengamatan. Hasilnya akan dipresentasikan minggu depan.”<br />
<br />
Terdengar koor ‘yaah’ dari seluruh penjuru kelas. “Tak ada protes. Ibu membagi kalian berdasarkan absen. Absen 1-5 kelompok A. Absen 6-10 kelompok B, begitu seterusnya. Silahkan kalian merundingkan sebuah tema bebas yang berbobot dan bagus. Ibu keluar dulu. Jangan ribut!” katanya sambil berlalu.<br />
Setidaknya Sharon bisa bernapas lega karena ia tak perlu repot mencari teman sekelompok. Namun itu hanya berlangsung sesaat, ketika beberapa saat kemudian ada yang mengganggu pikirannya begitu teringat sesuatu. Mati aku! Namaku kan Liliana Sharon, berarti aku sekelompok dengan...<br />
<br />
“Oi, aku sekelompok denganmu kan?” bagai lalat, dalam sekejap Kevin sudah hinggap di bangku kosong sebelah Sharon. Seketika jantung Sharon berdebar kencang. Duh, dia sekelompok dengan pangerannya!<br />
<br />
“I...iya.” penyakit lama kumat. Tergagap.<br />
<br />
“Eh, kita sekelompok sama siapa aja?” tiba-tiba Keisha sang primadona sudah berdiri di depan Sharon yang mematung. Begitu melihat Sharon, Keisha tak susah payah untuk menahan pandangan mencelanya. “Yaah, sama dia. Eh tapi nggak apa-apa kan Vin? Kita bisa sedikit santai. Kan ada si kacamata ini.”<br />
<br />
Darah Sharon berdesir tak enak, namun segera dikuasainya.<br />
<br />
“Apaan sih Kei? Itu yang disebut kerja kelompok?” tanya Kevin kalem, namun cukup membuat kuping Keisha memerah. “Nggak ada kerja sendiri, kita harus kerja semua. Oke?” katanya lagi disertai anggukan kasual Mona dan Lando. Keisha akhirnya mengangguk lemah. “Ya udah. Enaknya tentang apa, nih?”<br />
<br />
“Tentang ini saja...” Mona memberi usul yang segera diinterupsi oleh Lando yang juga semangat memberi ide. Mereka begitu bersemangat mengutarakan pendapat, kecuali Sharon.<br />
<br />
Duh, aku harus gimana? Aku takut ngeluarin pendapat. Kepala Sharon kini berpusar hebat, menciptakan pening kecil di sisi kiri dahi. Ia tak kuasa berpikir dan terus menunduk, tak menyadari bahwa kini sepasang bola mata sibuk mengamatinya dengan penuh minat.<br />
* * *<br />
Diary, hari ini aku kebagian tugas kelompok bersama Kevin. Seketika aku kehilangan kata-kata. Walaupun hampr tak ada kata-kata yang aku keluarkan sepanjang hidup, tapi kali ini aku benar-benar kehilangan hasrat untuk bicara. Huff...<br />
<br />
“Lagi nulis apa Sharon?” dalam satu kedipan mata Priti sudah berdiri di sampingnya.<br />
“Lagi nulis kejadian di sekolah tadi. Waktu aku satu kelompok sama Kevin. Aku benar-benar deg-degan.”<br />
“Kamu suka padanya?” mendadak raut muka Priti berubah beku.<br />
“Eng.. enggak. Aku hanya takut bicara dengan laki-laki populer.”Sharon mengelak. “Tenang Priti. Hanya kau temanku.”<br />
“Aku harap begitu” katanya dengan nada melunak.”Ingatlah. Hanya aku temanmu Sharon.”<br />
<br />
Sharon tersenyum persis ketika pintu di belakang Priti berderit disertai Mama Sharon memasuki ruangan. “Kamu bicara dengan siapa nak?”<br />
<br />
“Dengan Priti Ma. Barusan dia ada di sini.” Jawab Sharon kalem.<br />
“Bukankah Mama sudah bilang, bahwa Priti tak ada sayang...”<br />
“Mama, Priti adalah teman terbaikku, Mama nggak boleh bilang kalau dia tak ada!” Sharon menggebrak meja, menumpahkan segala emosi.”Kenapa sih mama nggak percaya?”<br />
“Sayang, bukannya mama nggak percaya. Tapi dia hanya khayalanmu nak..” Suara Mama Sharon mulai bergetar.<br />
<br />
“Sekali lagi mama ngomong begitu” Sharon menahan napas. “Aku tak segan untuk keluar dari rumah ini.”lalu ia berbalik menaiki ranjang,dan menarik selimut sampai menutup kepala dan tidur membelakangi Mama Sharon yang kini terisak dalam diam.<br />
* * *<br />
<br />
Hari ini Sharon akan mengerjakan tugas kelompok di rumah Kevin. Ingin rasanya ia melarikan diri. Namun ia sadar ia tak bisa. Ia hanya bisa mengikuti alur cerita.<br />
<br />
“Sharon, kok duluan sih? Bareng saja!” panggil Kevin ketika kaki kanan Sharon hendak melangkah keluar kelas. Semu merah menjalar cepat di pipinya.<br />
“Bareng dong. Mona, Lando, Keisha, ayo pergi! Time’s money!”<br />
<br />
Lalu mereka berjalan berjejeran. Semuanya asyik berkicau, mengabaikan Sharon dalam kebisuan. Sharon sendiri pun lebih tertarik memandang tali sepatunya.<br />
<br />
“Hei, Sharon, kok diam saja?” kata kevin tiba-tiba sementara yang lain sedang membeli minuman. Kini tinggal mereka berdua. “Oh ya kau tahu? Kau lebih cakep tanpa kacamata lho. Lebih baik kau pakai soft lens. Memangnya kau minus berapa?”<br />
Sharon merasakan dadanya berdenyut-denyut. “Er... Minus 8”<br />
<br />
“8?? Yang benar saja. Pasti sulit untuk melihat ya?”Sharon membuat gerakan seperti mengangguk. “Hei, yang lain udah selesai. Yuk berangkat!”<br />
Lalu mereka kembali berceloteh dan Sharon asyik dengan dunianya.<br />
* * *<br />
<br />
Kini semua tengah sibuk dengan bagian masing-masing. Mereka memutuskan mengangkat tema ‘Kekerasan Terhadap Anak dibawah Umur’ untuk dipresentasikan. Kalau ini, aku jagonya, batin Sharon puas seraya mengumpulkan bahan dari berbagai koran. Sebelum dipindahkan ke kertas kosong dengan bahasa sendiri yang variatif.<br />
<br />
Waktu terus bergulir hingga jarum jam menunjuk angka 5. “Wah, enggak kerasa ya udah jam 5” celetuk Mona tiba-tiba.<br />
<br />
“Iya, capek.” Sahut Lando sambil menguap. “Vin, udah selesai? Vin? Haloo..”<br />
“Eh, oh sudah...”<br />
“Kau mikir apa sih?”<br />
“Enggak. Eh, Sharon, bentar ya. Maaf, maaf banget.” Tanpa diduga Kevin membuat gerakan seolah mau membelai Sharon. Keisha terbelalak tatkala Kevin ternyata hendak membuka ikatan rambut Sharon.<br />
“Ei..Ei, apa yang kau lakukan?”pekik Sharon tertahan sebelum Kevin melepaskan kacamata kebangsaan Sharon.<br />
“Nah gimana Do? Lebih baik seperti ini kan?” kata KSevin puas seraya mengagumi karyanya. Sang karya sendiri hanya sanggup mematung.<br />
“Wow. Kesan nerd hilang sudah kalau rambutmu digerai. Mulai sekarang seperti ini saja.” Puji Lando disertai anggukan semangat Mona dan –tak diduga- Keisha.<br />
“Iya Sharon, kalau kamu dandan seperti ini, pasti kamu nggak akan dipandang sebelah mata lagi.” Tutur Keisha sungguh-sungguh.<br />
Sharon merasakan sesuatu yang hangat merayapi relung hatinya.<br />
* * *<br />
<br />
Ternyata mempunyai teman sangatlah menyenangkan. Semenjak kejadian sore itu, Sharon tampak lebih berani dalam berbusana. Roknya dipotong hingga mencapai lutut atasan dikit. Bajunya pun dirancang sedemikian rupa agar lebih pas di badan. Kacamata pantat botol itu pun tersimpan rapi di laci, tergantikan oleh soft lens hijau zamrud. Kini pun ia lebih berani berbincang dengan Kevin, seperti,<br />
<br />
“Vin, siapa yang akan jadi moderator nanti?”<br />
Dan Kevin pun tak sungkan lagi mengajak bicara Sharon, seperti<br />
<br />
“Sharon, kau berubah. Jadi lebih berani dan PD. Good, I Like it.”<br />
Seketika Sharon tak merasa kakinya berpijak di tanah. Asanya makin melambung seiring dengan jantungnya yang berdebar tatkala berhadapan dengan pangerannya. Sesekali ia juga menangkap percik-percik sayang yang terpancar dari mata Kevin. Sharon serasa melayang. Terbuai lembutnya awan dan betah berlama-lama.<br />
<br />
“Jadi kamu sudah melupakan aku Sharon?”cetus suara dingin yang berasal dari sudut kamar Sharon. Imaji Sharon pecah seketika.<br />
<br />
“Priti! Kamu kemana aja? Aku kangen...kenapa jarang muncul?”<br />
<br />
“Karena kamu tak menganggapku ada.” Sahut Priti sedih seiring dengan tubuhnya yang mulai pudar. “Aku akan menghilang, Sharon...”<br />
<br />
“Jangan Priti! Kamu adalah temanku!”<br />
<br />
“Kalau begitu kau bunuh dia!” desis Priti luar biasa berbahaya seraya bergerak cepat ke arah Sharon yang terbelalak. “Bunuh Kevin. Dia yang merebutmu dariku!”<br />
<br />
“Aa..aa... Kau gila?” erang Sharon tak percaya mendengar hal setabu ini keluar dari mulut Priti yang sedetik kemudian hilang bagai asap. Hening menyusul, menjemput Sharon yang sesenggukan dalam diam.<br />
* * *<br />
<br />
Frekuensi munculnya Priti melebihi kapasitas biasa tiap Sharon bertemu Kevin, ia muncul bagai nyamuk dan selalu mendesiskan kata yang sama. “Bunuh dia!”. Sharon merasa hampir gila, hingga suatu hari ia dan Kevin berada di atap sekolah dengan ketinggian 2 lantai.<br />
<br />
“Kenapa kau memanggilku ke sini?” tanya kevin bingung. Ia hampir mencapai bibir atap sementara desisan “Bunuh dia”-nya Priti begitu memekakkan telinga. Priti sendiri sekarang berdiri di belakang Kevin dengan wajah luar biasa dingin.<br />
<br />
“Bunuh dia...”<br />
<br />
Sharon maju perlahan. Tubuhnya bergetar hebat. “Sharon, hei kamu baik-baik saja?” kevin bertanya bingung.<br />
<br />
“Bunuh dia....”<br />
<br />
“Sharon, ada apa?”tanya Kevin sementara tangannya hendak menyentuh dahi Sharon.<br />
<br />
“BUNUH DIA”<br />
<br />
Bagai kesetanan, Sharon meraung dengan tangan terjulur ke depan, siap mendorong Kevin. Ketika jarak mereka tak lebih dari 5 cm, Sharon berbelok dan dengan emosi mengganti sasaran targetnya.<br />
<br />
“ENYAH KAU PRITI!!!”<br />
<br />
Tubuh Sharon terayun begitu cepat ketika tangannya menembus badan Priti yang transparan. Berpijak di udara, jatuh dengan kecepatan luar biasa, semuanya terjadi begitu cepat. Lalu semuanya gelap.<br />
* * *<br />
Samar-samar bau alkohol menerobos penciuman Sharon. Lamat-lamat dibukanya mata yang entah berapa lama terpejam. Ketika retinanya benar-benar<br />
berfungsi, kini giliran fungsi mulutnya yang bekerja. “Emmh... Dimana nih?”<br />
<br />
“Sha, kamu udah sadar?” Kevin menggenggam tangannya dengan erat. Di belakangnya berdiri Lando, Mona, dan Keisha yang berdiri dengan cemas.<br />
<br />
“Apa yang terjadi? Ugh..” Sharon merasakan sakit luar biasa menyerang keningnya, yang segera ditahan dengan segala kemampuan.<br />
<br />
“Kamu jatuh dari lantai dua Sha. Beruntung kamu tersangkut pohon...” papar Kevin seraya mengeratkan genggamannya. “Apa yang terjadi Sha? Kamu mengigau nama Priti”<br />
<br />
Sharon tercengang mendengar nama itu keluar dari mulut Kevin. Rupanya rasa traumatik yang begitu besar sangat mempengaruhinya hingga menyerang memori Sharon dan memaksanya untuk mengatakan nama itu dalam alam bawah sadarnya. Perlahan diutarakannya semua yang akhir-akhir ini menyesakkan daada Sharon. Mona dan Keisha mendekap mulut dengan kedua tangan sementara Lando membelalak.<br />
<br />
“Sharon, itu hanya khayalanmu...Cobalah menerima kalau ia tak ada.”kata Kevin lembut.<br />
<br />
“I’ve tried. But She’s so real.” Tiba-tiba sudut matanya menangkap gaun hijau melambai-lambai dari malik punggung Kevin. Priti berdiri di sudut ruangan. Wajahnya tampak sendu. Setetes air mata bergulir di pipinya. “Dia ada di sini, Vin. Dia ada...”<br />
<br />
“Konsen, Sha. Dia nggak ada. Konsen. Pejamkan mata!”. Sharon menurut. Ia mencoba untuk fokus. Namun gendang telinganya menangkap sesuatu yang lain.<br />
<br />
“Maafkan aku Sharon. Aku hanya ingin kamu menjadi milikku seorang. Aku salah. Aku cemburu. Tapi kini aku sadar kamu punya teman yang lebih baik dari aku. Selamat tinggal Sharon. Kuharap kau bahagia...”<br />
Sharon membuka mata dengan cepat. Sosok Priti sudah tak ada di sana. Ia lenyap.<br />
<br />
“Bagaimana?” tanya Kevin gusar.<br />
<br />
“Sudah tak ada Vin. Lenyap.” Rasa lega berbaur dengan sedikit luka yang terbersit di hati Sharon. Kenyataan bahwa bertahun-tahun ia telah menjalani pertemanan dengan Priti membuat hatinya sakit tatkala kehilangannya.<br />
<br />
“Priti temanku yang paling baik.” Tanpa sadar Sharon berucap. “Dia selalu ada ketika aku butuh dia. Dia benar-benar sosok teman idaman. Waktu kecil aku sering bermimpi punya teman seperti dia. Cantik, lembut, anggun, dan entah darimana ia muncul. Mungkin keinginan yang kuat untuk berteman dengan teman seperti itu yang membuat ia muncul di khayalanku secara nyata. Dan ia benar-benar memberikan segala kenyamanan seorang sahabat. Dia sahabat yang baik.”<br />
<br />
“Memang, sahabat yang paling baik sangat melekat di hati kita. Walau itu imajinasi. Walau ia sekarang tak ada, tapi sebenarnya ia tetap ada.” Kevin menunjuk dadanya. “Di sini... Di hati kita. Tapi kita tak boleh berputar di masa lalu. Biarlah Priti menjadi salah satu kenangan terindahmu. Lagipula kau punya kita kan?”<br />
Sharon mengukir senyum paling manis. “Makasih, Kevin.”<br />
<br />
“Iya, Sha. Kan ada kita juga. Kau tak usah sedih lagi ya. Semangat!” timpal Mona sembari mengacungkan tinju ke udara. Senyum Sharon semakin lebar.<br />
Priti, aku tahu kau hanya khayalanku. Khayalan yang muncul di saat aku sendiri. Sepi, terbunuh oleh perasaanku sendiri yang menginginkan kehadiran seorang teman. Tapi kau tetaplah kenangan terindah dalam hidupku. Kenangan dalam masa kesepianku.<br />
Tapi Priti, kini aku tahu satu hal, bahwa aku tak sendirian lagi.... Walaupun begitu, aku tak akan pernah melupakanmu, karena kau merupakan anugrah terindah dalam hidupku.<br />
Selamat Jalan Priti....<br />
<br />
</div><div style="text-align: right;"><i>Oleh : anien-chan</i></div><div style="text-align: justify;"></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-42278830672461276532010-06-11T22:47:00.001+07:002010-06-11T22:47:20.092+07:00Seporsi Es Krim Stroberi<div style="text-align: justify;">Krincing….<br />
<br />
Lonceng pintu berbunyi saat seseorang membuka pintu. Pandanganku menoleh ke arah sana, menatap senang seorang pemuda berpakaian rapi yang baru masuk. Pemuda itu melihat sekelilingnya sejenak, sebelum kemudian menjatuhkan pandangannya di meja nomer lima- tempatku duduk. Dia tersenyum, melambaikan tangan.<br />
<br />
Aku membalas lambaiannya sejenak, kemudian mengangkat tangan ke arah seorang pelayan sementara pemuda itu berjalan menuju mejaku.<br />
<br />
“Halo, Cinta… apa kabarmu hari ini?” tanya pemuda itu sambil duduk. Tangannya yang usil menyentil pelan daguku, seperti kebiasannya selama ini.<br />
<br />
Aku tersenyum, seperti biasa pula membalas dengan sebuah kerlingan setelah sentilan itu menjauh, “Seperti inilah, akhir bulan. Tutup buku, neraca saldo. Laporan keuangan…” aku tak meneruskan karena dia langsung melambaikan tangan, bosan.<br />
<br />
“Bukan hal yang baru kurasa, tapi itu masih tetap membuatmu selalu cantik seperti ini,“ katanya sambil mengambil daftar menu dari seorang pelayan menghampiri meja kami. Sejenak ia meneliti menu itu, seperti yang sekarang aku lakukan.<br />
<br />
“Bagaimana liburanmu, Say? Apa kau merindukanku?” tanyaku sambil memandangi gambar segelas es krim stroberi yang kelihatannya begitu menggiurkan.<br />
<br />
Dia menggumam sesaat, “Soda diet ya, Mbak,” katanya pada sang pelayan.<br />
<br />
“Diet? Mau kau apakan lagi patahan enam seksimu itu?” kelakarku, sambil berusaha menjauhkan minat dari es krim yang sepertinya lezat itu.<br />
<br />
Dia meletakan menunya, “Aku selalu merindukanmu, Cinta,” balasnya, kuyakin senyumnya menggoda seperti biasa, “Uhmm.. seporsi es krim stroberi untuk Nona itu,” lanjutnya, membuatku mengangkat kepala.<br />
<br />
“Hey.. aku juga mau diet, Say!” seruku, menolak pesanannya.<br />
Ia melambaikan tangan, dengan pesona yang senantiasa menggoda, “Sesekali, melanggar itu hal yang wajar. Lagipula, mau kau apakan lagi gitar spanyolmu itu?” balasnya.<br />
<br />
Aku, seperti biasanya tak akan bisa untuk tidak tersenyum jika dia sudah mengerling menggoda begitu. Aku meletakan daftar menuku, mengangkat bahu kepada pelayan, “Apa boleh buat, Mbak? Si Seksi ini sudah mematahkan dietku dan merangsang nafsu makanku dengan rayuannya,”<br />
<br />
Pelayan itu tersenyum, setelah mengangguk dia memohon diri.<br />
<br />
“Kau belum menjawabku, bagaimana dengan liburanmu?” tanyaku sambil mengetuk-ngetukkan kukuku yang runcing di meja.<br />
<br />
“Uhmm.. menakjubkan,“ katanya sambil melonggarkan dasinya. Ia melepas jas kerjanya, “Aku menemukan sepatu cantik berwarna merah, seperti yang kau pakai itu, Cinta.” Jawabnya sambil menendang sepatuku pelan.<br />
<br />
Aku balas menginjak kakinya, “Sepatuku bukan untuk ditendang, Say. Tapi untuk dicium.”<br />
<br />
Ia menyampirkan jasnya di kursi sebelah, “Sesuatu itu mempunyai banyak sisi jika dilihat secara objektif, sama seperti seorang gadis cantik yang kutemui di Bali,” matanya berkilat-kilat saat menceritakan hal yang terakhir, membuatku cemberut.<br />
<br />
Dia mengelus daguku mesra, “Ayolah Cinta, jangan cemburu begitu! Tak ada yang melebihi kecantikanmu sekarang, terlebih membayangkanmu tertelungkup di pasir pantai, dengan bikini yang terlepas di punggung, badan sedikit terangkat…” hayalannya semakin liar, aku bahkan sempat melihat jakunnya naik turun, “Ohhh.. kurasa aku bisa membayangkan gadis itu adalah dirimu, Cinta.”<br />
<br />
Aku menimpuknya dengan sehelai tisu, jujur aku tak rela dia membayangkanku dengan pose seronok begitu. Aku tak suka, bukan tak suka tapi tak mau. Karena hayalan itu, hanya milikku pribadi.<br />
<br />
“Sabar!” serunya sambil pura-pura cemberut, ia mengamati wajahku lekat. “Itu cuma selingan, seorang pria dewasa itu wajar jika punya selingan. Asalkan…”<br />
<br />
“Asalkan apa?” tantangku,<br />
<br />
Dia menarik sesuatu dari saku celananya dan meletakannya di atas meja. Sebuah kotak mungil berwarna cokelat mengkilat. Dengan sebelah tangan ia membuka kotak itu, sebuah cincin platina indah bermata hijau mempesona mataku.<br />
<br />
“Asalkan.. cincin ini diterima di jari manis yang lentik, selingan itu hanya sekedar selingan,” katanya serius sambil memainkan kotak itu.<br />
<br />
Aku tergoda, tak kuasa mencegah tanganku untuk menyentuhnya.<br />
<br />
“Indahkah? Kamu suka?” tanyanya.<br />
<br />
Aku tak bisa menahan lidah untuk berkata, “Oh.. hanya gadis buta yang akan mengatakan cincin ini sebagai bayangan gelap. Aku.. aku menyukainya….”<br />
<br />
Dia tersenyum puas, “Jika kau menyukainya, kurasa Jelita juga menyukainya. Kalian mempunyai selera yang sama.” Katanya sambil kembali menarik jas. “Jadi.. kau saja yang memberikannya ke dia!”<br />
<br />
Aku terkejut, memandang dia yang berdiri, “Aku? Kenapa selalu aku? Kau bisa memberikannya sendiri, kan?!”<br />
<br />
Ia mengedikkan kepalanya pelan, “Aku terlalu biasa memberikannya lewat kurir,” kelakarnya sambil menaruh selembar seratus ribuan di atas meja, “Cinta, aku terlalu sibuk untuk menemanimu menghabiskan seporsi es krim stroberi, maaf.”<br />
<br />
Aku melambaikan tangan enteng, “Sudah biasa seperti itu!”<br />
<br />
Dia mengangguk, meninggalkan sebuah sebuah senyum yang mendebarkan sebelum berbalik dan pergi. Aku mengangkat tangan ke arahnya dan memanggilnya, “Saiful.. ingat ya, Jelita memang sahabatku, dan aku mak comblang yang hebat. Tapi kau lupa satu hal, mak comblang juga manusia penyuka perhiasan,”<br />
<br />
Dia menoleh, “Soal itu gampang! Aku punya banyak stok untukmu, jika dia sudah menerimaku secara full time!” ujarnya sambil berlalu, membuatku menggeleng geli.<br />
<br />
Krincingg…<br />
<br />
Lonceng kembali berbunyi saat dia membuka pintu dan menghilang di baliknya. Aku tak melihatnya lagi, mataku terlanjur terpesona dengan cincin ini. Aku tergoda untuk mencobanya melihat di jemariku, tapi sebuah getaran terasa dari tasku.<br />
<br />
HPku berbunyi, ketika kuambil muncul nama Jelita dilayarnya.<br />
<br />
“Jelita sayang…” sapaku.<br />
<br />
“Cin, apa tulisan di cincinnya?” Jelita langsung bertanya dengan semangat, “Dibawah kotaknya!”<br />
<br />
Aku bergumam sebentar sambil membalik kotaknya.<br />
<br />
WILL U MARRY ME?<br />
<br />
“Og.. Lita… dia dia.. dia…” aku tak sanggup menahan bahagia.<br />
<br />
“Apa?”<br />
<br />
“Will U marry Me?”<br />
<br />
Suara Jelita tak terdengar lagi, tapi aku tahu dia sedang tercekat, menahan bahagia sambil menitikkan air mata.<br />
<br />
“Permisi, Mbak,” seorang pelayan menghampiriku, menaruh seporsi es krim seperti yang kulihat digambar tadi di mejaku. Segelas soda juga mampir, tapi akan teronggok diam begitu saja di sana.<br />
<br />
“Terimakasih,”kataku sambil meletakan HP ditas, tak perduli Jelita nanti berteriak karena aku mengabaikannya, yang penting sekarang bagiku adalah es krim ini.<br />
<br />
“Haa.. sebenar lagi akan ada satu pesta, “ kataku sambil menyuapnya, “Hmm.. selalu enak seperti ini.” Desahku, melayang.<br />
<br />
MPK, 11-1-08, 10.39 AM</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: right;"><i><b>Oleh : Mocca_chi</b></i></div><div style="text-align: justify;"></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-86776508858339273112009-10-21T11:48:00.001+07:002009-10-21T11:50:19.956+07:00Award<div style="text-align: center;">Terima kasih untuk pembaca Pulau Cerpen.<br />Pulau Cerpen baru saja mendapatkan Award dari Blog : <a href="http://just-fatamorgana.blogspot.com/">Sang Cerpenis Bercerita</a><br />Terima Kasih Sekali Lagi<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFrnrxBuV0ZZ0QaUJrAJ2V2uKsBqa3IYsxgIYFfzajzk6ts3whdJ2Os0OtIZQAyeRPKpvDL-9PvIOOzLW2YBGq-OUXTsXXv-HchItAEsMtSKyxMNJeW9q21GwZ0lDlfMLg96lpOH-Auga_/s1600-h/posting_500.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 344px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFrnrxBuV0ZZ0QaUJrAJ2V2uKsBqa3IYsxgIYFfzajzk6ts3whdJ2Os0OtIZQAyeRPKpvDL-9PvIOOzLW2YBGq-OUXTsXXv-HchItAEsMtSKyxMNJeW9q21GwZ0lDlfMLg96lpOH-Auga_/s400/posting_500.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5394910973689657314" border="0" /></a><br /><br /></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-31700026686366499362009-10-20T14:41:00.000+07:002009-10-20T14:43:06.740+07:00Love Him If You Dare! (Catatan Harian Perjalanan Cakung–Tebet)<div style="text-align: justify;"><br />Seperti biasanya, pagi ini Jakarta terlihat pengab dan sesak. Jam sudah menunjukkan pukul 7.25, tinggal 35 menit lagi waktu yang gue punya menuju kampus gue yang terletak di kawasan Depok. Gue sendiri masih berada di deket Stasiun Cakung, masih jauh banget untuk menuju Depok (masih butuh sekitar satu jam-an untuk kesana), tapi toh itu nggak ngebuat gue buru-buru ngejar waktu dengan berlarian kayak waria lagi dikejar tamtrib. Gue jalan dengan tenangnya dan dengan penuh rasa percaya diri. Kebetulan nih, dosen gue yang satu ini baik hatinya. Dia dosen mata kuliah yang sukses membuat gue hampir memutuskan untuk terjun bebas dari lantai 10 Gedung Engineering Center, yaitu mata kuliah Calculus.<br /><br />Biar kata waktunya sudah sangat tiris, gue malah menyempatkan diri jalan-jalan santai dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku sambil ngelirik kanan-ngelirik kiri ngeliatin orang-orang yang pada kalang kabut berusaha ngejar kabut, eh, ngejar waktu maksudnya. Malah sangking santainya, gue nyempetin diri untuk duduk-duduk dulu di dekat salah satu kios HP, nenangin diri juga kaki lantaran habis jalan sejauh 55,5 meter.<br /><br />Seperti matahari terbit dari timur ke barat, gue pun naik Metro Mini 52 Jurusan Pondok Kopi-Kp. Melayu… (Do you get the correlation between them? I don’t!) Gue duduk di bangku paling belakang deket jendela. Penumpangnya baru sedikit, berarti bakalan negetem lebih lama lagi, soalnya kalau belum penuh, nggak bakalan jalan neh bus. Pokoknya harus penuh dulu. Sepenuh kereta ekonomi kalau di jam-jam pulang kantor. Harus sampe ada yang gelantungan di pintu. Jadi, ngerti kan bagaimana menderitanya gue, udah nungguin bus ngetem lama, musti sesak-sesakan lagi.<br /><br />Sembari menghabiskan waktu, gue ngedengerin lagu-lagu yang ada di playlist MP3 gue. Gue nggak sadar tiba-tiba gue ketiduran sendiri dan baru bangun ketika ada tangan kasar penuh bulu persis kayak tangan orang utan jatuh ke comberan colek gue.<br /><br />“Mas…” ucap dia, sanggar. Sebenarnya nada suaranya nggak galak-galak amat, biasa aja, tapi mukanya yang nggak bersahabat. Walaupun lagi senyum, tetap aja sanggarnya nggak berkurang. Tuh muka masih kelihatan kayak lagi ngebentak.<br /><br />Tangannya yang penuh duit receh itu digoyangkan, maksudnya minta ongkos gitu, tapi gue yang masih berada di ambang tipis antara sadar dan tidak malah ngira itu orang pengemis yang sedang minta sedekah. Begonya lagi, dengan gaya diplomatis, gue ulurkan telapak tangan kanan gue sambil berkata lirih, “Maaf.”<br /><br />Tuh orang seketika marah disangka pengemis, padahal sebenarnya kalau pun gue sadar gue masih tetap bakal ngelakuin hal tadi soalnya setelah dilihat secara baik-baik, muka tuh orang jauh lebih mengenaskan bin memprihatinkan dibanding kakek-kakek tua penyakitan yang biasa ngesot di kereta ekonomi.<br /><br />Gue cepet-cepet alihkan perhatian dia. Dengan gesit, gue keluarkan duit seribuan sebanyak dua lembar dan gue letakkan di atas tangan – yang gue sangka tangan orang utan kecebur comberan beneran – dia. Dia masih ngeliatin gue, gue – otomatis – ngeliatin pemandangan di luar. Masaka iya gue bales ngeliatin dia, mau nyelam ke tanah gue?<br /><br />Pas gue lihat dia tiba-tiba ngetuk pintu dengan receh yang dia pegang, kemudian selesai orang-orang pada masuk, dia tereak ‘Tareeek!!!’, gue baru ngeh ternyata dia bukan orang utan kecebur comberan, tapi…<br /><br />Orang utan yang nyamar jadi tukang kenek.<br /><br />Nggak berapa lama, bus berhenti lagi, kali ini yang naik seorang cewek cantik berambut hitam kemerahan. Sang kenek tentu saja seketika berdecak penuh kagum melihat cewek itu. Gue juga terperanjat ngeliat cewek itu, tapi setidaknya tidak senorak si tukang kenek yang ngeliatin tuh cewek kayak orang belingsatan, pake ileran lagi dan dengan menjijikannya, dia sapu ilernya yang netes itu dengan tangannya yang berbulu itu.<br /><br />Metro Mini 52 terkadang sepi kalau dah mau deket tujuan akhir, nah dari semua bangku kosong yang bertebaran di bus itu, gue nggak tahu kenapa tuh cewek lebih milih duduk di belakang di sebelah gue (walau jaraknya nggak deket-deket amat). Mungkin, biar cepet turunnya kali… atau mungkin karena ada gue (huehuehue99x).<br /><br />Balik lagi ke si kenek.<br /><br />Dia lagi asyik-asyiknya ngaca, mastiin kalau dia lagi mirip monyet, bukan orang utan. Kemudian dengan tanpa malu-malu kucing monyet, dia duduk di sebelah tuh cewek. Sebuah deheman dia bunyikan. Gue nggak ngerti maksudnya apa, tapi nggak lama kemudian gue paham, itu cara monyet jantan menarik perhatian monyet betina di saat musim kawin. Eh, mengingat sang cewek bukan monyet, berarti deheman itu pertanda kalau monyet jantan lagi narik perhatian manusia betina di saat musim… musim apa ya??? Musim duren dah!<br /><br />“Anak kulihan dek?” tanyanya, sotoy sembari menunjuk ke arah tumpukan buku yang dibawa cewek itu.<br />Tuh cewek diam saja. Dia tahu banget kalau ada monyet, sebaiknya didiemin aja, daripada entar digong-gongin??? (lho?)<br /><br />“Dimana?” tanya tukang kenek itu lagi, nggak peduli pertanyaan sebelumnya tidak dijawab.<br /><br />Cewek itu menoleh, menyiratkan satu tautan alis mata dan sorot mata yang hendak berkata, ‘Do I know you?’<br /><br />Tuh kenek sebodo amat dipandang seperti itu. Gue menyimpulkan sepertinya ini bukan kali pertama dia dipandang kayak itu…<br /><br />Dan tentu saja cewek itu bukan cewek pertama yang memandanginya begitu…<br /><br />“Oooo” mulutnya membentuk satu bulatan penuh, menampakkan jigong-jigong di dalam sana. Jigong-jigong itu terlihat sangat akur, mereka tampak begitu bahagia dan damai sentosa mendiami ‘gua belantara’ itu.<br /><br />Mata kenek itu tertuju pada sebuah buku panduan yang berukuran lumayan besar. Kenek itu samar-samar melihat nama sebuah universitas tertulis di buku tersebut.<br /><br />“Universitas Bumi Prasada,” gumamnya pelan, “Kenal Anton dong? Iya dong iya kan?”<br /><br />Alis mata cewek itu beradu. “Anton siapa?” kali ini cewek itu buka suara. Terlihat sekali ia berusaha keras melawan bibirnya yang ogah membuka diri sangking takutnya sama makhluk berbulu selebat simpanse itu.<br /><br />“Nggak ada ya?” wajahnya menciut malu. Tapi dia terlihat gembira banget, akhirnya cewek itu buka suara juga. Sekali lagi, gue menduga itulah jawaban pertama yang didengernya selama berpuluh-puluh tahun bertanya ke perawan, tapi nggak pernah ada yang ngejawab.<br /><br />“Joko… Joko!?” bentaknya. Sebenarnya cara ngomong dia biasa aja, cuma rupa mukanya nggak bisa diajak kompromi, makanya tuh cewek kontan kotar-katir penuh ketakutan berusaha mencari perlindungan. Saat dia menoleh ke arah gue, gue kontan menggeleng. Sorry, gue bukan penjinak hewan liar bermuka abtsrak.<br /><br />“Joko ada kan?” tanyanya, antusias. Tuh cewek semakin ketakutan saja. Ia lantas menelungkupkan dadanya dengan kedua tangannya seraya berkata ‘Jangan… jangan apa-apakan saya!’ melalui sorotan mata.<br /><br />“Nggak ada ya?” ucap cowok itu, mengartikan pandangan penuh ketakutan itu sebagai jawaban ‘tidak’.<br /><br />“Asep? Asep?” tanyanya, kali ini dengan muka lebih sanggar lagi dengan telunjuk kanan yang terulur lurus ke arah cewek itu.<br /><br />‘Tidak! Tidak! Jangan sayaaaa!!!’ cewek itu menjerit dalam hati. ‘Ah, ibu-ibu itu saja! Dia saja!’<br /><br />“Gak ada juga ya,” tuh kenek terdiam sesaat. Ia berusaha mengingat sebuah nama lagi, “Ah!” sentaknya, menampakan sebuah ekspresi yang sangat mengerikan, membuat cewek itu hampir pingsan sangking seramnya.<br /><br />“Chebong? Chebong kenal kagak neng? Dia kenalan gua! Sama-sama Jakmania!” serunya, menampakan sebuah lototan mata mengerikan dan ekspresi muka menyeramkan.<br /><br />Tiba-tiba, kenek itu memandangi cewek di sebelahnya itu lekat-lekat. Begitu lekat. Mata itu makin lama makin dekat. Makin dekat. Dekat…<br /><br />Cewek itu tercekat! Nafasnya naik-turun tidak beraturan. Ia tutup matanya rapat-rapat, tanpa menyisakan satu celah pun. Keringatnya bercucuran, mengalir deras dari ujung kepala. Mulutnya tampak komat-kamit, mungkin dia sedang memanjatkan sebuah doa anti setan.<br /><br />“Neng nggak usah malu-malu tapi mau gitu lah!” sentaknya lagi, tanpa berpikir.<br /><br />‘Bener banget! Gue emang malu-malu tapi mau MUNTAH!!!’ ketus cewek itu dalam hatinya. Walaupun gue bukan paranormal atau ahli membaca pikiran orang, tapi pasti kalimat itu lah yang sedang ada dalam pikirannya.<br /><br />Cewek itu sadar bahwa tidak sepatutnya ia menjawab pertanyaan-pertanyaan kenek itu. Yang ada tuh kenek malah semakin ketagihan nanya-nanya. Mungkin sebaiknya dicuekin saja dengan begitu dia pasti bakalan diem karena nggak ditanggepin.<br /><br />“Gua jadi ingat waktu kuliah dulu,” ucapnya, tiba-tiba dengan sorot mata menerawang ke atas, seperti sedang mengingat kembali masa lalunya dulu yang SEAKAN-AKAN dulunya adalah seorang anak kuliahan, padahal kelar SD rajin ikut tawuran, kalau nggak ya malak-malak pedagang bareng genk pasar di taman hiburan.<br /><br />“Gua dulu sama persis kayak eneng, bawa-bawa buku tebel kayak gini,”<br /><br />Sang eneng terdiam.<br /><br />“Wah, gua dulu mahasiswa berprestasi. Penuh piagam, sertisikat, pokoknya hebat dah!” ucap dia, membanggakan diri. Gue hampir aja ketawa pas ngedenger dia ngomong ‘sertisikat’. Jadi semakin ragu gue, kayaknya nih orang nggak goblok… tapi IDIOT!<br /><br />“Oiya neng, gua suka sama De Rok (maksudnya The Rock), neng suka nggak?” tanya dia, lagi.<br />Kali ini juga nggak dijawab. Si kenek bukannya nyadar kalau tuh cewek nyuekin dia karena ilfill, eh dia malah semakin beringas bertanya.<br /><br />“Neng suka De Rok nggak? Hah? Hah?” tanya si kenek, sembari memajukan mukanya mendekati cewek disebelahnya itu.<br /><br />Daripada ntar tuh muka tiba-tiba nemplok di muka dia, tuh cewek buru-buru menganggukkan kepalanya.<br /><br />“Oh, suka,” ucap dia, puas, lalu memundurkan kepalanya yang sedikit lagi mengenai bibir tuh cewek.<br /><br />“Ada albumnya?” tanyanya, lagi.<br /><br />Tuh cewek buru-buru menggelengkan kepalanya sebelum tuh kenek majuin kepalanya lagi.<br /><br />“Tapi nomor henpon ada dong?” tanya dia lagi, kali ini nggak cuma kepalanya doang yang dimajuin, tapi seluruh tubuhnya. Dengan tidak tahu malunya, dia merajuk ke arah tuh cewek, berusaha sedempet mungkin dengan tuh cewek.<br /><br />Si cewek sudah tak kuat lagi harus mendera siksaan mata dan batin ini. Ia tak sanggup lagi harus berlama-lama disana. Cewek itu pun cepat-cepat bangkit berdiri dan kemudian buru-buru turun dari bus.<br /><br />Sang kenek cuma bisa melongo ngeliatnya. ‘Belum diapa-apain kok’ gitu kali pikirnya. Dan di pikiran gue: ‘Yaelah mas, belum diapa-apain aja udah pergi sih masih mending, saya baru ngeliat muka mas aja dah berniat mau pergi, sayang aja dah bayar ongkos!’<br /><br />Sang kenek tampak sedih. Gue jadi kesian juga ngeliatnya. Tapi tiba-tiba saja dia berteriak ‘Yeah!’ dengan mulut yang dibuka lebar, menampakkan sarang laba-laba yang ada di dalamnya alias jigong dengan mata berkobar-kobar. Gue pun batal ngesianin dia.<br /><br />Esoknya, pada hari dan jam yang sama, seperti dugaan dia, tuh cewek nungguin di pinggir jalan lagi. Bus pun berhenti tepat di hadapan cewek itu. tuh cewek masuk kedalam setelah sebelumnya memastikan bahwa dia naik Metro Mini 52 yang tidak dijagai bekantan Kalimantan. Yakin bahwa nih bus aman-aman saja, dia pun naik ke dalam sembari mengeluskan dada dengan wajah penuh syukur kepada Tuhan.<br /><br />Tapi naas… di saat dia duduk di bangku yang sama seperti kemarin, di belakang dan disebelah gue (cuma kali ini gue duduknya deket pintu, nggak deket kaca), dia lihat seorang makhluk berbulu bertampang bekantan berbadan orang utan menyeringai lebar kepadanya, menunjukkan giginya yang kuning dan gede-gede, segede kusen pintu.<br /><br />AAAAAARRRRRRGGGGGGHHHHHHH!!!!!<br /><br />Sang cewek hampir saja berteriak histeris. Dia bener-bener kaget dan nggak nyangka sama sekali ternyata dia salah masuk bus. Dari mukanya gue bisa ngeliat kalau tuh cewek ketakutan banget, lebih takut daripada ngeliat pocong secara langsung di kuburan tengah malam.<br /><br />Gue melihat cewek itu dengan miris dan penuh iba. ‘Sabar ya…’ ucap gue lirih, melalui mata.<br /><br />Lagi, tuh cewek terpaksa menerima duduk di sebelah tuh kenek. Sebenarnya dia pingin pindah tempat duduk, tapi sayang semuanya pada berpasangan. Nggak ada yang duduk sendiri. Percuma juga kan pindah ke tempat duduk yang kosong dua-duanya, tuh kenek pasti nyusul!<br /><br />Tuh cewek tampak begitu sedih dan kalut. Dilihat dari air mukanya, sepertinya tuh cewek mengalami guncangan dan siksaan batin yang sangat berat. Ah, betapa tegarnya wanita itu…<br /><br />Lagi, tuh kenek menceritakan kisah hidupnya semasa kuliah yang sempat tertunda kemarin. Sang cewek hanya bisa pasrah membiarkan suara mengerikan itu hinggap dan masuk ke dalam telinganya. Sesekali tuh cewek bergetar, merasakan hal yang tidak enak di telingannya. Entah kenapa padahal baru tadi pagi dia korek telinga, tapi kok sepertinya telinganya penuh kotoran lagi?<br /><br />Lama mendengarkan, tuh cewek, seperti manusia normal lainnya, merasa tidak tahan. Dia pun berusaha mengalihkan perhatian dengan bergumam sendiri agar suara sember itu tidak masuk seluruhnya ke dalam telingannya. Tapi gagal… gue lihat tuh cewek masih juga merasa terganggu mendengar suara – mirip babi hutah ketusuk tombak – sang kenek.<br /><br />Tuh cewek tiba-tiba saja memasukkan tangannya ke dalam tas. Gue pikir dia mau ngeluarin pisau atau belati gitu atau bahkan gergaji buat ngegorok leher tuh kenek biar nggak ngomong lagi, tapi ternyata dia ngeluarin handphone. Hm, kecewa juga gue, padahal gue ngedukung banget kalau dia bener-bener mau nebas leher tuh kenek. Toh tuh cewek juga nggak bakalan dipenjara, paling juga dapat surat teguran dari kelompok pecinta hewan langka.<br /><br />Tuh kenek tampak semakin antusias pas ngeliat tuh cewek ngeluarin hp.<br /><br />“Gua belum minta nomor loe,” ucapnya sambil mengibaskan kedua tangannya, “Tapi kalau lo mo nyimpen nomor gua, gak pa-pa,”<br /><br />‘What!?!?!?’ ludah gue ampir aja menyeruak keluar, untung gue berhasil telen lagi. Pinginnya sih tuh ludah gue buang ke muka itu kenek.<br /><br />Bibir cewek itu bergerak menyudut ke arah kiri. Kalau diterjemahkan, begini kali maksud dia me-‘nyumbing’-kan bibirnya itu: ‘Kepedean! Siapa juga yang minta nomor lu?! Kalau pun mau, tinggal telfon Taman Safari kan?’<br />Diambilnya dengan segera headsetnya, lalu di tancapkannya ke telinga. Music player pun dinyalakan dan volume dibesarkan.<br /><br />Gue mendengar agak samar-samar suara Ahmad Dhani dari balik headset itu. Sepertinya dia sedang mendengarkan lagu milik The Rock yang digawangi oleh Ahmad Dhani, yaitu: ‘Munajat Cinta’<br /><br />_=_=_<br /><br />Selama beberapa hari gue nggak ketemu sama bus yang dikenekin oleh bekantan Kalimantan itu lagi, tapi gue masih ketemu beberapa kali (satu bus) sama cewek itu. Sempat suatu ketika, pas dia naik dan ngeliat gue, seperti biasa, duduk di belakang, dia layangkan sebuah senyuman. Sepertinya senyuman itu sebuah pertanda terima kasih karena telah menjadi teman ‘sependeritaan’, walau gue nggak semenderita-rita amat seperti dia. Well, cuma mata gue doang sih yang rusak… beda sama tuh cewek yang nggak cuma matanya yang rusak, tapi keadaan psikisnya pun ikutan rusak.<br /><br />_=_=_<br /><br />Dosa apa itu cewek semalam, karena ternyata doa yang selalu dipanjatkan tuh cewek hari Kamis lalu nggak mempan (gue nggak tahu persis dia doa beneran apa enggak, tapi selayaknya manusia normal tentu saja pastinya akan berdoa agar tidak dipertemukan lagi dengan hewan liar lepas).<br /><br />Gue nggak duduk di deretan bangku panjang di belakang, tapi gue duduk di pasangan bangku bagian kanan belakang, jadi gue masih bisa ngeliat sedikit-sedikit ke belakang menyaksikan bagaimana tuh cewek terperanjat sekali (benar-benar kaget banget ekspresinya) ternyata lagi dan lagi dia salah naik bus.<br /><br />Gue pikir pasti dia ngapalin bus mana yang biasanya dikenekin sama si ‘nightmare’ dan memang nggak biasanya tuh hewan liar ngenekin bus wisata yang menjelma menjadi Metro Mini (Metro Mini yang ini emang enak banget, isi bangkunya busa bukan besi kayak biasanya.<br /><br />Tanpa tuh cewek duga, itu kenek liar ternyata berada di dalam. Gue juga tadinya sempet curiga kenapa tuh kenek berdiri di tengah kayak sedang sembunyi, bukannya di pinggir pintu bus sambil nyari-nyari penumpang.<br /><br />Tuh cewek hampir mau turun lagi, tapi dia lihat di depan ada bangku kosong yang sebelahnya sudah ada yang menempati (bangkunya terletak di sebelah kiri gue). Sebelahnya dah dihuni sama ibu-ibu, jadi tuh kenek liar nggak bakalan bisa duduk deket-deket dia lagi.<br /><br />Ternyata tuh cewek salah, dengan kondisi seperti itu, tuh kenek malah semakin menjadi-jadi. Dia berlutut menghadap tuh cewek setelah sebelumnya mengambil sebuah gitar yang dia taruh di belakang bangku tuh cewek (deket pintu keluar).<br /><br />Jreng…<br /><br />“Satu puisi sebelumnya abang persembahkan buat eneng, pujaaan hati abang.<br />Tuhan menciptakan wanita dari tulang rusuk pria, bukan dari kepala pria untuk menjadi berada di atas pria, bukan dari kaki pria untuk menjadi berada di bawah pria, tapi dari rusuk pria yang berada dekat dengan lengan pria agar terlindungi, dan dekat dengan hati pria agar dicintai…”<br /><br />Gue berdecak kagum. Gila keren juga tuh puisinya… Nggak nyangka gue. Salute!<br /><br />“Ehem… (berdehem)<br /><br />Ada kelabang makan kedondong,<br />Abang mau cinta eneng dooong…”<br /><br />Gubrak! Seketika rasa salut itu hilang.<br /><br />“Ada kelabang makan kedondong,<br />Abang padamu doooong…”<br /><br />Ya ampun! Pantun apaan tuh! Maksa amat seh! Buset dah! Diulang sekali lagi, gue gorok tuh orang!<br />Sepertinya tuh kenek nyadar kalau pantunnya nggak bagus (jelek banget malah! Jauh lebih jelek ketimbang mukenye!), dia pun melanjutkannya dengan sebuah nyanyian. Sebelumnya, suaranya itu dites dulu.<br /><br />“Tes… tes…” ucapnya.<br /><br />“Sebuah lagu kupersembahkan kepada eneng yang abang cintai,”<br /><br />Dipetiknya gitar. Gayanya cukup meyakinkan.<br /><br />Tiba-tiba… jreng-jreng-jreng gonjreng tempreng junjreng…<br />Gue nggak ngerti dah tuh kenek lagi ngapain. Main petik gitar asal aja. Hm, mungkin dia mau nyanyi lagi rock makanya petikannya agar kasar gitu, kayak mukanya.<br /><br />(tiba-tiba) “Tuhan kirimkanlah aku…”<br /><br />Gubrak! Gue hampir aja terjatuh. Dasar gila tuh kenek! Apa hubungannya coba genjrengan yang tadi dengan lagu yang dinyanyiin. Asal aja! Tiba-tiba lagu main masuk aja, udah gitu kenapa genjrengan gitarnya rock, tapi lagu pop???<br /><br />“Kekasih yang baik ati; Yang mencintai aku;<br />(diulangnya lagi)<br />Yang mencintai aku…<br />Yang mencintai aku…<br />(pas bagian di bawah ini tawa gue bener-bener nggak bisa ditahan)<br />Ada aaaaaaa…. (sok dicengkokin kayak Rhoma Irama)….<br /><br />Keselek.<br /><br />Diulang: Ada aaaaaaaa… (masih dengan cengkok Rhoma Irama wannabe)<br /><br />Metro Mini berhenti mendadak.<br /><br />Gubrak! Tuh kenek jatuh… dan semuanya secara serempak tertawa terbahak-bahak. Apalagi gue. Nggak tahan gue ngeliatnya. Kapan lagi coba ngeliat gorilla jatuh.<br /><br />Dia cepat-cepat bangkit berdiri, lalu disemprotnya kawannya itu yang sedang menyupir.<br /><br />“Itu ada penumpang! Bukannya dinaikin!” balas sang supir.<br /><br />Si kenek pun akhirnya mempersilahkan sang penumpang untuk masuk sambil mencak-mencak ga jelas. Tangan kanannya sibuk mengusap-usap kening sebelah kanannya. Sepertinya jatuhnya keras banget. Gue seneng banget ngeliatnya. Apalagi tuh cewek.<br /><br />Setelah tuh penumpang duduk dengan tenangnya, si kenek melanjutkan nyanyiannya…<br /><br />“Tuhan kirimkanlah aku; kekasih yang baik hati; yang mencintai aku: ada apanya???”<br /><br />Gue masih juga ketawa-ketiwi ngeliat tuh kenek dengan lirik, intonasi dan nada yang salah serta genjrengan gitar yang asal-asalan. Tuh kenek masih juga dengan pedenya menyanyi dan mengulang reffrein itu dari awal.<br /><br />Tapi… lama-lama ngedengerin, bosan juga. Selain suaranya yang lebih nggak enakin dari mukanya, lagunya pun itu-itu aja yang dinyanyikan. Mending kalau dinyanyiinnya secara lengkap, ini cuma reffrein, udah gitu lirik, melodi, iramanya banyak salahnya lagi. Beuh, bikin telinga ini pengang dengernya.<br /><br />Tuh cewek ngerasa panas, eh dia malah semakin antusias.<br /><br />Akhirnya permintaan doa penumpang satu Metro Mini pun terkabul, tuh kenek menghentikan nyanyiannya begitu bus dah sampai di Stasiun Tebet. Semuanya buru-buru turun sebelum gendang telinga mereka pecah. Di saat semua orang pada rebutan mau turun (terutama si ibu hamil, kelihatannya dia nggak mau lama-lama di dalam, takut berpengaruh ke cabang bayi),<br /><br />Si kenek berusaha mencari cewek itu di antara kerumunan orang, tapi sayang ternyata tuh cewek dah lebih dulu turun. Dilihatnya, cewek itu sedang menyebrang jalan, ia pun segera turun dan menyusul tuh cewek. Gue tadinya sedang terburu-buru buat ngejar waktu (nggak mau lagi dah gue telat datang kelas Calculus, dah berkali-kali telat menyebabkan otak ini semakin terkorosi dan akhirnya berkarat… sekarang ditanya 2 + 2 aja loadingnya lamaaa), tapi akhirnya gue memilih untuk menyempatkan diri menyaksikan aksi heroik tuh kenek yang main nyebrang aja tanpa lihat kiri-kanan dulu.<br /><br />“Neng! Eneng!” teriak sang kenek sembari berlari mengejar si eneng.<br /><br />Sang eneng kontan kaget mendengar suara itu. Ia lihat ke belakang dan benar saja, kenek gila itu sedang mengejarnya. Ia pun semakin mempercepat larinya. Wajahnya tampak sangat ketakutan. Penuh peluh keringat dingin.<br /><br />Gue tentu saja tidak tinggal diam. Bukan… gue bukan mau nolong itu cewek, tapi gue mau nonton terus gimana kelanjutannya.<br /><br />Tuh cewek lari dengan sekuat tenaga berusaha menghindar dari kejaran sang kenek. Dilihatnya pintu palang kereta api dalam keadaan membentang, itu artinya kereta akan lewat sebentar lagi. Ia pun dengan jelas juga mendengar deru mesin kereta api yang semakin lama semakin nyaring bunyinya.<br /><br />Tanpa pikir panjang lagi, walau sudah mendengar deru kereta lewat, tuh cewek main nyebrang saja. Lebih baik mati ketabrak kereta, daripada ketangkap dia, gitu kali pikirnya.<br /><br />Sang kenek hendak ingin menyebrang, tapi kereta sudah melintas. Ia pun terpaksa harus menunggu sampai kereta selesai lewat. Dan saat tuh kereta dah melintas jauh, si kenek sudah tidak mendapati tuh cewek lagi. Dengan perasaan sesal dan penuh kesedihan, ia pun balik ke tempat semula. Sesampainya disana, dia tidak mendapati busnya juga. Ternyata itu bus dah melaju duluan, ninggalin sang kenek menuju Kampung Melayu. Gue bener-bener kesian ngeliat tuh kenek. Si cewek hilang, bus-nya malah dah pulang…<br /><br />Dengan langkah lirih, dia berjalan terseok menuju arah Terminal Kampung Melayu. Melihatnya begitu, gue jadi kasian juga. Gue sangat menaruh rasa simpatik pada itu kenek. Demi tuh cewek, dia sampe lupain tugas, ninggalin tuh bus gitu aja bikin si supir bus gondok. Demi cinta, dia tadi nyanyi-nyanyi kayak orang kejang sampai nyaris hampir terjadi amukan massa. Bahkan, dia juga tidak memperdulikan rasa sakit saat ia terjatuh demi tuh cewek.<br />Saat gue sedang kalut-kalutnya, sedang simpatik-simpatiknya, tiba-tiba saja di tengah jalan dia berteriak begitu semangat dengan mulut yang dibuka lebar, menampakkan sarang laba-laba yang ada di dalamnya alias jigong dengan mata berkobar-kobar. Gue pun menarik kembali rasa simpatik yang sempat gue beri untuknya.<br />Ibu-ibu di seberang jalan bilang aneh. Yang lain bilang stress. Gue bilang…<br /><br />GILA!!!<br /><br /><div style="text-align: center;">*The End*<br /></div><br /><br /><br /><div style="text-align: right; font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Ir. David<br /></div><br /></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-12550609184815773812009-10-20T14:27:00.000+07:002009-10-20T14:28:00.499+07:00Indigo<div style="text-align: justify;"><br />Tadi Eleanor bilang suka padaku. Aku belum jawab. Sebagai cewek, jual mahal itu penting. Tapi bagi Sisi, kembaranku satu itu, dia bilang aku bodoh.<br /><br />“Itu namanya mainin perasaan!” katanya. Hah, Sisi salah besar, aku cuma mo ngetes, Eleanor benar-benar serius atau justru dia yang main-main. Kalo digantung satu dua hari aja nyerah, jangan berani nembak Sashi! Lagian, aku bukan perempuan yang gampang ambil keputusan. Apalagi masalah cinta, harus dipikir masak-masak dulu baru aku berani buka mulut.<br /><br />Malam ini, kuputuskan jalan-jalan keluar, keliling kompleks sambil cari angin sepoi-sepoi. Jauh-jauh dari Sisi. Suasana amat mencekam gelap-gelap begini. Hanya terdengar gonggongan anjing dan jangkrik mengerik. Jalanan sesepi desa habis kena banjir, belum lagi lampu merkuri di sepanjang trotoar kedap-kedip melulu pertanda mau padam, disertai hujan gerimis. Meski begitu, di ujung blok sana, ada kafe tenda superramai. Aku mutusin berteduh di salah satu stand, memesan seporsi bakso spesial dan mengambil tempat di meja pojokan. Jernihnya kuah bakso bikin lidahku bergoyang tak sabar, sampai…<br /><br />“Misi, boleh gabung?” suara nge-bass cowok bergaung di belakang telingaku. “Meja lain penuh.”<br />Aku memutar bola mata ke seantero tenda untuk memastikan bahwa cowok itu gak bohong. Dengan terpaksa, aku mengangguk. “Ya deh.”<br /><br />“Trims,” sahutnya manis. Senyum simpulnya terkembang sempurna. Kalau kuperhatikan, umurnya belum 18 tahun. “Sering makan di sini?” tanyanya seraya menggulung mi.<br />“Baru sekali. Napa?”<br />“Punya masalah, kan?” tebaknya sok tahu.<br />“Gak.”<br />“Masa? Biasanya tipe-tipe kamu, datang ke sini karena bingung mikir cinta,” ujarnya datar.<br />Lho, memang tadi aku cerita sedang menggantung cinta cowok bernama Eleanor? “Kok tahu?”<br />“He he,” ia nyengir. “Betul kan? Aku suka kamu ngegantung dia, dia rese.”<br />“Kamu siapanya Eleanor?”<br />“Kenalin, Kaemon.”<br />Buset, it, itu nama orang? Bukan tokoh kartun Jepang? “Kamu mata-matanya Eleanor?”<br />“I’m not,” Kaemon melirik ke kanan, kemudian mencondongkan badannya mendekati wajahku. Ya Tuhan! Dia mau apa? Jangan sampai Kaemon berbuat macam-macam! Aku merem ketakutan, khawatir kalau cowok ini menubrukkan bibirnya ke bibirku trus…<br /><br />Salah. Rupanya ia merapatkan jaketku yang melorot sehingga tank-top ini terlihat jelas. “Ati-ati, ada pria rada mesum di arah jam dua,” bisiknya.<br />“Mesum?” Aku menekuri arah tatapan Kaemon. Mesum dari mana? “Dia pake kemeja, necis, sepatu pantofel, celana lurus dan berpeci. Gak keliatan hidung…”<br />“Cintakuuu, minta Cola satu dong,” tanpa kuduga, pria tersebut gelayutan mesra pada seorang waitress. Demi Tuhan, nggak nyangka!<br />Kaemon menahan tawa. “Tuh kaaan.”<br /><br />***<br /><br />Aku tatap secarik kertas. Hasil ulangan trigonometri minggu lalu. Nggak tahu deh, waktu itu Bu Reni kerasukan apa, tapi sebelum diajarkan, kami malah tes trigonometri mendadak. Siaaall!<br /><br />Yang pasti, ada angka 100 warna merah terpampang besar-besar di atas kertas ulanganku. Anak-anak lain, termasuk Sisi yang melirik kertas ulanganku, terkejut bukan main. Aku aja shock, apalagi mereka?<br />Pulang sekolah, aku dapat kejutan satu lagi. Bukan nilai matematikaku, tapi soal Eleanor. Kemarin dia menembakku, now, kayaknya doi lupa dan malah asyik belajar teori atom Dalton bareng cewek adik kelas. Kaemon betul, Eleanor brengsek!<br /><br />***<br /><br />Memasuki teras, suasana rumahku lebih pikuk dari biasanya. Tanteku satu-satunya datang dari Jogja. Kusambut tubuh Tante Nia yang duduk di ruang tamu. Sudah bertahun-tahun kami tak jumpa.<br />“Gimana? Masih suka liat yang serem-serem?” tanya beliau.<br />Dahiku berkerut. “Serem?”<br /><br />“Loh, waktu kecil kan kamu hobi liat begituan. Yang ada anak kecil-lah, hantu itu-lah…”<br />Masa? Kok gak ingat ya? “Nggak tuh. Ngomong-ngomong, itu apa?” aku menunjuk buku besar yang digenggam Tante Nia.<br />“Album fotomu. Eh, foto-foto ini beneran?”<br />“Kenapa?”<br />“Nih, liat. Kata mamamu, kamu masih tiga bulan, kok bisa pegang botol susu sendiri?”<br />“Salah ya?”<br /><br />“Ya salah. Masa masih delapan bulan bisa ngomong, trus satu tahun nyanyi lagunya Chrisye udah kenceng banget, lagi!” Tante Nia menyodorkan fotoku tengah memegang mike.<br />“Owh, biasaaa,” penyakit narsisku keluar. “Tante juga, tumben ke sini?”<br />“Cuti sebentar, mau bikin skripsi.”<br />“Tentang?”<br />“Biasa, anak hukum kerjaannya ngutak-atik hukum pidana melulu,” Tante Nia menyandarkan kepala di sofa.<br />“Tentang KUHAP gitu?”<br />“Yoi.”<br /><br />“Padahal kalau aku disuruh milih, lebih seneng hukum pidana daripada perdata atau hukum adat. Susah ngapalin UU, belum lagi ada versi Belanda-nya,” ceritaku.<br />Awalnya Tante Nia terperangah heran, tapi lama-lama ia mulai menikmati perbincangan. “Iya, apalagi kalau sudah sampai hukum dagang, kan bakalan dibagi-bagi lagi tuh…” dan kami terhanyut dalam dialog panjang sepanjang siang.<br /><br />***<br /><br />“Nevermind,” jawab Kaemon gembira setelah aku cerita soal Eleanor. “Insting pria jitu, kan!” godanya. “Malah besok-besok lebih banyak Eleanor-Eleanor lain bakal ngejar kamu.”<br />“Makan tuh insting!”<br /><br />“Gini-gini IQ-ku 180 lho!” Kaemon membela diri.<br />“Oh,” aku melirik ke samping kiri dan kananku. “Kayaknya kita diperhatiin orang-orang,” bisikku.<br />“Tauk ah,” Kaemon cemberut mendengar ketidakpedulianku. “Ambilin botol kecap dong, deket kamu tuh,” menggerutu ia.<br />“Ntar, baksonya enak loh!” aku sibuk meniup-niup kepulan asap kuah bakso.<br />“Aku makannya kapan ni?”<br /><br />Aku taruh sendok lalu memandang botol kecap di sampingku dengan tajam. Jaraknya sekitar 40 senti tepat di sudut meja. Andai aku punya kemampuan telekinetik, sehingga dengan kekuatan pikiran, botol itu bisa bergeser dan berpindah ke tangan Kaemon. Aku menyipitkan mata, tapi ah, percuma! Khayalanku mengada-ada. Aku memutar bola mata kembali ke mangkok bakso, akan tetapi, WUSH! Tiba-tiba botol itu jatuh ke depan. Untung Kaemon sigap menangkap. “Ada yang usil nih.”<br />“Siapa?”<br /><br />Kaemon langsung komen sambil mengelus-elus dagunya bahwa kami baru saja dikerjain hantu. Huh, mana percaya!<br /><br />***<br /><br />Ino membawa setangkai mawar lalu bilang suka padaku. Waks, ini rekor! Bayangin, baru tadi pagi, Adi, sang Ketua OSIS menembakku. Belum lagi masuknya segepok surat ke lokerku minggu-minggu ini, ditambah belasan SMS yang rata-rata berisi ajakan makan siang atau cuma say hi doang.<br /><br />Asyik, tapi yang mengganjal pikiranku bukan itu. Ada hal penting dan harus kubicarakan dengan Sisi. “Cowok aneh?” ulang Sisi setelah kuceritakan tentang Kaemon. Cowok itu benar-benar meninggalkan tanda tanya besar. Kok dia bisa tahu kalau hari ini banyak sekali cowok sesekolahan mengejarku?<br />“Orang yang tau future gitu kayaknya ada istilahnya deh?” tanyaku.<br /><br />“Dukun?” Dasar, wajah boleh cantik, tapi otak Sisi tetap susah diajak serius. Hingga akhirnya keluar beoan dari mulut Sisi. “Indigo kan?”<br /><br />***<br /><br />Aku browsing Internet dan menemukan banyak kejutan.<br />Indigo. Rata-rata, anak indigo emang beda sama anak-anak sebayanya. Anak indigo berjiwa dewasa serta mampu menghargai perbedaan. Indigo bukan penyakit dalam daftar WHO. Sejenak aku teringat, waktu itu Kaemon betulin jaketku agar terhindar dari hidung belang. Sangat dewasa, kan?<br /><br />Kupatut lagi monitor komputer. Anak indigo punya banyak sifat. Pertama, tingkat kecerdasan superior dengan IQ tinggi. Kedua, anak indigo dapat ngerjakan sesuatu tanpa diajarkan. Ketiga, bisa nangkep perasaan orang lain. Keempat, tahu sesuatu yang tidak dapat dipersepsi oleh pascaindera di masa kini, masa lampau, dan masa depan. Persis Kaemon. Dia tahu masa depanku!<br /><br />Yang bikin bulu kudukku berdiri ialah poin kelima: mampu mengetahui keberadaan makhluk halus. Jangan-jangan, benar kata-kata Kaemon kalau di stand bakso tersebut ada penunggunya? Bahkan, menurut info di buku, anak indigo cenderung memiliki ‘teman-teman tak terlihat’. Hiii!<br /><br />Ya Tuhan, aku berteman dengan cowok abnormal! Gimana kalo dengan kemampuannya dia bisa mengetahui seluk-beluk hidupku bahkan yang paling rahasia sekalipun? Begitu kubicarakan masalah ini ke Sisi, dia ngakak. “Masa cowok itu indigo?” celetuk Sisi tak percaya.<br /><br />Daripada jabarin sepanjang Sungai Nil, mending aku kasih langsung buktinya. “Ayo ikut!”<br /><br />***<br /><br />Kafe tenda, khususnya di stand bakso tampak ramai. Aku ajak Sisi ke tempat ini untuk menemui Kaemon, tapi hasilnya nihil. Sisi marah dan bilang aku tukang bohong. Tapi suer, setiap kali aku kesini, Kaemon mesti muncul. “Pak,” kuputuskan tanya pada pemilik stand yang sedang repot di balik gerobak. “Laki-laki yang biasanya ngobrol sama saya di pojokan itu, tinggi, terus rambutnya cepak, udah datang?”<br /><br />“Bukannya Non biasa duduk sendirian?”<br />“Bapak nggak liat? Yang tempo hari duduk sama saya, sampai saya ngobrol cekakakan!”<br />“Enggak, malah saya heran, kok Non sering bicara sendirian? Seolah-olah Non lagi ngobrol sama orang, tapi bener, nggak ada siapa-siapa kok Non,” jelas tukang bakso itu.<br />“Bapak jujur?” Sisi nimbrung.<br /><br />“Suer. Sampai diliatin orang-orang lho! Kalau nggak percaya, tanya deh ke pengunjung lain.”<br />Mampus. Apa-apaan ini? Lalu dengan siapa aku berbicara? Siapa Kaemon? Aku mulai mengingat ciri-ciri anak indigo yang pernah kulihatkan di Internet: cenderung memiliki ‘teman-teman tak terlihat’. It’s me! Dapat ngerjain sesuatu tanpa diajari, liat makhluk halus, kecerdasan superior. Itu aku kan?<br /><br />Tiba-tiba ulangan trigonometri dapat 100, bisa ngoceh tentang hukum pidana bareng Tante Nia dan sekarang punya teman tak terlihat!? Jangan-jangan jatuhnya botol kecap karena telekinetikku, lagi!<br /><br />J-jadi sebetulnya aku yang… Di tengah rintik hujan, aku berjalan tanpa arah. Tak kupedulikan teriakan Sisi yang memanggilku.<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Ayo_shiari</span><br /></div><br /></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-40633135263654504332009-10-20T14:19:00.000+07:002009-10-20T14:20:32.529+07:00Real Girlfriend Or Real Actress<div style="text-align: justify;"><br />“Boleh aku tau kenapa kau memilihku?”di samping sebuah ranjang, Lia dengan mata berkaca-kaca menatap Rian, seorang cowok ganteng berwajah pucat yang sedang berbaring sekarat di depannya.<br />Dengan terbata-bata Rian menjawab ”Karena … aku mencintaimu … aku … aku …”<br /><br />Tak sempat Rian melanjutkan kata-katanya, napas terakhirnya sudah terlanjur dihempaskan. Air mata Lia langsung mengalir deras, diikuti dengan teriakan histeris Lia “Rian!”.<br /><br />Sambil mengguncang-guncangkan tubuh Rian yang sudah tak bergerak lagi, Lia terus berteriak”Rian, bangun! Jangan tinggalkan aku seperti ini! Rian, bangun!!”<br /><br />“Cut!”sebuah suara dari belakang memecahkan suasana dramatis yang sedang terjadi. Terlihat Hanes, seorang cowok bertubuh agak tinggi dan besar, memakai kemeja dan jeans casual sedang tersenyum sambil bertepuk tangan. “Bagus! Lo berdua emang bakat jadi aktris dan aktor”<br /><br />***<br /><br />Siapa yang nggak kenal Lia? Diva ekskul drama, cantik, pintar dan yang terpenting aktingnya bener-bener keren itu sangat memikat para lelaki buaya darat d sekolah Lia. Namun, meskipun cantik, pintar dan jago akting, Lia hanyalah perempuan biasa. Yang punya rasa cinta dan kasih. Bukan hanya itu, Lia juga punya Prince Charming yang sangat disukainya, Tony. Tony adalah seorang cowok ganteng paling terkenal dari ekskul basket. Lia memutuskan akan mengungkapkan perasaannya kepada Tony besok, seusai dramanya dipentaskan.<br /><br />***<br /><br />Selesai latihan, Lia langsung pergi menuju restoran tempatnya dan Tony janjian. Hari ini Tony ulang tahun, jadi Lia ditraktir makan sepuasnya di restoran itu. Betapa beruntungnya Lia, karena hanya dialah yang ditraktir Tony hari ini. Padahal, Lia dan Tony kan baru kenal tiga bulan. Kejadian itu bermula dari jadwal ekskul drama dan basket yang tiba-tiba aja bentrok akibat ketidakbaikan menagement pembina ekskul. Jadi kedua kelompok itu menjalani kegiatannya dengan berbagi pembina.<br />Hal beruntung itu pun menghampiri Lia. Saat itulah dia berkenalan dengan Tony dan seketika itu juga mereka jadi akrab. Padahal, menurut informasi yang didapat Lia, Tony tuh nggak begitu suka deket-deket sama cewek. Dan itu berarti Lialah satu-satunya cewek dan cewek pertama yang bisa deket sama Tony.<br />Dengan perasaan senang, Lia sampai di restoran. Setelah celingak celingukan beberapa kali, akhirnya Lia menemukan Tony sedang duduk di sebuah kursi dan segera menghampirinya.<br /><br />“Hi, dah lama?”Lia tersenyum, kemudian duduk di seberang Tony.<br /><br />Tony tersenyum.”Barusan, kok!”<br /><br />“Gimana? Kita mau makan apa?”tanya Lia bersemangat.<br /><br />“Kan lo yang ditraktir, jadi lo aja yang tentuin”Tony menyerahkan buku menu kepada Lia.<br /><br />Lia ketawa.”Duh, jadi nggak enak, nih! Kan lo yang traktir. Lo aja deh yang tentuin”Lia mendorong buku menu ke depan Tony.<br /><br />Tony tersenyum. Kemudian mengambil buku menu dan membukanya.”Oke, kalo gitu gue yang tentuin, ya. Tapi inget, makannya harus habis, nggak boleh ada sisa sedikit pun”<br /><br />Lia hanya tersenyum nakal.”Lho, ini kan bukan restoran buffet”<br />Tony geleng-geleng kepala. Lia tertawa senang. Tony mengusap-usap dagunya sambil memperhatikan tulisan-tulisan dalam buku menu.”Ehm … gimana kalo kita makan steak aja?”<br /><br />“Steak? Ng …”Lia terlihat gelisah.<br /><br />“Kenapa?”Tony mengerutkan alisnya.<br /><br />“Sebenernya … gue vegetarian. Tapi kalo lo mau makan nggak pa pa kok. Gue makan yang laen aja”ucap Lia dengan tampang kasian.<br /><br />Tony terlihat serius.”Oo… sorry kalo gitu. Ya udah, kita pesen yang laen aja, ya”<br /><br />Tony kembali membolak balik buku menu.”Ehm … kalo gitu, gimana kalo kita pesen soup aja?”<br /><br />“oup?”Lia kelihatan terkejut.”Ada santennya nggak?”<br /><br />Tony memperhatikan gambar dalam buku menu.”Kayaknya sih ada. Kenapa?”<br /><br />“Ng … gue … gue alergi santen”ucap Lia pelan.<br /><br />Sekarang giliran Tony yang terkejut.”Oo… gitu ya? Oke, kalo gitu …”tangan Tony menelusuri tulisan-tulisan dalam buku menu dengan kecepatan siput.<br />Beberapa menit berlalu, namun Tony belum juga menentukan menu ke-3. Cowok itu kelihatan bingung dan sedikit takut, maksudnya takut salah milih menu lagi. Dan tiba-tiba aja tawa Lia meledak. Tony kontan melongok dan memperhatikan Lia dengan tampang bego.<br /><br />“Kenapa?”tanya Tony bingung.<br /><br />“Haha … sebenernya … gue nggak vegetarian”kata-kata Lia terus diiringi tawa.”Gue … gue juga nggak alergi santen”<br /><br />Tony terlihat memperhatikan Lia dengan serius. Wajahnya seperti menyiratkan kata-kata berikut. ”Apa sih maksud cewek ini?”<br />Masih diiringi tawa. ”Akting gue bagus, khan?”<br />Tony pun tersenyum sambil geleng-geleng kepala. ”Hmm… susah deh kalo sama calon aktris…”<br />Lia tersenyum bangga. ”Tertipu ni yee …”<br />“Iya, deh! Gue tertipu. Sekarang lo aja deh yang pesen makanannya. Gue udah blank, nih!”kata Tony sambil menyerahkan buku menu kepada Lia.<br /><br />***<br /><br />Gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruang aula. Lia dan kawan-kawan aktris dan aktor dari ekskul drama bergandengan tangan dan memberi hormat kepada penonton dari atas panggung. Selesai beres-beres, Lia buru-buru keluar aula dan menemui Tony di sana. Di depan, Tony sudah menunggu Lia. Sambil tersenyum, Tony mengacungkan jempol ke arah Lia. ”Hebat!!”<br /><br />Lia ketawa. ”Makasih, ya”<br /><br />“Ehm… jangan lupa, lho! Lo kan janji setelah nonton drama ini lo mau traktir” tagih Tony.<br />“Iye, iye … gue nggak lupa, kok!”<br /><br />***<br /><br />Tony melihat ke sekeliling. ”Suasana restoran ini romantis banget, pantesan lo maksa-maksa mesti ganti baju dulu baru ke sini”<br /><br />Lia ketawa. ”Asyik, khan! Ada musiknya lagi”<br /><br />“Oke, sekarang kita mau pesen apa?” tanya Tony sambil mengacungkan buku menu.<br /><br />“Pecel lele…” celetuk Lia.<br /><br />“Pecel lele nenek lo, restoran elit begini mana ada pecel lele?”Tony ketawa.<br /><br />Tiba-tiba aja wajah Lia terlihat sedih. Tony jadi agak khawatir.<br /><br />“Kenapa?”<br /><br />“Ng … gue jadi inget nenek gue…” Lia mulai menitikkan air mata.<br /><br />Tony kelihatan ketakutan, ia pun segera mengusap air mata di wajah Lia. ”Emang nenek lo di mana?”<br />“Nenek … nenek gue udah meninggal” air mata Lia makin deras.<br /><br />Tony kelihatan bingung, nggak tau mesti gimana. ”Ng …”<br /><br />Lia masih menangis.<br /><br />“Ng …”Tony masih berpikir mau gimana menghibur Lia.<br /><br />Tapi, tiba-tiba aja hal itu jadi nggak penting lagi. Tawa Lia meledak.<br /><br />“Ketipu lagi!”Lia dengan wajah berlinang air mata ketawa.<br /><br />Tony menghela napas. ”Lia … lo bener-bener bikin gue bingung. Kapan sih lo bener-bener jadi Lia dan kapan lo jadi aktris?”<br /><br />Lia ketawa. ”Tebak aja”<br /><br />Tony tersenyum. ”Ya udah, sekarang kita udah bisa pesen makanan, khan?”<br /><br />Lia mengangguk senang.<br /><br />***<br /><br />Terlihat Lia dan Tony sedang berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah, rumah Lia.<br /><br />Tony tersenyum. ”Oke, sampe besok, ya”<br /><br />Lia tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya.”dadah”<br />Tony berbalik dan berjalan menjauh. Tapi tak lama kemudian teriakan Lia menghentikan langkahnya.<br /><br />“Tony!” panggil Lia.<br /><br />Tony menoleh, Lia sudah ada di belakangnya sambil terengah-engah.<br /><br />“Kenapa?” tanya Tony.<br /><br />“Gue … ada yang mau gue ngomongin” Lia terlihat gugup dan salah tingkah.<br />Tony melipat tangannya dan tersenyum. ”Ngomong aja, nggak pa pa, kok!”<br /><br />Lia sedikit tertunduk.<br /><br />”Gue … sebenernya sejak dulu gue suka banget sama lo. Tapi … gue nggak berani bilang atau pun deketin lo, soalnya ada gosip yang bilang kalo lo tuh benci sama cewek. Tapi … waktu jadwal ekskul kita bentrok, kita jadi kenal dan … jadi akrab kayak sekarang. Gue seneng banget”<br /><br />Tony kelihatan menanti-nanti apa kata-kata Lia selanjutnya.”Jadi?“<br /><br />“Jadi … lo … lo mau nggak … jadi … pacar gue?”Lia kelihatan gugup sekali waktu kata-kata itu keluar dari mulutnya.<br /><br />Tony tersenyum. ”Lia … sebenernya … dulu gue emang benci sama cewek. Karena gue pikir cewek tuh kerjaannya cuma ngegosip dan melakukan kegiatan sejenisnya. Tapi hal itu berubah sejak jadwal ekskul kita bentrok waktu itu. Waktu itu gue liat lo lagi akting, gue bener-bener kagum. Gue nggak nyangka kalo di dunia ini ada cewek kayak lo. Lo bener-bener ajaib. Karena itu gue jadi suka bertemen sama lo”<br /><br />Lia berubah jadi semangat, wajahnya memerah akibat malu.<br /><br />“… Belakangan, gue sadar kalo perasaan gue ke elo bukan cuma temen. Ternyata … gue juga suka sama lo … dan gue berencana nembak lo. Tapi nggak disangka, malah lo yang nembak gue duluan”<br /><br />“Jadi … sekarang kita udah jadian?”Lia bersemangat sekali, wajahnya berseri-seri.<br /><br />Tony terlihat serius.”Sorry … cerita gue belom selesai. Tolong dengerin dulu sampe selesai. Dulu, gue emang niat nembak lo”<br /><br />“Dulu?”Lia berteriak dalam hati.<br /><br />“… tapi ada suatu hal yang mengubah itu”<br /><br />“Apa?”tanya Lia cepat.<br /><br />Tony mempertegas kata-katanya.”Masalahnya, gue nggak tau kapan lo jadi Lia yang sebenernya dan kapan lo lagi akting. Jadi, gue nggak tau kata-kata lo yang mengharukan barusan itu bener atau enggak. Siapa tau lo lagi akting kayak waktu lo bilang kalo lo itu vegetarian, alergi santen atau sedih karena nenek lo yang udah meninggal”<br /><br />“Tapi … tapi gue bener-bener suka sama lo. Gue nggak lagi becanda, gue serius, kok!” Lia membela diri.<br /><br />Tony menggeleng. ”Sorry … gue nggak bisa … udah cukup gue dibohongi 2 kali, gue nggak mungkin ketipu ketiga kalinya”<br /><br />Kemudian, Tony pun pergi meninggalkan Lia seorang diri. Lia segera berlari ke dalam rumah dan menangis di dalam kamarnya.<br /><br />***<br /><br />Meskipun sedih, Lia tetep pergi ke sekolah keesokkan harinya. Tapi, begitu ia sampai di kelas …<br /><br />“Wah, Lia … lo vegetarian? Kok gue baru tau? Bukannya lo paling suka makan bakso?”goda Dido ketika Lia baru aja masuk kelas.<br /><br />Lia langsung melirik ke arah suara. ”Darimana dia tau …”<br /><br />“Eh, bukan tau. Lia nggak vegetarian, tapi dia tuh alergi santen”teriak Eni.<br /><br />“Alergi santen? Mana mungkin? Tiap pagi kan si Lia makan ketupat, minta kuahnya banyak lagi”celetuk Roni.<br />Kemudian temen-temen sekelas yang berjumlah sekitar 10 orang itu ketawa.<br /><br />Lia memperhatikan seisi kelas, air matanya mulai menetes.”Ton, lo kok tega amat membeberkan hal ini ke semua orang? Apa lo benci banget sama gue?”<br /><br />“Lho, Lia lo kenapa? Nenek lo meninggal?”Joni kembali memulai godaan.<br /><br />Tawa dalam kelas kembali meledak.<br /><br />“Eh, eh, pada diem dulu …” kata Seli menenangkan.<br /><br />Anak-anak sekelas pun diam dan mendengarkan Seli.<br /><br />“Dia bukan nangis gara-gara neneknya meninggal, tapi gara-gara ditolak Tony.” teriak Seli.<br /><br />Air mata Lia makin deras, ia pun berlari keluar kelas. Di tengah-tengah emosinya yang memuncak, Lia berlari tanpa mengenal arah. Ia pun menabrak tubuh seseorang, yang ternyata adalah tubuh Tony.<br /><br />Tony tersenyum.”Hi”<br /><br />Lia segera memukul-mukul dada Tony. ”Ton, lo jahat! Lo jahat banget! Masa lo sebarin semua itu? Lo jahat! Jahat!! Kalo lo nggak suka gue, ya udah! Kalo lo benci gue, ya udah! Tapi kenapa lo harus mempermalukan gue kayak gitu? Lo jahat banget!”<br /><br />Tony malah ketawa.”Lho, kok gue dibilang jahat sih? Gue kan cuma menceritakan kisah cinta kita sama temen-temen. Supaya mereka tau betapa romantisnya kisah cinta kita”<br /><br />“Kisah cinta apaan?” teriak Lia. Ia pun makin keras memukul-mukul da.da Tony.<br /><br />Tony tersenyum, kemudian memeluk Lia. Setelah Lia agak tenang, Tony mengusap air mata Lia.<br /><br />“Oke, oke … gue minta maaf … gue janji gue nggak bakal melakukan hal ini lagi. Jadi …”<br /><br />Lia mengusap-usap air matanya sampe bersih.”Jadi apa?”<br /><br />“Jadi … sekarang kita udah jadian, khan?”Tony tersenyum.<br /><br />“Jadian?”Lia kelihatan bingung.<br /><br />“Ya iyalah! Seluruh sekolah udah tau kok kalo kita udah jadian”<br /><br />“Tapi … tapi kemaren kan …”<br /><br />“Oh, kemaren, ya? Kemaren kan gue cuma nyoba menyaingi akting lo. Lo ngerjain gue dua kali, gue ngerjain lo sekali. Cukup adil kan?”Tony ketawa.<br /><br />Detik itu Lia baru sadar kalo dia udah dikerjain abis-abisan. Lia pun tersipu malu.”Ah, Tony jahat!”<br /><br />“Siapa suruh lo ngerjain gue terus”sahut Tony.<br /><br />Lia berubah menjadi serius.”Ton, gue janji nggak bakal bohongin lo lagi. Gue cuma akan berakting di atas panggung dan nggak bakal akting di depan lo lagi. Gue cuma akan jadi diri gue sendiri kalo di depan lo. Tapi lo juga harus janji, lo nggak boleh bales gue kayak gini lagi”<br /><br />Tony tersenyum.”Oke, kalo gitu kita janjian …”<br /><br />Tony mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Lia, kemudian mereka pun tersenyum.<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Oleh : Unknown</span><br /></div></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-50736723350639578512009-10-20T14:17:00.000+07:002009-10-20T14:18:15.297+07:00Adakah Kesempatan<div style="text-align: justify;">Adakah Kesempatan?<br /><br />Valey mengeluarkan sebuah plastik hitam berisi bekal makan siang dari dalam tasnya. Lalu ia pun mengeluarkan kotak bekal dan meletakkannya di atas meja. Hari ini mamanya memasakkan makanan kesukaannya, yaitu nasi goreng special ala mama. Wah, nggak kebayang deh, gimana enaknya.<br /><br />Tapi, ketika membuka kotak bekalnya itu, Valey kaget setengah mati.<br /><br />“Kyaaaaaa, apa ini?“<br /><br />Kotak bekalnya dipenuhi lalat, mungkin ribuan jumlahnya.”Siapa yang naro lalat di kotak bekal gua?“<br /><br />“Gua.” Jawab sebuah suara yang sangat dikenal Valey. Suara orang yang paling dibenci Valey, siapa lagi kalo bukan?<br /><br />“Stan? Ngapain lagi sih lu?”teriak Valey kepada seorang cowok bertampang imut yang sedang berdiri di depan pintu kelas.<br /><br />Cowok itu tersenyum manis. ”Sorry, lu kan tau kalo gua ikut ekskul biologi, nah, sekarang gua lagi meneliti lalat. Lalat itu kan paling suka sama makanan. Nah, gua jadi penasaran, gimana kalo lalat dimasukin ke dalam kotak bekal yang isinya penuh dengan makanan? Apakah dia bakal hidup makmur? Tapi gua liat semua lalat di kotak bekal lu mati, kenapa, ya?”<br /><br />“Tentu aja mati. Gimana nggak mati, lu masukin lalat begitu banyak ke kotak bekal gua, trus lu tutup rapet. Tuh lalat mana bisa hidup, orang di dalem nggak ada oksigen” kata Valey kesel.<br /><br />“Oh, iya, bener juga ! Ternyata lu pinter juga, ya? Thanks, ya ! Akhirnya penelitian gua berhasil”ucap Stan sambil ketawa seneng.<br /><br />“Iya, tapi gua nggak bisa makan, (#_-) !!” kata Valey sambil melempar kotak bekalnya itu ke arah Stan, biar dia makan tuh lalat sekalian.<br /><br />Tapi sayang, Stan keburu lari keluar kelas. Valey pun duduk sambil melipat tangan dan memasang tampang kesel. Lalu dia mulai berpikir. Dulu Stan nggak begini, dulu dia baek banget sama Valey. Bahkan mereka udah PDKT dan tinggal selangkah lagi, mereka akan menjadi pasangan yang paling serasi di dunia ini. Itu sih menurut Valey, lho! Padahal, dulu Valey sangat amat suka sekali sama Stan, bahkan cowok ganteng mana pun nggak ada yang bisa menandingi Stan. Nggak ada satupun cowok laen yang dipandang sama Valey, bahkan dipandang sebelah mata pun enggak. Tapi sejak Stan kecelakaan waktu mo dateng ke pesta ultah Valey yang ke – 16 dua bulan yang lalu, dia mulai berubah. Sejak itu, Stan nggak lagi baek sama Valey, malah dia berubah jadi nyebelin. Dan yang paling nyebelin, waktu keluar dari rumah sakit, Stan nggak ngasih Valey kado. Gimana Valey nggak kesel?<br />Sejak itu, Stan jadi suka bertindak nggak wajar. Itu sih menurut Valey. Masa dia nyebar isu kalo Valey hamil, dan lagi, hamilnya itu anak kodok, katanya waktu praktek biologi, kodok yang bakal jadi bahan eksperimen Valey bertelur dan tanpa sengaja telurnya kemakan sama Valey karena waktu abis praktek Valey nggak cuci tangan. Coba pikir aja, mau dipikir pake otak sebelah mana juga nggak bakal ada yang percaya. Valey sendiri aja nggak percaya. Tapi, siapa sangka, sejak isu itu beredar, semua ngegosipin tuh isu, bahkan sampe – sampe, si Steven, tukang sapu sekolah pun tau gosip itu, dan dia ketawa – ketawa waktu ngeliat Valey. Gimana Valey nggak kesel coba?<br />Katanya sih, waktu kecelakaan itu, dokter bilang kepala Stan terbentur keras. Mungkin itu yang menyebabkan Stan jadi gi.la, begitulah anggapan Valey terhadap Stan sekarang. Bukannya Valey jahat atau kasar sampe ngatain tuh anak gila, tapi memang begitulah kenyataannya.<br />Kadang Valey berpikir, apa Stan nggak capek mikirin cara buat bikin dia kesel. Stan emang anak yang pinter dan kreatif, tapi jangan sampe ngerugiin orang gitu. Tapi, kalo dipikir – pikir lagi, emang gua pikirin? Pacar bukan, temen bukan, buat apa meres otak buat orang kayak gitu?<br /><br />***<br /><br />Sudah seminggu lebih si Stan gi.la itu nggak ngegangguin Valey, baguslah, mungkin ide – ide gilanya udah abis dipake, atau mungkin dia udah capek ngerjain Valey.<br /><br />“Eh, Val, lu dah denger belon gosip terbaru?”tanya Nelly yang tiba – tiba dateng deketin Valey.<br /><br />“Gosip apa lagi? O, ya, sekarang kan pelajaran biologi lagi praktek jangkrik. Jangan – jangan gosipnya gua hamil anak jangkrik lagi”jawab Valey.<br /><br />“Bukan. Katanya si Stan kan mau pindah besok, sekarang dia lagi ngurusin surat – surat kepindahannya di kantor kepala sekolah” kata Nelly, si biang gosip di kelas Valey.<br /><br />“Ih, sabodo teuing, mang gua pikirin? Bagus dia mo pindah, berarti Tuhan masih sayang ma gua, dia mo lenyapin orang gi.la yang selalu gangguin gua itu”jawab Valey cuek.<br /><br />“Loh, Val, lu masih benci ma dia? Biar gimana pun juga kan dulu dia baek sama lu, bahkan dia sampe kecelakaan waktu mo ke pesta ultah lu, apa lu nggak merasa bersalah sedikit pun ma dia? Biar gimana dia kan dah mo pindah, yah ngomong kek sepatah atau dua patah kata perpisahan sama dia”<br /><br />“Dih, dia yang kecelakaan, kok gua yang disalahin? Kan dia sendiri yang nggak bisa nyeberang. Lu ngomong begitu seakan – akan waktu kecelakaan itu gua yang dorong dia dari belakang”<br /><br />“Yah, tapi lu jangan berpikiran negatif mulu, donk! Pikirin juga hal–hal positifnya, masa sih dia nggak pernah berbuat baek sama lu sekalipun? Padahal dulu gua liat lu deket banget ma dia, bahkan sampe digosipin pacaran segala”<br /><br />Valey berpikir sejenak, bener juga kata Nelly. Nggak ada salahnya kalo Valey ngucapin kata – kata perpisahan buat orgil itu, kan setelah itu dia bisa hidup tenang.<br /><br />“Ya udah, jangan cerewet, sekarang juga gua temuin dia, puas?”<br /><br />Nelly cuman tersenyum karena misinya membujuk Valey telah berhasil. Valey pun berjalan menuju kantor kepala sekolah, tapi di tengah jalan, Valey melihat Stan lagi ngorek – ngorek tanah di bawah pohon gede di halaman samping lapangan basket.<br /><br />“Ngapain tuh anak?” Valey bertanya – tanya.<br /><br />Valey berdiri terpaku ngeliatin Stan yang lagi ngobok – ngobok. Trus dia mulai berpikir, wah, jangan–jangan gilanya kambuh, trus dia mulai bersikap kayak anji.ng, suka ngubur – ngubur tulang di bawah pohon. Bukannya Valey suka berpikir yang bukan – bukan, tapi menurut pengetahuannya yang didapet dari film kartun, kalo orang udah gi.a, kemungkinan tuh orang berlaku kayak hewan sangat besar.<br />Karena asyik mikir, Valey sampe nggak nyadar kalo Stan dah nggak ada di bawah pohon. Wah, kemana dia? Valey jadi penasaran, bener apa enggak, ya analisa Valey tadi? Untuk membuktikannya cuma ada satu cara, yaitu menggali kembali tanah yang tadi diubek – ubek ma Stan, kalo isinya tulang, berarti analisa Valey bener. Dan itu berarti Valey bisa jadi detektif hebat seperti yang dicita – citakannya.<br />Valey pun memulai aksinya, dia mulai menggali – gali tuh tanah. Sambil menggali, Valey membayangkan saat tulang yang dikubur Stan ditemukannya, Valey tertawa senang, ia membayangkan gimana tampang Stan waktu Valey membongkar kedoknya di depan semua orang, dia pasti nggak punya muka lagi buat pegi sekolah, dengan begitu dia nggak bakal dateng – dateng lagi ke sekolah, seperti yang diharapkan Valey. Eh, tapi .. dia kan emang udah mau pindah sekolah, ngapain juga Valey ngebuka kedoknya di depan semua orang? Lagian nanti waktu Valey mengeluarkan bukti yang ditemukannya, alias tulang, pasti Stan bakal bilang”Lu kan tau gua ikut ekskul biologi, dan sekarang gua lagi meneliti tulang, tulang itu kan sangat kuat, tapi kata orang kalau tulang dikubur, lama – lama bakal hancur, jadi gua mau meneliti berapa lama tulang itu hancur dalam tanah”.<br /><br />Ngebayanginnya aja Valey udah kesel, soalnya tuh orang selalu aja bisa ngejawabin semua kata – kata Valey, Valey nggak pernah bisa menang berdebat sama Stan, dan itu yang bikin Valey tambah kesel. Ah, udah jangan dipikirin lagi ! Makin dipikir, malah makin kesel. Valey pun terus menggali, gali dan gali. Gali punya gali, akhirnya Valey menemukan sebuah kantong plastik berwarna hitam.<br /><br />“Emang ada anjing yang masukin tulang ke kantong plastik? Mungkin supaya nggak kotor”pikir Valey.<br /><br />Valey pun mengambil kantong itu, tapi raba punya raba, kok kantong itu rata – rata aja? Bentuknya nggak menunjukkan kalo isinya adalah tulang.<br /><br />“Mungkin tulangnya udah diremukin jadi bubuk, biar lebih gampang dicerna”Valey membela analisanya.<br /><br />Valey pun mengeluarkan isi kantong hitam itu, ternyata isinya sebuah amplop berwarna biru. Waw, bagus banget, warna biru kan warna kesukaan Valey. Ia pun mengeluarkan isi amplop itu, ternyata isinya sebuah kartu ucapan. Tepatnya kartu ucapan selamat ulang tahun. Valey segera membuka kartu itu.<br />Ternyata benar tebakan Valey, kartu itu adalah kartu ucapan untuknya. Di dalam kartu itu tertulis tanggal ultah Valey dan ucapan selamat ultah buat Valey yang ke – 16. Trus, di sudut kanan kartu tertulis sebuah kalimat yang ditulis dengan huruf besar,tapi dengan tulisan kecil. Mungkin maksudnya supaya orang tidak tahu itu tulisan, soalnya tulisan itu tertulis di bawah nama Stan, jadi tulisan itu lebih mirip garis, karena ditulis sangat kecil. Tapi berhubung Valey adalah calon detektif terkenal, maka Valey bisa menemukan tulisan itu.<br />Valey memicingkan matanya, ia berusaha membaca tulisan kecil itu, lalu mengeja hurufnya satu per satu.<br />“I”<br />“L”<br />“O”<br />“V”<br />“E”<br />“U”<br /><br />“I Love U” kata Valey menyatukan huruf – huruf yang diejanya.<br /><br />Apa nggak salah? Kalo dia emang mau ngungkapin perasaannya sama Valey, kenapa nggak jadi? Apa mungkin dia benci sama Valey karena gara – gara mau pergi ke pesta ultah Valey dia jadi kecelakaan? Apakah dia nyalahin Valey atas kecelakaan yang dialaminya? Pokoknya Valey harus menemukan jawabannya.<br />Valey pun segera berlari ke kantor kepala sekolah. Tapi, di sana Valey nggak menemukan Stan. Kata pak kepala sekolah, sih dia udah pulang. Valey pun mengurungkan niatnya untuk sementara waktu. Tapi waktu sampe di rumah, Valey segera mengirim sms ke Stan, tapi hp Stan nggak aktif, jadi Valey meninggalkan pesan di mail box Stan dan bilang kalo Valey menunggunya di taman tempat mereka biasa ketemu dulu jam 7 malam. Tapi, Stan nggak dateng – dateng juga. Valey melirik jam tangannya, sudah pukul 11 malam, hujan mulai turun. Makin lama makin deras. Valey pun pulang.<br />Tapi, Valey masih belon nyerah, keesokan harinya, pagi – pagi sekali sebelum pergi ke sekolah, Valey ke rumah Stan. Waktu Valey sampe, dia terus manggil – manggil nama Stan, tapi nggak ada seorang pun yang keluar dari rumahnya. Mungkin masih tidur, pikir Valey, maka ia berteriak makin keras. Tapi tetap tak ada seorang pun yang keluar.<br /><br />“Neng, percuma panggil – panggil terus !”ucap seorang bapak yang ada di belakang Valey, mungkin tetangga Stan.<br /><br />“Memangnya pada kemana, pak?”tanya Valey setelah berbalik.<br /><br />“Semua orang rumah pergi melayat, kan semalam anak laki – laki bungsunya yang namanya Stanley itu meninggal”jelas tuh bapak.<br /><br />“Apa? Meninggal? Kenapa?”<br />“katanya sih gara – gara sakit kanker, padahal dulu nggak kenapa – napa tuh, tapi menurut gosip warga sini, sekitar dua bulan yang lalu, si Stanley kecelakaan, walaupun lukanya nggak parah, tapi waktu itu dokter bilang ternyata Stanley mengidap kanker. Mungkin kalo dia nggak kecelakaan, nggak ada yang tau kalo dia sakit, orang anak itu sangat lincah”<br /><br />Valey tak bisa lagi berkata apa – apa. Dia hanya berdiri terpaku sambil menatap rumah Stan yang kosong.<br /><br />“Udah, ya, Neng, saya mau pergi melayat dulu”<br /><br />Pantas, pantas Stan jadi berubah sejak kecelakaan itu, pantas dia jadi sering menjahili Valey, pantas dia mau pindah dari sekolah, pantas dia mengubur kartu ucapan selamat ulang tahun buat Valey, pantas…<br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Unknown</span><br /></div></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-56738984766561125452009-10-20T14:14:00.000+07:002009-10-20T14:16:18.744+07:00Kapan Pelajaran Fisika Dimulai?<div style="text-align: justify;">Sebelumnya, aku belum pernah bertemu dengan pria seperti Aldo. Dia pintar, baik, tampan, dan yang terpenting, kami sangat akrab, bahkan semua teman di sekolah selalu bertanya padaku apakah Aldo itu pacarku ? Mereka bilang aku sangat beruntung.<br />Walaupun aku selalu menggelengkan kepala ketika mereka bertanya, tapi sebenarnya saat itu hatiku berteriak “ Ya, benar, Aldo adalah pacarku, aku sangat suka padanya. Dia adalah milikku “ Kurasa dia benar – benar adalah Mr. Right yang selama ini kutunggu – tunggu.<br /><br />“Hei, apakah kau yang bernama Helen ?“ Tanya seorang wanita cantik yang tiba – tiba berada di depanku. Suara halus wanita itu telah membuyarkan semua lamunan indahku tentang Aldo barusan.<br /><br />Wanita itu sangat cantik, bahkan aku yang selalu menganggap diriku paling cantik tidak bisa lagi berkata apa – apa di depannya. Dia benar – benar cantik.<br /><br />“Betul, anda ini siapa ? “ tanyaku.<br />“Kalau begitu, kau ini pasti sedang dekat dengan pria bernama Aldo, kan?“<br /><br />Bagaimana dia bisa tahu namaku ? Juga, bagaimana dia bisa tahu aku dekat dengan Aldo ? Ada lagi, bagaimana dia bisa tahu sekolahku ? Dan bagaimana dia bisa tahu kalau sekarang aku sedang berada di sekolah ?<br /><br />“Dari mana kau tahu ? “<br />“Aku tidak ingin kau mengikuti jejakku. Lebih baik kau segera meninggalkan Aldo, dia itu playboy. Dulu dia juga sangat baik padaku, seperti denganmu sekarang. Teman – temanku selalu mengatakan kalau kami adalah pasangan serasi. Dulu, kami bagaikan Romeo and Juliet. Tapi hal itu tak berlangsung lama, tak lama kemudian, aku melihatnya menggandeng wanita lain sambil tertawa – tawa gembira, aku langsung menghampirinya, ingin meminta penjelasan darinya, aku bertanya padanya, mengapa dia menggandeng wanita itu seperti menggandengku dulu ? Apa hubungannya dengan wanita itu ? Mengapa dia menghianatiku ? Tapi apa kau tahu jawabannya ? Dengan santainya dia bertanya padaku, “<br />Nona, apa aku mengenalmu ? “. Bahkan dia berpura – pura tidak mengenalku di depan wanita itu, saat itu aku ingin sekali membencinya, tapi aku tak bisa, aku terlalu menyukainya, yang kurasakan bukanlah kekesalan, tapi malah kesedihan, aku sangat sedih, perlu waktu lama untuk bisa melupakan peristiwa itu, makanya aku tidak mau kau mengalami hal yang sama denganku “ jelas wanita cantik itu.<br /><br />“ Atas dasar apa aku harus mempercayai kata – katamu ? “<br /><br />“ Kau harus percaya padaku, HARUS … … … “<br /><br />***<br /><br />“ Halo, Helen ! “ sapa Nia, teman sekamarku.<br /><br />“ Halo juga “ jawabku.<br /><br />“ Helen, apa hubunganmu dengan murid baru yang cantik itu sangat dekat ? “ tanya Nia.<br /><br />“ Sebenarnya sih tidak, tapi sudah tiga hari ini dia terus mendatangiku dan mengatakan hal – hal buruk tentang Aldo. Dia ingin aku menjauhi Aldo. Kurasa sekarang aku jadi terpaksa akrab dengannya, bahkan mungkin aku tahu riwayat hidupnya, kapan dan dimana dia lahir, apa warna kesukaannya, apa makanan kesukaannya, siapa cinta pertamanya, kebisaaan – kebisaaan buruknya, bahkan rahasia – rahasia kecilnya, seperti pernah tidak mandi selama sebulan, tidak gosok gigi selama setahun dan sebagainya. Bahkan kalau dia tidak menjelek – jelekan Aldo, mungkin aku akan menjadi sahabatnya “ jelasku.<br /><br />“ Benarkah ? Lalu apakah kau tahu kalau dia itu orang gila ? “<br /><br />“ Apa ?? Orang gila ? Apa aku tidak salah dengar ? “<br /><br />“ Benar, aku tidak bohong. Kelihatannya saja ia masih seumur dengan kita, karena wajahnya babyface, tapi sebenarnya ia lebih tua tiga tahun dari kita. Sebenarnya, dia bisa dibilang teman akrab kakakku, dulu kakakku sangat dekat dengannya, jadi semua yang dialaminya, kakakku tahu. Katanya dulu orangtuanya ngotot kalau anaknya itu tidak gila. Lagipula, orangtua mana yang mau anaknya dibilang gi.la ? Tapi karena ia suka mengancam jiwa teman – temannya dengan menodongkan pisau ke semua orang, maka akhirnya orangtuanya baru mau mengakui kalau anaknya itu memang bertindak tidak wajar, nah barulah ia diasingkan dari sekolah, ia dikirim ke luar negri untuk berobat. Lalu, bulan berganti bulan, waktu berganti waktu, ia pun sudah mulai sembuh, maka ia dikirim kembali ke sini “ jelas Nia.<br /><br />“ Nia, kau jangan membohongiku, aku kan jadi takut. Orang gi.la kan bisa melakukan apa saja. Nia, aku takut, untung kau mengatakannya sekarang, kalau tidak mungkin aku sudah bersahabat dengan orang gila “ ucapku ngeri.<br /><br />“ Makanya, kau jangan terlalu percaya pada orang lain “<br /><br />“ Kalau dipikir – pikir, pantas saja ia mengatakan hal – hal buruk tentang Aldo, dari pertama aku sudah curiga, eh bukan – bukan, dari pertama aku sudah tahu kalau itu bohong. Mana mungkin pria sebaik Aldo playboy ? Walaupun aku tidak pernah bertanya langsung kebenarannya kepada Aldo, tapi aku percaya, Aldo pasti bukan orang seperti itu. Ternyata benar, wanita itu gi.la. Kasihan masih muda sudah gila “<br /><br />Aku dan Nia pun tertawa terbahak – bahak.<br /><br />“ Tapi, bagaimana, ya perasaan menjadi orang gila ? “ tanyaku serius.<br /><br />Nia pun ikut serius. Kami berpikir sejenak.<br /><br />“ Ah, sudah, sudah, jangan dipikirkan lagi ! “ ucapku takut.<br /><br />“ Nia, ayo minum obat !! “ panggil seorang suster.<br /><br />“ Ah, dia datang lagi ! Helen, aku pergi dulu, ya ! “ ucap Nia sambil beranjak pergi.<br /><br />Aku tertawa senang, karena ternyata isu jelek tentang Aldo itu tidak benar, berarti ia bisa kembali menjadi Mr. Right – ku.<br />Aku memutuskan untuk melihat Aldo, sudah tiga hari ini aku tidak bertemu dengannya, karena wanita itu selalu mendatangiku dan tidak memberiku kesempatan untuk bertemu Aldo. Untung hari ini wanita gila itu tidak datang lagi mencariku.<br />Aku pun pergi ke kelas Aldo. Saat aku sedang berjalan menuju kelas Aldo, aku mendengar suara teriakan yang sangat keras yang berasal dari kelas Aldo, dan seingatku itu suara Aldo.<br />Saat aku masuk, aku melihat kedua tangan Aldo sedang dipegang oleh dua orang guru. Kedua guru itu berusaha mengikat Aldo dengan tali, sedangkan murid – murid yang lain hanya bisa melihatnya dari samping. Aldo terus berteriak dan memberontak.<br /><br />“ Lepaskan !!! Jangan !!! “ ucap Aldo sambil menendang – nendangkan kakinya ke arah pak guru, lalu kembali mengulang kata – kata yang sama berkali – kali.<br /><br />Aku sangat bingung, sebenarnya apa yang terjadi ? Mengapa Aldo sampai harus diikat ? Memangnya apa yang sudah dilakukannya ? Mengapa Aldo yang kulihat sekarang tidak seperti Aldo yang kukenal, mengapa Aldo bisa seperti ini ? Kemana perginya Aldo yang ramah, sopan, murah senyum dan baik itu ? Kemana ? Mengapa yang kulihat sekarang hanyalah seekor kingkong yang meronta – ronta minta dilepaskan ? Mengapa begitu ? Mengapa ?<br />Tiba – tiba seseorang menepuk pundakku, aku tersentak kaget. Aku segera berbalik, ternyata Nia.<br /><br />“ Nia, bikin kaget saja “ ucapku sambil mengurut – urut dadaku tanda menenangkan jantungku.<br /><br />“ Helen, ternyata wanita itu benar. Wanita itu dan Aldo benar – benar kenal “ ucap Nia.<br /><br />“ Apa maksudmu ? “<br /><br />Nia mendekatiku, lalu berbisik di telingaku “ Ternyata, Aldo juga gila. Mereka pernah berteman, ternyata yang dikatakan wanita itu benar. Lihat, sekarang Aldo sedang kumat, makanya dia diikat “ jelas Nia serius.<br /><br />“ Apa kau bilang ? “<br /><br />Seketika itu juga hatiku galau. Aku tidak berani lagi melihat Aldo, aku segera berlari ke kamarku, lalu aku pun menangis.<br />Aku benar – benar tidak bisa menghadapi kenyataan ini, Aldo gi.la ? Terlintas saja tidak pernah di pikiranku. Kalau Aldo memang gila, mengapa dulu ia begitu baik padaku, mengapa dulu dia sangat normal ? Mengapa dia tidak pernah kumat saat bersamaku, mengapa ia baru kumat sekarang ? Padahal aku kan selalu menghabiskan waktuku sepanjang hari bersamanya.<br />Sekarang ini aku tidak tahu lagi apa yang sedang kurasakan, sebenarnya aku ini kecewa karena Aldo bukan Mr. Right – ku atau takut karena Aldo itu orang gila ? Atau mungkin aku malu pada teman – teman karena ternyata orang yang begitu dekat denganku, yang selalu digosipkan sebagai pacarku, ternyata …<br />Aku menangis sepanjang hari, aku terus berpikir dan berpikir. Nia teman baikku hanya bisa menemaniku sambil duduk di sampingku dan berusaha menghiburku.<br /><br />“ Sudah, Aldo kan bukan satu – satunya pria di dunia ini, kau pasti bisa mendapatkan yang lebih baik daripada Aldo. Percayalah padaku “ hibur Nia.<br /><br />Saat mendengar kata – katanya, aku pun berpikir. Benar juga, tidak seharusnya aku rapuh hanya karena seorang pria, aku ini kan wanita yang kuat. Aku pun segera mengusap air mataku.<br /><br />“ Benar, aku tidak selemah itu, aku harus bangkit kembali “ ucapku.<br /><br />“ Betul, Helen yang kukenal seharusnya memang begini. Lihat tuh, tampangmu sekarang, mata bengkak, pipi bengkak, mulut bengkak, semua bengkak, sangat tidak enak dipandang “<br /><br />Aku segera bercermin. Ternyata yang dikatakan Nia benar, tampangku jelek sekali saat itu, padahal kan selama ini aku selalu menganggap diriku adalah wanita paling cantik di dunia. Tidak boleh, tidak boleh ada seorang pun yang membuatku menjadi jelek.<br /><br />“ Nia, aku harus bagaimana ? Apakah wajahku akan terus begini ? “ tanyaku cemas.<br /><br />“ Tenang, besok juga sudah kembali normal, asal malam ini kau tidur yang cukup dan besok bangun dengan semangat yang baru “ kata Nia sambil tersenyum.<br /><br />Aku pun menuruti kata – katanya. Aku segera tidur dengan nyenyak, dan keesokkan harinya bangun dengan semangat baru.<br />Aku membereskan buku pelajaranku, memeriksa apakah pelajaran yang kubawa sesuai dengan jadwal, setelah itu aku pun berangkat ke sekolah.<br />Pagi ini aku tidak melihat Nia, mungkin ia sudah berangkat duluan, jadi aku pun berangkat sendiri. Aku berlari dengan semangat menuju kelasku.<br /><br />“ Helen, jangan lari – lari, nanti jatuh “ ucap suster yang tiba – tiba ada didepanku.<br /><br />“ Aku kan mau pergi ke sekolah dengan semangat baru “ jawabku.<br /><br />“ Iya, tapi jangan lari – lari “ jawab suster.<br /><br />“ Suster, pagi ini aku tidak melihat Nia, kemana dia ? “ tanyaku.<br /><br />“ Oh, dokter bilang dia sudah sembuh, jadi dia boleh pulang “<br /><br />“ Pak guru bilang dia sudah sembuh ? Ah, tidak bisa, tidak bisa, aku harus bicara dengan Nia. Ada hal penting yang ingin kutanyakan dengannya “<br /><br />Aku segera berlari keluar gerbang sekolah, aku mencari Nia sambil berteriak “ Nia, kau dimana ? Ada yang ingin kutanyakan “<br />Tapi aku melihat ke sekelilingku, Nia tidak ada.<br /><br />“ Nia tidak ada, dia sudah pulang ke rumahnya “ ucap suster yang masih membawa obat sambil berlari mengejarku ke luar.<br /><br />Aku menatap papan nama sekolahku yang besar. Aku bingung kenapa Nia mau pergi dari sekolah ini, padahal sekolahku ini kan sangat terkenal, semua orang pasti tahu nama sekolahku. Namanya saja begitu keren, kalau dieja R – U – M – A – H – S – A – K – I – T – J – I – W – A – G – R – O – G – O – L, lengkapnya Rumah Sakit Jiwa Grogol. Wah, kerennya ! Benar – benar nama yang unik. Aku bisa tebak, pasti yang menamai sekolahku ini adalah orang yang kreatif, karena nama yang diberikannya sangat berseni. Sekolah yang benar – benar kubanggakan.<br />Nia sudah pergi, tapi tidak apa – apa, aku akan pergi ke sekolah dengan semangat baru. Aku kembali ke dalam gedung sekolahku. Suster pun mengikutiku.<br /><br />“ Suster, kapan pelajaran Fisika dimulai ? Hi… hi… hi… “ tanyaku sambil tertawa.<br /><br />“ Setelah kamu minum obat, ya ? “ jawab suster.<br /><br />“ Iya, suster. Hi… hi… hi… “<br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Unknown...</span><br /></div></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-82506533720438391332009-10-20T14:12:00.000+07:002009-10-20T14:13:03.074+07:00Last Words, Before I Miss U<div style="text-align: justify;"><br />New life… aku pikir semua orang kini punya dunia masing-masing. Ini bukan masa SMA yang dulu. Aku sadar..semua telah berubah. Dia, mereka..begitu juga denganku. Sungguh aku sadar dalam hidup tak ada yang abadi. Dulu dia memanggilnku ’sobat’ tapi sekarang aku bagai rumput yang tak terlihat. Belum lepas dari ingatan betapa ia mengagumiku..namun kini, aku bagai jalang yang terlupakan.<br /><br />Suara berisik ada dimana-mana. Riuh rendah hingarnya tawa beradu dalam gema. Wajah ceria terlihat pada mereka yang terperangkap dalam ruangan ini. Siapa yang tak gembira, bila guru kimia yang super galak itu tiba-tiba berhalangan masuk hari ini. 3 IPA 2, tetangga sebelahku, mungkin iri dengan kegirangan yang tengah berlangsung di kelasku. Biarlah mereka memeras otak sampai botak mempelajari rumus-rumus setebal kamus. Aku tak peduli..toh, siapa yang tau dimana aku Empat tahun nanti.<br /><br />”Sob, kantin yuk.” Teriak Jamal, kagetkan lamunanku.<br />“Entaran aja dech, perut gw belum laper nih.” Jawabku menolak.<br />“Halah..bilang aja lo lagi enak diliatin si Kiki.” Cetusnya sok tau.<br />“Hahaha.”<br /><br />Aku mengenal gadis ini sejak Tiga tahun yang lalu. Sejak itu pula, aku tau betapa ia mengagumiku. Namun ada alasan yang mebuatku tetap jadikan ia pengagum paling setiaku. Apalagi kalau bukan atas nama cinta. Aku tak mencintainya, hanya sedikit suka. Sepanjang tahun, tetap kujadikan ia begitu. Lelah..sepertinya ia tak pernah lelah. Hari berganti, tahun pun berlalu..namun ia tak pernah berubah.<br /><br />Sang lelah serasa tengah menelanjangiku. Ditambah lagi anak Kls 1 gebetan baruku yang selalu haus belaianku. Maka jadilah aku orang paling sibuk sepanjang waktu.<br />“Say, pulang sekolah aku tunggu depan gerbang yah.” Ucapnya dengan lembut.<br />“Mmm, sory Vi, hari ini aku harus nganter Mama ke Airport.” Ucapku polos tanpa dosa.<br /><br />Pada bangku taman sekolah kududuk sendiri. Tanpa sobat, ataupun teman sejawat. Sejenak kuberpikir dan merenungi masa-masa yang telah terlewati. Lalu pada ujung kesadaranku, terbersit sebuah keputusan pasti. Aku harus mengakhiri semua kebodohan ini. Masa depan yang tengah menanti jauh lebih berarti. Bagaimana mungkin sisa waktu Tiga bulan ini kulewati dengan berleha-leha. Nongkrong sana-sini, keluyuran kemana-mana. Percuma bikin hati teman senang dengan menuruti apa mau mereka. Toh saat ujian akhir nanti, mereka tak berarti. Kesuksesan itu memang harus diraih dengan tangan sendiri. Dia, juga mereka..hanya bisa memandangiku bila kegagalan itu tiba. Tak berucap kata, bahkan mungkin tak disapa. Sebelum semua berkhir sia-sia..detik ini juga semuanya harus berubah.<br /><br />“Kok Mama dari tadi senyum-senyum seh? Ada yang lucu?” tanyaku penasaran.<br />“Enggak..Mama cuman senang aja liat kamu jadi rajin belajar. Ada apa yah, kok tumben-tumbenan gini? Ucap Mama sembari bercanda.<br />“Wajar lagi Ma, Tiga bulan lagi kan mau UAN. Kalau ga belajar dari sekarang, gimana mau bisa lulus.”<br />“Oke dech..Mama mau kedapur dulu, siapain makanan buat kamu”<br /><br />Ada awal, pasti ada akhir. Seperti kata mereka, perpisahan itu selalu menyedihkan. Layaknya mendung pagi ini, hati ini juga terasa bagai diselimuti kabut tebal. Mata yang berkaca-kaca jelas kulihat diwajah mereka. Sebagai mantan ketua Osis, aku diberikan kehormatan untuk menyampaikan kata-kata perpisahan. Lama kuterdiam memandangi mereka yang berbaris rapi di lapangan sekolah pagi ini. Bagai kehabisan kata-kata, tak sadar kumeneteskan air mata. Mereka yang ada disana sepertinya juga sama. Tanpa sadar, pandanganku mengarah pada sesosok gadis yang kerap tawarkan sebuah senyuman. Dialah sang pemuja. Teman sekelasku selama Tiga tahun, yang cintanya tak pernah kuhiraukan.<br /><br />Tatapan itu seakan tiupkan mantra cinta dihatiku. Sadarku seakan tiba, bahwa aku juga menyukainya. Ego itu kini telah hancur. Tembok kesombongan yang selama ini memungkiri rasa suka itu kini telah rubuh. Tapi..kenapa baru saat ini. Tak habis pikir dengan apa yang berlaku. Aku mencintainya, dipenghujung indahnya masa-masa SMA.<br />“Wahai sang waktu..aku ingin membunuhmu!”<br /><br />Tiga minggu kucoba menghubunginya, namun semuanya sia-sia. Semua teman telah kutanya, namun ia bagai hilang tanpa berita. Rumah dinas orang tuanya juga tak bisa berkata apa-apa, karna kini telah kosong tak berpenghuni. Kini aku terhimpit sempitnya putaran waktu. Sebentar lagi aku harus berangkat meninggalkan kota ini. Namun, yang kucarai belum kutemukan juga. Langkah ini terasa berat oleh kata yang belum sempat terucap.<br />“Wahai sang waktu..kenapa kau cepat sekali berlalu?”<br /><br />Menuju bandara, kulewati sekolahku yang dulu. Ia terlihat muram dengan tetesan hujan. Namun kenangan indah di dalamnya senantiasa tawarkan sebuah senyuman. Banyak waktu kuhabiskan disana. Tempat dimana setiap detiknya begitu ceria. Dan, di tempat ini juga kukenal dia. Dibangku sudut dekat jendela, tempat biasa ia duduk memandangiku diwaktu senggang tak bertuan. Bila ia berucap dekat padaku, wangi itu bagai sekuntum bunga. Yah, dia bagai bunga..bagai bunga dibalik jendela kaca.<br />“Wahai sang waktu..imgat kah kau saat-saat indah itu?”<br /><br />Dari balik kaca mobil, rindu itu terucap. Kerinduan pada dia yang selalu tersenyum manis untukku.<br /><br />“Trrrrrt..” getar Hanphone dalam kantong celana jeansku terasa begitu mengagetkan lamunanku akan masa yang lalu. Saat pesan itu terbaca, sungguh aku sangat merasa bahagia. Bagaimana tidak..Pencarian Empat tahun akhirnya terjawab. Rasa senang itu begitu dahsyat. Bahkan buatku hingga tak bisa berteriak. Dengan segera kuucapkan rasa terimaksih terdalam kepada si pengirim pesan barusan. Dia lah sahabat lamaku yang telah berhasil menemukan Nomor Handphone Kiki Amelia, sang pemuja yang telah lama hilang.<br /><br />Rasa sabar, sudah tak ada. Kuingin segera hubungi dia. Namun, tiba-tiba kuterdiam. Sejuta pertanyaan timbul tenggelam dalam benakku. Bukan kah masa itu telah lama berlalu. Dia cintaku Empat tahun yang lalu..masih kah kini rasa itu ada? Hp dalam genggaman seperti terkejut melihatku. Gejolak itu tiba-tiba padam..seakan hilang dalam hembusan malam.<br /><br />“Huh..”<br />Hembusan nafasku terasa berat. Kupandangi 12 digit nomor Handphone dibalik layar bersinar biru. Nomor itu seakan mengingatkanku pada senyuman manisnya. Wangi tubuhnya seperti melintas bersama hembusan angin malam ini. Resah yang meninggi, memaksa tanganku tuk meraih sebungkus rokok yang terdiam pada kantong kanan kemejaku. Kini, sebatang rokok itu terselip pada jemariku dengan bara yang menyala. Gumpalan asapnya bagai lukisan indah wajahnya. Kerinduan itu terasa semakin jelas dihatiku. Ya..aku merindukan gadis berambut sebahu yang Tiga tahun jadi teman sekelasku.<br /><br />“Halo..ini Kiki yah?”<br />“Ya..ini siapa?”<br />“Ini Rendy.”<br />‘Rendy..Rendy yang mana yah?”<br />“Rendy teman sekelasmu dulu. Rendy mantan ketua Osis.”<br />“Oo..Mm, Ren..aku lagi sibuk kerja nih, kamu nelponnya entar aja yah.”<br /><br />Komunikasi pun terputus. Kuterdiam dengan penuh kecewa. Sepertinya..banyak yang telah berubah. Apa boleh dikata. Aku adalah masa lalu baginya. Ini bukan masa SMA yang dulu. Kini dia punya dunia baru. Dan dia, bukan lagi sang pemuja setiaku.<br /><br />Handphone yang tergeletak pasrah disampingku, segera kuraih kembali. Kuhubungi kembali Nomor itu. Namun kali ini, hanya sebuah pesan yang kukirimkan. Pesan terkhir..sebelum rindu itu terbuang.<br />“Sory bangat nih, Ki. Ga ada yang penting kok. Cuman just say’Hai’ N mo nanya kabar aja. Havea nicework yah. Maybe next time I call u again…thanks for the memory’s. Nite.”<br /><br />New life..aku pikir semua orang kini punya dunia masing-masing. Ini bukan masa SMA yang dulu. Aku sadar..semua telah berubah. Dia, mereka..begitu juga denganku. Sungguh aku sadar dalam hidup tak ada yang abadi. Dulu dia memanggilnku ’sobat’ tapi sekarang aku bagai rumput yang tak terlihat. Belum lepas dari ingatan, betapa ia mencintai dan mengagumiku..namun kini aku bagai jalang yang terlupakan. Aku yakin, bila aku jadi orang sukses mereka akan kembali datang padaku. Dan dia, yang kini telah melupakanku..akan kembali memujaku. Masa lalu dan kini, bagai jejak langkah di atas pasir pantai yang sekejap bisa terhapus oleh deburan ombak. Walau kini jejak itu telah hilang tanpa bekas, tapi aku pernah ada disana, melintasinya..dan tinggalkan sebuah cerita.<br /><br />“Ren, balik yuk. Besok gw harus kuliah pagi nih.”<br />“Okeh..gw juga besok mau bimbingan skripsi.”<br /><br />Ruangan senat yang dipenuhi segerombolan makhluk-makhluk berambut gondrong, kutinggalkan bersama sebuah senyuman. Dengan hangat, mereka mengantarkan kepergianku. Lagu yang tertunda bersama obrolan yang tersisa, mari kita lanjutkan dilain waktu. Ada hal lain yang tengah menungggu..masa depanku. Biarlah mereka menikmati keceriaan malam ini. Aku tak peduli..toh, siapa yang tau dimana aku Empat tahun nanti.<br />“Last words, before I miss u…thanks for the memory’s.”<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Didi Roten</span><br /></div><br /></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-55263555272816254332009-10-20T14:11:00.001+07:002009-10-20T14:11:37.911+07:00Saya Mau Kurus<div style="text-align: justify;"><br />Ia memandang bayangan dirinya di cermin besar di kamarnya. Mukanya murung. Bibirnya merengut. Tangannya berkacak pinggang. Pertanda ia tak menyukai apa yang dilihatnya.<br />“Ah!!! Sebel!! Kenapa sih masih segini-segini aja??”<br />Suara nyaring terlontar dari bibirnya yang sedari tadi mecucu bak ikan cucut. Diperhatikannya lagi sosoknya yang terpampang jelas di hadapannya. Pipi itu. Lengan itu. Pinggang itu. Perut itu. Pinggul itu. Pantat itu. Paha itu. Betis itu. Kesatuan itu yang membuat matanya bergerak-gerak tak nyaman. Ia bukan lagi tak menyukai apa yang sedang dilihatnya. Ia membencinya.<br />“Bohongan nih iklannya! Apaan yang seminggu bisa turun 4 kilo???” Serunya kesal sambil menendang kacanya. Setengah mati ia ingin kurus, sampai-sampai merogoh kocek yang tak sedikit, tapi hanya hasil hampa yang didapatnya. Ia menghempaskan diri ke kasur empuk di sebelahnya. Menatap langit-langit dengan hati kecewa. Kenapa, kenapa, dan kenapa, kok rasanya susah sekali untuk jadi kurus? Sudah berbagai macam metode ia jalankan. Sudah berbagai macam obat ia jajal. Sudah berbagai fitness center ia masuki. Namun tak satupun menampakkan hasil yang sesuai dengan keinginannya.<br />Targetnya tidak muluk-muluk kok. Cukup turun 10 kilo lagi. Benar, deh, ia akan puas setelah mencapai itu. Ia tak butuh payudara sebesar Pamela Anderson. Tak butuh kaki sejenjang Gisele Bundchen. Tak butuh bokong sekencang Jennifer Lopez ataupun Beyonce. Tak butuh lengan sekekar Madonna. Ia hanya mau kurus! Tapi nyatanya, menjadi kurus malah lebih susah daripada mempunyai payudara sebesar Pamela Anderson, kaki sejenjang Gisele Bundchen, bokong sekencang J-Lo ataupun Beyonce, dan lengan sekekar Madonna.<br />Pipi itu. Lengan itu. Pinggang itu. Perut itu. Pinggul itu. Pantat itu. Paha itu. Betis itu. Ia membenci semuanya.<br />***<br />Hari demi hari berlalu. Tahu-tahu saja ia sudah berada di penghujung minggu. Di suatu hari yang dinamakan “Sabtu”. Hari di akhir pekan yang merupakan aniaya baginya, seperti orang yang dirajam batu. Karena di setiap hari “Sabtu”, ia harus bertemu dengan teman-temannya, saling bertukar kabar dan gosip, dan tentu saja, pembahasan tentang berat badannya.<br />“Mau diturunin sampai seberapa lagi, Ned? Elo udah oke, tau!”<br />“Iya, Ned, segini udah cukup kali, nggak usah aneh-aneh deh!”<br />Huh! Apanya yang sudah oke? Apanya yang segini sudah cukup? Jelas teman-temannya tak mendukungnya untuk tampil lebih baik lagi. Jelas teman-temannya tak mau disaingi! Kalau ia turun 10 kilo lagi, ia akan jadi jauh lebih cantik, jauh lebih keren. Teman-temannya tahu itu. Mereka sepenuhnya sadar, dan sepenuhnya mencoba mempengaruhinya untuk menyerah. Teman-teman macam apa itu?!<br />Tapi, lagi-lagi ia hanya bisa tersenyum lemah. Sudah bosan ia untuk membela dirinya dan memberikan alasan setiap kali teman-temannya angkat bicara.<br />“Yah, sedikit lagi kan nggak ada salahnya.”<br />Begitu jawabnya setiap kali. Dan begitu pula ia menuai protes lebih lagi dari mereka.<br />Sebenarnya ia juga tak mau beda sendiri seperti ini. Ia mau menjadi sama seperti yang lainnya. Sama seperti Metha yang punya senyum manis. Sama seperti Olline yang punya badan langsing bak Jessica Alba. Sama seperti Niken yang tinggi semampai dan punya rambut hitam panjang bak iklan Sunsilk. Sama seperti Kenar yang berkulit putih mulus. Sedangkan dirinya? Sudah hitam, pendek, gendut, jerawatan, rambut seperti sapu ijuk pula!<br />Ia benar-benar tak habis pikir, kenapa ia bisa seperti ini. Padahal ia sudah rajin merawat diri. Rajin luluran, rajin creambath, rajin fitness, rajin cuci muka, dan rajin-rajin lainnya. Tapi hasilnya tetap saja tak sama seperti Metha yang punya senyum manis. Tak sama seperti Olline yang punya badan langsing. Tak sama seperti Niken yang punya rambut hitam panjang bak iklan Sunsilk. Tak sama seperti Kenar yang berkulit putih mulus. Tak sama dengan semuanya yang ia inginkan. Ah! Ia benar-benar frustrasi.<br />Ia tahu, semuanya bersumber dari badannya. Itulah yang membuatnya gagal dalam segalanya. Gagal dalam membangun hubungan. Gagal dalam pedekate. Gagal dalam wawancara kerja. Gagal semua! Coba kalau ia jauh lebih kurus, ia akan jadi lebih menarik. Dan tentu saja, ia akan jauh lebih berhasil dari keadaan dirinya yang sekarang. Berhasil, tahu nggak?! Bukan jadi pecundang!<br />Ia tak tahan lagi. Ia tak bisa menunda-nunda lagi. IA HARUS KURUS!!!<br />***<br />Kepalanya berputar. Mulutnya kering. Tenggorokannya serasa ditusuki seribu jarum. Tangannya berkeringat dan gemetar tak beraturan. Sekuat tenaga ia berusaha untuk menghalau dingin yang menyelimuti tubuhnya yang sedang terbuntal selimut. Tapi usahanya sia-sia. Hawa dingin itu malah semakin merasuki pori-pori kulitnya. Membuat tubuh mungilnya semakin meringkuk dalam-dalam di hamparan empuk kasur di atas ranjang miliknya. Tenaganya seperti habis terkuras. Bagaimana tidak? Sudah dua hari ini ia menolak untuk makan. Hanya air putih yang masih setia ditenggaknya.<br />Terdengar suara ketukan di pintu kamarnya.<br />“Neng Nadya, buka pintunya, neng! Teman-teman neng ada di sini.” Suara si bibi menyusup di celah-celah pintu dan menggapai telinganya. Membuatnya melirik sekilas ke pintu yang ada di depannya. Ia melengos, kembali pada dekapan hangat selimut dan bantal-bantal di sekelilingnya.<br />DOK! DOK! DOK!<br />Tiba-tiba saja pintu digedor secara brutal. Iapun terlonjak kaget. Dengan tatapan linglung, ia menatap pintu kamarnya lekat-lekat.<br />“NEDI!! Jangan gila, deh! Buka pintunya!” Olline berteriak dari balik pintu itu.<br />“Nedi! Jangan gitu dong ke diri elo sendiri! Kalo bonyok lo tau, mereka bisa sedih!”<br />Mereka sedih?<br />Sejenak ia termenung, menatap kosong ubin warna peach di depannya. Benar juga. Apa kata ayahnya jika ia menemukan anak semata wayangnya mati kelaparan di rumah sendiri? Apa kata ibunya jika ia melihat keadaan putri tersayangnya yang seperti ini? Mereka sudah pasti tak akan suka. Mereka sudah pasti akan bersedih karena investasi masa depan keluarganya ini merusak diri sendiri. Tapi, tapi, mereka tak akan tahu, kok! Kan mereka selalu berada di luar negeri sejak ia masih kecil. Saat mereka kembali, ia pasti sudah kembali menjadi dirinya yang dulu. Dirinya yang mereka kenal. Ia tak ingin membuat kedua orangtuanya bersedih. Ia menyayangi mereka berdua, walaupun hanya sebatas ucapan di mulut. Namun saat ini, keinginannya untuk jadi kurus dan menarik lebih besar dari keinginannya untuk menyenangkan hati kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya yang selalu mengatur hidupnya bak robot berjalan yang sudah diprogram.<br />Ia beranjak dari ranjangnya, tapi bukan untuk membuka pintu yang sedari tadi menahan getaran kekuatiran orang-orang yang ada di baliknya. Ia menuju ke sudut kamar. Menuju ke tempat dimana sebuah cermin besar berada. Sudah seminggu ini ia menghindar dari benda itu. Benda yang merefleksikan bukan hanya keadaan fisiknya, tapi juga keadaan jiwanya. Entah kenapa, saat ini ia merasa ia harus melihat dirinya sendiri di benda itu. Ia harus melihat hasil dari perjuangannya selama ini.<br />“NEDI!! Plis dong, buka! Kalo begini terus, gue telpon psikiater!” Ancam temannya dengan nada setengah putus asa.<br />Psikiater? Ia tak butuh itu. Yang ia butuhkan hanyalah cerminan dirinya yang menjadi kurus. Ia yakin, ia akan kembali normal sesudahnya. Kembali normal dalam hidupnya yang serba tak normal.<br />Teman-temannya seringkali berkata ia sudah tak normal dalam melihat badannya. Tak jarang mereka menyarankannya untuk berkonsultasi ke dokter maupun psikiater. Mereka bilang, mereka miris melihat keadaan dirinya yang semakin hari semakin memburuk. Kata mereka, tulang-tulangnya sudah mencuat kemana-mana. Kata mereka, ia sudah tampak tak segar lagi. Kata mereka, mereka kuatir. Tapi, kuatir apanya? Mereka tak tahu apa yang ia rasakan, kok. Mereka tahu apa?!<br />“Metha, siapin mobil! Bi, tolong panggil Pak Karso sama si Bambang, siap-siap bantu ngedobrak! Kalau dia nggak mau keluar, kita paksa dia keluar!”<br />Iapun menatap ke arah pintu untuk terakhir kalinya. Kemudian memalingkan wajahnya ke arah cermin yang ada di hadapannya. Ia harus bertindak cepat, sebelum ia dibawa keluar dari ruangan ini. Kepalanya berdentum keras karena suara dobrakan pintu, membuatnya tak bisa melihat dengan jelas sosoknya yang terpantul.<br />Samar-samar indra penglihatannya kembali bekerja dengan normal. Ia tercekat.<br />Apa yang dilihatnya sama sekali jauh dari bayangannya selama ini. Ia melihat sosoknya yang gendut, dengan lemak bergelambir, dan kulit berkerut. Padahal pada kenyataannya, sosoknya itu hanyalah tulang dibalut kulit pucat yang berkerut karena kurang gizi. Jelas saja ia kurang gizi, setiap sesudah makan ia selalu saja minum obat pencahar dan diuretika.<br />Sosoknya benar-benar mengenaskan. Tapi apa yang dilihatnya malah jauh berbeda dari kenyataan yang ada. Ia tetap saja ngotot ingin menjadi lebih kurus lagi. Ia tetap saja ngotot kalau ini semua belumlah cukup.<br />Iapun terduduk di lantai. Bersimpuh dalam kesedihan, sebelum dobrakan terakhir berhasil menjebol pintu kamarnya. Sebelum tangan-tangan yang kuat merengkuhnya dan membopongnya ke dalam mobil. Sambil memeluk dirinya sendiri, ia menangis dan berkata, “Saya mau kurus!!!”<br /><br />San Francisco, 28 Januari 2008. 2.10 subuh<br /><br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : mimoeT</span><br /></div><br /></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-25477907029117144462009-10-20T14:08:00.000+07:002009-10-20T14:09:49.233+07:00Andai Kau Pernah Menoleh Kebelakang<div style="text-align: justify;">TIT… tit…<br />Bunyi sms masuk, Grace segera mengambil ponselnya yang diletakkan di meja rias kamarnya. Ternyata sms dari Jeff. Wajah Grace langsung berubah menjadi ceria. Grace membuka sms itu dan membacanya.<br /><br />“ Grace, gmn klo bsk seplng sklh kt pg jln2 ? Tg ak di t4 biasa, ya ? “ begitulah isi smsnya.<br /><br />Grace langsung melompat girang, bagaimana tidak ? Walaupun Grace dan Jeff sudah pacaran selama dua tahun, tapi saat – saat mereka bersama sangat amat sedikit, bahkan bisa dihitung dengan jari. Kenapa bisa begitu ? Yaa karena Jeff selalu tak punya waktu. Kenapa Jeff bisa tak punya waktu? Bukan, bukan, dia bukan tipe orang yang bisa mendua, dia sibuk, tepatnya sangat sibuk karena ia aktif di setiap kegiatan OSIS.<br />Bagaimana tidak ? Dulu waktu kelas I SMU, sewaktu Jeff masih jadi wakil ketua OSIS saja, sudah sibuknya bukan main, apalagi sekarang Jeff malah terpilih sebagai ketua OSIS, tentu saja tambah sibuk.<br /><br />Sekolah Jeff dan Grace adalah sekolah yang sangat mengandalkan OSIS, setiap kegiatan yang diadakan melibatkan OSIS, bahkan hal – hal kecil seperti menagih uang sekolah, juga harus OSIS yang bekerja. Karena itu seleksi menjadi anggota OSIS sangat ketat, hanya orang – orang yang dianggap berbakat dan pintar mengatur waktu yang terpilih.<br />Lalu kenapa Jeff selalu terpilih ? Apalagi sebagai pengurus inti, ya itu karena nilai Jeff selalu stabil walaupun dia sudah sibuk sekali, Jeff masih mendapatkan rangking 5 besar setiap semester. Kenapa bisa begitu ? Yaa karena Jeff belajar setiap malam, dan hal itu pula yang membuat Jeff tidak bisa selalu membuat janji dengan Grace, apalagi hampir setiap hari ada ulangan, lalu pada saat tidak ada ulangan, barulah mereka bisa janjian, itu juga kalau Jeff tidak ada kegiatan OSIS dan sejenisnya.<br />Jangan kira waktu pelajaran mereka masih bisa bertemu, sialnya, kelas Grace dan Jeff berbeda, jadi mereka hanya bisa bertemu saat istirahat, itu juga kalau Jeff tidak ada rapat dadakan.<br />Begitulah hubungan Grace dan Jeff selama dua tahun terakhir. Siapapun tidak akan menyangka kalau hubungan mereka akan tetap berjalan sampai sekarang, bayangkan saja, dua tahun lamanya.<br /><br />***<br /><br />Grace menendang batu kerikil yang ada di hadapannya, semua kekesalannya dilampiaskan ke batu itu. Tapi ia masih belum puas, ia mulai mencari sasaran baru, dan pohon besar di sebelahnya pun menjadi sasaran barunya, ditendang – tendang pula pohon itu dengan kaki kanannya.<br />Beginilah perasaan saat menunggu Jeff. Dulu sih waktu pertama kali mengalami kejadian seperti ini, Grace malah senang, ia malah bilang perasaan menunggu Jeff itu justru sangat menyenangkan, tapi kalau sudah dua tahun berturut – turut begini siapa yang tidak kesal ?<br />Grace mengeluarkan Hpnya dan mulai menelepon Jeff. Sial … hp Jeff tidak aktif. Grace melirik jam tangannya, sudah jam setengah empat sore. Padahal bel pulang berbunyi jam satu siang. Sebenarnya Grace ingin sekali menghampiri Jeff, tapi ia tidak tahu Jeff ada di mana. Memang Grace juga bisa mencari Jeff di sekeliling sekolah, tapi bagaimana jika nanti sewaktu Grace pergi, Jeff malah datang, Grace kan tidak tega membuat Jeff menunggu.<br />Akhirnya penantian Grace pun berakhir, Jeff datang. Jeff berlari ke arah Grace. Sambil terengah – engah Jeff berkata, “Grace, maafkan aku, tadi ada rapat dadakan karena ada perubahan jadwal kegiatan, jadi aku… “<br /><br />“Tidak apa – apa, sekarang pun kita masih bisa pergi “ jawab Grace mengusap kening Jeff yang berkeringat dengan sapu tangannya.<br />“Tapi, sekarang rapat masih berlangsung, dan aku tidak tahu kapan selesainya, karena kami harus mengatur ulang jadwal, jadi mungkin harus memakan waktu lama. Aku tidak mau kamu lama menunggu, jadi lebih baik kamu pulang saja dulu, nanti kita atur lagi janji kita, maaf lagi – lagi aku ingkar janji “<br /><br />Kata – kata yang sudah dihafal Grace, mungkin Grace lebih hafal kata – kata itu daripada pelajaran – pelajarannya, karena kejadian seperti ini bukan pertama kalinya dialami Grace. Air matanya hampir saja keluar, tapi dengan sekuat tenaga, Grace mencoba menahannya selama mungkin, seperti yang biasa dilakukannya.<br />Grace tetap tersenyum, walaupun sebenarnya hatinya sedang menangis. “Aku mengerti, baiklah aku akan pulang sendiri, kamu tidak perlu khawatir, lagipula rumahku kan dekat sini. Lebih baik kamu segera kembali, rapat kan tidak bisa berjalan tanpa ketua”<br /><br />“ Baiklah, kalau begitu, aku pergi dulu, ya ? “ ucap Jeff.<br /><br />Sebelum berbalik, Jeff masih melihat senyum Grace yang membangkitkan semangatnya. Baginya, Grace adalah gadis paling pengertian di dunia.<br />Saat Jeff membelakangi Grace dan berlari pergi, air mata Grace langsung menetes. Ia hanya bisa menatap punggung Jeff dari belakang yang makin lama makin menjauh.<br />Grace terjongkok di tempatnya berdiri, seluruh tubuhnya lemas. Ia terus berpikir, mengapa kejadian ini terulang lagi ? Ia bagaikan seseorang yang mempunyai seribu nyawa dan harus merasakan sakitnya dibunuh berkali – kali sampai nyawanya habis. Sampai kapan ia harus merasakan semua ini ? Bagaimana kalau ternyata nyawanya bukan ribuan, tapi jutaan ? Tak terbayang bagaimana sakitnya.<br /><br />“Gua bener – bener kesel sama lu, kenapa sih nggak lu tinggalin aja cowok kurang ajar kayak gitu ? Dan gua juga nggak ngerti kenapa lu masih mau aja pacaran sama dia, padahal kan selama lu pacaran sama dia, bukan bahagia yang lu rasain , tapi sedih mulu. Yah, kayak gini ini nih yang selalu lu rasain, kok lu nggak kapok – kapok, ya ? Padahal kan masih banyak laki – laki di dunia ini, Grace ! Bahkan selama ini juga banyak cowok – cowok yang nembak lu, ya walaupun mereka nggak lebih ganteng daripada Jeff, tapi kan masa sih nggak ada satupun yang bisa memikat hati lu?” Uucap Lola yang datang menghampiri Grace.<br /><br />“Tapi aku benar – benar menyukainya, menjadi pacarnya adalah penungguan terbesar dalam hidupku, aku tidak mungkin melepaskannya begitu saja hanya karena hal – hal sepele “ jawab Grace diselingi isak tangisnya yang menyedihkan.<br /><br />Lola pun tak tega memarahi Grace lagi, melihat keadaannya yang begitu memprihatinkan.<br /><br />“ Ya udah, gua nggak ngomong lagi. Ayo, gua anter pulang ! “<br /><br />***<br /><br />Jeff melambaikan tangannya kepada teman – temannya yang naik ke mobil angkutan umum sambil tersenyum.<br /><br />“Kelihatannya lu seneng banget, ya ? “ kata Lola yang tiba – tiba menghampiri Jeff.<br /><br />“Lola, kenapa kau bisa di sini ? “ tanya Jeff.<br /><br />“Rumah gua kan di seberang sekolah, apa anehnya gua ada di seberang rumah gua ? Emang ada Undang – Undang yang mengatakan seseorang nggak boleh berada di seberang rumahnya sendiri?” jawab Lola dengan nada sinis.<br /><br />“Oh, begitu, baiklah, aku pulang dulu, ya ! “ ucap Jeff santai.<br /><br />“ Tunggu, ada yang mau gua bicarain sama lu “<br /><br />“ Ada apa ? “<br /><br />“ Gua mau nanya satu hal sama lu. Sebenarnya antara Grace dan OSIS, lu pilih yang mana sih ? “<br /><br />Jeff tertawa, “Apa – apaan ini ? Benar – benar pertanyaan konyol, tentu saja aku pilih Grace, memangnya Grace bisa dibandingkan dengan OSIS ? Kalau tidak ada Grace, aku mana punya semangat untuk melakukan kegiatan OSIS ? Grace adalah sumber kekuatanku, tanpa Grace, aku bukan apa – apa, karena tanpanya, aku tidak bisa melakukan apa – apa “<br /><br />“Wah, gua salut sama lu ! Kata – kata lu itu bagus sekali dan enak didenger, apa waktu lu nyakitin hati Grace berkali – kali lu juga mengucapkan kata – kata seindah ini ? “<br /><br />“Apa maksudmu ? Aku mengecewakan Grace ? “<br /><br />“Lebih mementingkan OSIS, trus mengesampingkan perasaan Grace apakah itu namanya bukan nyakitin hati Grace ? Mengingkari janji dan bikin dia nangis berkali – kali apa itu namanya bukan nyakitin hati Grace ?” suara Lola mulai meninggi.<br /><br />“Mengesampingkan Grace ? Membuatnya menangis ? Apa yang kau bicarakan ? Jika yang kau maksud aku sibuk mengurusi OSIS, Grace saja bisa mengerti dan selalu mendukungku, kok ! Mengapa malah kamu yang berteriak – teriak seperti orang minta keadilan padaku ? Dan soal aku membuatnya menangis, itu adalah hal yang tidak mungkin, mustahil, kamu tahu ? Kemungkinannya adalah nol. Grace kan adalah seorang gadis yang ceria, periang dia tidak mudah menangis.” bantah Jeff.<br /><br />“Jadi lu nggak pernah liat Grace nangis ? “<br /><br />“Karena Grace memang tidak pernah menangis “ Jeff ngotot.<br /><br />“Pantes, udah beribu – ribu kali gua liat adegan lu ninggalin Grace sendiri, tapi sekarang gua baru sadar kalo lu nggak pernah sekalipun menoleh ke belakang waktu lu pergi “<br /><br />“Apa maksudmu ? Mengapa aku harus menoleh ke belakang ? “ tanya Jeff penasaran.<br /><br />“Pikir aja sendiri “ ucap Lola yang kemudian pergi.<br />Jeff masih berdiri terpaku, ia berpikir, tapi tak lama kemudian, ia tersenyum sambil menggeleng – gelengkan kepala.<br /><br />“Benar – benar tidak masuk akal “<br /><br />Jeff pun pulang, tapi selama perjalanan pulang, kata – kata Lola selalu memenuhi kepalanya. Kepalanya serasa mau pecah. “ Mengesampingkan Grace, membuat Grace menangis “ kata – kata itu selalu terngiang – ngiang di kepalanya.<br />Untuk menghilangkan rasa pusing di kepalanya dan rasa capeknya karena sudah bekerja keras seharian, setelah mandi dan makan malam, Jeff pun tidur.<br /><br />“Mengesampingkan Grace, membuatnya menangis, kau jahat ! KAU JAHAT !!! “ suara – suara itu memenuhi kepala Jeff.<br /><br />“Tidak !!!!! “ Jeff berteriak cukup keras, ia pun bangun dari mimpi buruknya.<br /><br />Jeff berpikir, ia membayangkan Grace yang ia kenal, yang ada di pikirannya hanyalah Grace yang ceria, periang, selalu tertawa, tidak ada Grace yang pendiam, sedih dan Grace yang sedang menangis.<br />Jeff mulai bicara dalam hati “ Dasar Lola, bikin pusing kepala saja, mana mungkin Grace seperti yang ia katakan ? Grace yang kukenal kan bukan begitu ? Tapi … hubunganku dan Grace sudah berjalan dua tahun, tapi waktu kami bersama sangat jarang, kalau dipikir – pikir, ini memang tidak adil baginya. Baiklah, mulai sekarang aku harus lebih baik padanya”.<br /><br />Jeff melirik jam dinding kamarnya, sudah pukul sebelas malam. Ia berniat menelepon Grace, tapi apakah ia sudah tidur ? Bagaimana kalau mengganggunya ? Ah, coba saja, mungkin ia belum tidur.<br />Jeff pun menelepon Grace, setelah menunggu beberapa saat, telepon pun tersambung.<br /><br />“Halo ? “ jawab suara dari ujung sana.<br />“Halo, Grace – nya ada ? “<br />“Iya, saya sendiri “<br />“Oh, Grace, ya ? Ini Jeff, bagaimana kalau besok kita pergi jalan – jalan sepulang sekolah ? “ ajak Jeff.<br />“Baiklah “ terdengar suara riang dari ujung sana.<br />“Kalau begitu tunggu aku di tempat biasa, ya ? “<br />“Oke ! “<br />“Ya sudah, tidurlah, sudah malam “<br />“Setelah menutup telepon aku akan tidur “<br />“ Baiklah, da.dah ! “<br />“dadah ! “ Grace pun menutup telepon.<br /><br />Jeff melompat girang, ia merasa seperti pertama kali ia mengajak Grace pergi, ternyata perasaan itu sangat menyenangkan, sudah lama sekali ia tidak merasakannya, bahkan ia sudah lupa perasaan itu.<br />Tak lama kemudian, telepon kembali berdering, Jeff pun cepat – cepat mengangkat telepon, pasti Grace, mungkin ada yang lupa ia katakan.<br /><br />“Halo, Grace ? “ Jeff mengangkat telepon.<br />“Grace ? Gua Justin, gua mau bilang kalo besok kita harus mendekor aula untuk acara yang akan kita adakan sepulang sekolah, inget, jangan telat, ya ? “<br />“Bukankah minggu depan baru mendekor ? “<br />“Jadwalnya kan udah berubah, masa lu lupa ? “<br />“Apa tidak bisa diubah, bagaimana kalau lusa ? “<br />“Mana bisa, waktu kita sangat mepet. Lagian kita kan udah bicarain semua ini di rapat tadi siang. Pokoknya gua nggak mau tau, lu harus dateng, lu kan ketua OSIS. Jangan telat, ya ! “ Justin menutup telepon.<br /><br />Seketika itu juga kepala Jeff jadi pusing. “Bagaimana ini ? Ah, telepon Grace saja untuk membatalkan janji, tapi … bukankah dia sudah tidur? Lebih baik jangan mengganggunya, katakan besok saja, ya, besok saja”<br /><br />***<br /><br />Grace berjalan menuju pohon di depan gerbang sekolah, tempat ia biasa menunggu Jeff, tapi ternyata di sana Lola sudah menunggu.<br />“Lola ? Mengapa kau di sini ? “ tanya Grace.<br />“Udah, mendingan lu pulang aja, dia nggak bakal dateng. Kemaren aja waktu gua omelin dia masih bisa membela diri, sampai kapan pun dia nggak akan sadar “ jawab Lola.<br />“Apa ? Apa yang kau lakukan ? Kau memarahi Jeff ? Mengapa kau lakukan itu ? “<br />“Gua cuma nggak suka ngeliat pemandangan yang nggak menyenangkan di depan rumah gua “<br />“Kau tahu ? Kau tidak berhak melakukannya, ini adalah urusanku, tolong jangan ikut campur “<br />“Terserah lu lah ! Dasar keras kepala ! “ Lola pun pergi.<br /><br />Setelah Lola pergi, Grace pun mulai berpikir, apakah benar apa yang dikatakan Lola ? Apakah Jeff akan datang ?<br />Grace pun mulai menunggu Jeff seperti biasanya. Tak lama kemudian Jeff datang menghampirinya.<br />Betapa senangnya Grace, ia pun tersenyum lebar. Lola memang salah, lihat saja, buktinya hari ini Jeff datang lebih awal dari biasanya, dia tidak lagi membuat Grace menunggu, itu berarti yang dikatakan Lola tentang Jeff salah.<br />Jeff menghampiri Grace sambil terengah – engah.<br /><br />“Kau sudah datang ? “ tanya Grace sambil tersenyum.<br /><br />Saat itu, hati Jeff seperti ditimpa oleh ribuan batu, rasa bersalah menimpanya, menikam hatinya. Melihat senyum Grace yang begitu manis, hatinya malah terasa sakit, karena yang akan dikatakannya kepada Grace hanya akan membuat Grace sedih, ia tidak tega melakukannya, tapi dia tidak punya pilihan.<br />Wajah Jeff penuh rasa bersalah, ia berusaha berkata – kata, tapi mengeluarkan satu kata rasanya seperti mengangkat ribuan gunung dengan tangannya, berat, berat sekali.<br /><br />“Grace… aku… “ Jeff menundukkan kepala, ia tak sanggup lagi berkata – kata.<br /><br />Melihat ekspresi wajah Jeff, Grace pun tau apa yang terjadi. Matanya mulai berkaca – kaca, tapi dengan segera ditahannya air mata yang akan membanjiri pipinya itu. Grace tidak pernah mau memperlihatkan air matanya pada Jeff, karena ia tahu, hal itu hanya akan membuat Jeff sedih dan ia sangat tidak mengharapkan hal itu. Daripada membuat Jeff sedih, ia lebih rela menelan kesedihan itu sendiri.<br />Grace pun memasang senyum manisnya. “Pasti kau berhalangan lagi kan ? Tidak apa – apa, kok ! “<br />Jeff mengangkat kepalanya, saat itu ia melihat senyuman Grace yang begitu ceria. Kali ini Lola benar-benar ngawur, beginilah Grace yang ia kenal, tidak seperti yang dikatakan Lola.<br /><br />“Jangan khawatirkan aku, ingat aku selalu mendukungmu. Jangan kecewakan aku, ya ? Buat aku bangga, lakukanlah tugasmu dengan baik “ hibur Grace.<br /><br />Jeff pun membalas senyum Grace. Beginilah Gracenya Jeff, di saat – saat seperti ini cuma Grace yang bisa menghibur Jeff “Baik, kalau ada dukunganmu, aku tidak akan takut apa pun. Semuanya pasti dapat kulakukan dengan baik. Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu, ya ?”<br />Grace tersenyum sambil menganggukkan kepala. Jeff pun segera berbalik dan berlari menjauhi Grace.<br />Saat itu, tiba – tiba saja rasa penasaran menghampiri Jeff. Kepalanya di penuhi oleh sebuah kalimat “Pantes, udah beribu – ribu kali gua liat adegan lu ninggalin Grace sendiri, tapi sekarang gua baru sadar kalo lu nggak pernah sekalipun menoleh ke belakang waktu lu pergi”<br />Kata – kata itu terus terngiang – ngiang di kepala Jeff. Perlahan – lahan ia pun menghentikan langkahnya , tapi ia masih belum berani membalikkan badannya. Ia takut yang dilihatnya nanti adalah Grace yang sedang menangis. Ia berharap yang akan dilihatnya di belakang adalah Grace yang sedang tersenyum sambil melambai – lambaikan tangannya, dengan begitu, rasa bersalahnya akan berkurang.<br />Tapi tidak begitu kenyataannya. Saat Jeff berbalik, ia melihat Grace yang sedang menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Jeff pun segera menghampiri Grace dan memeluknya.<br />“Maafkan aku, Grace ! Maafkan aku ! “ ujar Jeff.<br />Grace melepaskan kedua telapak tangannya yang menutup wajahnya dan menatap Jeff dengan mata berkaca – kaca.<br />“Jeff ? Mengapa kau kembali ? “ tanya Grace. Sesaat kemudian sebelum Jeff menjawab, Grace baru sadar kalau ia telah menangis di depan Jeff, ia pun segera melepaskan pelukan Jeff dan berbalik ke belakang. “ Pergi ! Untuk apa kau kembali ? “<br />“Aku… aku tahu aku memang salah, tapi aku mohon, berilah aku kesempatan untuk memperbaikinya. Aku tidak akan mengingkari janji lagi, aku tidak akan mengecewakanmu lagi “<br />“Pergi !! Aku tidak mau melihatmu ! “ ucap Grace sambil menutup wajahnya, ia tidak mau Jeff melihat wajahnya yang berlinang air mata.<br />Jeff mendekati Grace dan membuka kedua telapak tangan yang menutupi wajah Grace. “ Jangan tutupi wajahmu ! Biarkan aku melihatnya ! Tolong, jangan begini ! Kau begini berarti telah membuatku menjadi orang yang kejam “<br />“Aku … “ Grace menatap Jeff, air matanya terus keluar.<br /><br />Jeff segera memeluk Grace. “Menangislah ! Menangislah sepuasnya ! Jangan tahan lagi kesedihanmu, jangan simpan kesedihanmu sendiri, kau tidak boleh hanya berbagi kesenangan denganku, tapi kau juga harus berbagi kesedihan denganku, apa kau dengar ? “<br />Grace pun mengeluarkan semua kesedihannya di da.da Jeff yang bidang. Tak berapa lama, tangis Grace mulai mereda, ia melepaskan pelukan Jeff. “Aku sudah tidak apa – apa, kau kan masih ada urusan, seharusnya kau tidak di sini. Pergi.lah, aku akan menuggumu disini “<br />“Tidak, aku tidak akan pergi dari sini. Jika aku pergi pun, itu berarti pergi bersamamu, karena hari ini, aku akan mengundurkan diri dari OSIS “<br />“Tapi… bukankah kau sangat menyukai OSIS ? “<br />“Benar, aku memang menyukai OSIS, tapi… aku jauh lebih menyukaimu“ ucap Jeff sambil tersenyum.<br /><br />***<br /><br />Sementara itu …<br />“ Akhirnya gua bisa liat pemandangan indah di seberang rumah gua “ kata Lola sambil menyendok nasi goreng buatan maminya.<br /><br /><div style="text-align: center;">-SELESAI-<br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Lusiana</span><br /></div></div></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-90205657360385169722009-10-20T14:06:00.000+07:002009-10-20T14:07:56.724+07:00Awan<div style="text-align: justify;">“Pernahkah kau lihat awan berarak di atas sana? mereka selalu bersama-sama, saat mereka muncul, mereka bergumbul. saat mereka menghilang, mereka mengkerut hingga tak pernah bisa terlihat oleh mata.”<br /><br />Meira diam. Kepalanya terus mendongak ke cakrawala. Deru angin berhembus di sekelilingnya, menerbangkan selendang tipis yang melilit di leher. Meira terus tersenyum, merentangkan tangannya menembus udara.<br /><br />“Mereka selalu bersama-sama. Tak pernah sendirian, karena kalau mereka sendirian, mereka akan lenyap, melarut dalam udara.”<br /><br />Meira tersenyum lagi. Langit sedang cerah, awan tampak bergumul di satu sudut cakrawala, berdampingan dengan rumput, terlihat jelas dari tempatnya berdiri.<br /><br />“Awan… aku senang sekali melihatnya. Aku ingin seperti awan, aku ingin selalu melihat awan, aku ingin punya awan sendiri…”<br /><br />tiba-tiba Meira berubah sendu. Tangannya turun, perlahan merapat ke badan. Matanya masih tetap memandang awan yang berarak, lama hingga ia tak sadar bahwa bentuk awan yang dilihatnya sudah berubah.<br /><br />“Awan tidak selalu sama…” gumam Meira sedih, “Mereka terus berubah-ubah. Tak pernah mempunyai wajah yang sejati.”<br /><br />Meira menggeleng, ia mulai meringis. Kedua tangannya makin merapat, memeluk tubuhnya sendiri.<br />Angin berhembus makin kencang, menggoyangkan karpet hijau ini, melepaskan aroma tanah yang harum bersama bau rumput yang lezat.<br /><br />“Aku tak mau mereka berubah. Aku tak mau mereka pergi. Aku tak mau, aku mau mereka tetap menjadi mereka, aku mau mereka tetap menjadi awan yang berarak, kemana-mana selalu bersama. Dalam suka maupun sedih, selalu ada disisiku, bagai awan berdampingan dengan langit.”<br /><br />Angin melolong, suaranya melengking tinggi. Meninggalkan rasa takut yang mencekam. Meira menggeleng, air mata mulai menitik dari matanya, mengalir panjang sampai dagu.<br /><br />“Tidak! Tidak… aku tak mau.. aku tak mau… aku tak mau mereka pergi…”<br /><br />angin makin ribut. Auranya berubah, terasa kontras dengan hijau berdamping biru ini. Makin lama, angin terus melolong, desingannya berubah jadi tawa panjang yang menghina, melumatkan rasa ambisi menjadi sepi yang meranggas.<br /><br />“Aku tak mau sendiri…”<br />Meira terus meratap. Tangisnya makin keras, menggema di udara.<br /><br />“Kau terlalu egois!” sebuah suara menggema dari udara, “Kau terlalu naïf. Kau.. kau tak bisa mengikat orang untuk selalu menjadi milikmu, kau tidak bisa memakunya dalam pasungan!”<br /><br />meira menggeleng,<br /><br />“Awan punya kebebbasan. Sama seperti kau, bebas memilih awan mana yang jadi pelindungmu. Mereka, punya kebebasan sendiri,”<br /><br />“Tidak!” teriak Meira. air mata makin mengalir di kedua pelupuk matanya, “Tidak.. aku tak mau! Aku tak bisa. Aku tak mau. Jika mereka memang awanku, sampai kapanpun mereka akan tetap menjadi awanku!”<br /><br />suara itu tertawa. Panjang dan mencemooh.<br />“Kalau begitu, kau tak akan pernah punya awan yang bermuka sejati! Karena awan, selamanya tak bermuka!”<br /><br />Malam itu sepi<br />Malam itu gelap<br />Malam itu mencekam<br /><br />tapi malam tak kesepian<br />ada bulan yang selalu menemaninya<br />ada bintang yang selalu membuatnya tersenyum<br /><br />malam..<br />aku ingin seperti malam…<br /></div><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Mocca_chi</span><br /></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-18648057100218553832009-10-20T14:01:00.000+07:002009-10-20T14:02:12.069+07:00Di Sebuah Jembatan Penyeberangan<div style="text-align: justify;"><br />Sorot matanya begitu membekukan hati. Eni begitu kasihan melihat orang di depannya. Kira-kira 100 meter dari hadapannya. Pada hari seterik ini, ia bertarung dengan sinar matahari yang membakar kulitnya yang memang telah hitam terbakar karena entah berapa lama ia telah menantang matahari seperti itu.<br />Eni terpaksa berhenti. Ia merogoh recehan yang berada dalam tas mungil yang berisi peralatan rias, satu buku resep makanan dan sebuah gantungan kunci bertuliskan Malaysia. Beberapa bulan yang lalu, Eni sempat merasakan tingginya menara KL atau twin towers yang terkenal di seluruh dunia dan berbelanja di mall-mall ternama di sana. Hanya dalam beberapa hari saja, Eni dapat mengucapkan beberapa kata Melayu Malaysia, salah satunya adalah awak yang berarti kamu.<br />Perjalanan Eni di Malaysia merupakan perjalanan kedinasan yang mengharuskan dirinya meninggalkan suami dan anaknya yang masih berumur 7 tahun.<br />“Mama, Rian minta oleh-oleh ya,” ucap Rian polos.<br />“Iya sayang, mama akan belikan kamu oleh-oleh. Tapi Rian janji ya nggak nakal. Harus nurut sama papa ya,” Eni sempat berpesan sebelum berangkat ke Malaysia.<br />Setelah seminggu di Malaysia, Eni merasakan perbedaan yang berarti antara Malaysia dan Indonesia. Di Malaysia, semua serba teratur, disiplin dan penuh tanggung jawab, sementara di Indonesia, semua bertolak belakang dengan kondisi Malaysia.<br />Namun di Hatinya, timbul perasaan gundah. Bagaimanapun parah kondisi Indonesia, namun ia lahir dan besar di sini, Indonesia. Eni pun merasa bertanggung jawab atas semua yang pernah ia lakukan.<br />Eni terus mencari uang recehan yang tersembunyi di dalam tas mungilnya. Ia hanya mendapati sejumlah uang recehan. Ia menghitungnya pelan. Seratus, dua ratus, lima ratus dan seribu. Ya, uang recehannya kini berjumlah seribu. Ia melangkahkan kakinya ringan. Ia berniat tulus untuk memberi orang yang berada di sudut jembatan penyeberangan dengan uang recehannya tadi.<br />Beberapa meter lagi ia akan memberikan uang receh itu, tapi tiba-tiba dari arah yang berlawanan seseorang menyenggolnya. Uang recehan yang terkumpul kini bertebaran dimana-mana. Ia memunggutnya cepat. Tangannya mencari-cari uang recehan yang terakhir untuk mengenapkannya menjadi seribu rupiah. Tapi sayang Eni gagal mengenapkannya. Kini yang berada dalam gengamannya hanya berjumlah 900 rupiah. Eni tampak lesu dengan peristiwa tadi. Orang yang menabraknya hanya pergi meninggalkannya yang sedang mencari uang recehan. Tanpa minta maaf sedikit pun. Apakah ini watak orang Indonesia? Apakah ini watakku?<br />Dilihatnya orang yang berada di sudut jembatan penyeberangan. Orang itu tertunduk lesu. Dengan baju yang telah pudar warnanya dan celana yang kumal, ia masih bisa bertahan.<br />Eni berjalan mendekatinya tanpa ragu. Ia menaruh uang recehan berjumlah 900 rupiah itu kedalam gelas plastik berukuran kira-kira 250 ml air. Aku mengenalinya pasti, karena aku sering meminum air kemasan itu.<br />Orang itu tak bergeming dengan uang pemberianku. Ia hanya menunduk. Eni terpaku sejenak. Ia melanjutkan langkahnya tanpa berhenti memperhatikan orang itu. Dan kemudian Eni berlalu tanpa memperhatikan orang berpenampilan lesu.<br />Busway koridor Salemba UI penuh dengan penumpang yang menunggu bus berwarna silver atau merah. Hari senin seperti ini biasanya memang ramai. Apalagi setelah jam 3 yang merupakan jam pulang kantor. Beberapa orang nampak tidak sabar dengan kondisi yang makin panas. Tisu-tisu nampak bertebaran tak beraturan di lantai koridor Busway Salemba UI. Eni berusaha membuang tisu yang dipakainya ke dalam tempat sampah yang memang telah di sediakan.<br />Eni ingat kembali perjalanannya di Malaysia. Kendaraan bus seperti busway di Jakarta lebih tertata dengan rapi. Bahkan, KL telah memiliki beberapa rute monorail yang cepat dan efisien bagi kaum pekerja kantoran. Ia merindukan perjalanan itu.<br />Sebetulnya, busway di Jakarta tak jauh berbeda dengan bus yang ada di KL. Tapi, penguna jasa bus itu sadar bahwa menjaga kondisi yang nyaman adalah kewajiban sehingga nantinya mereka akan menikmatinya kembali. Salah satunya adalah menjaga kebersihan koridor.<br />Dalam perjalanannya ke rumah, ia hanya membayangkan kenangannya di Malaysia yang menarik perhatiannya. Hanya seminggu, ia berada disana, namun kenangan yang ia raih akan tetap berada di dalam hatinya. Kenangan berada di Malaysia.<br />Eni menghempaskan tubuhnya pada sofa putih dekat televisi. Rian mendekati Eni. Kali ini Rian mencoba memeluk Eni.<br />“Mama capek ya, Ma,” ujar Rian.<br />“Mama capek banget. Rian sayang udah makan?” kata Eni menjawabnya.<br />“Belum, Ma. Mau bareng sama mama makannya,” kata Rian lugu.<br />Eni memutar pandangannya ke arah meja makan yang telah tersedia makan siang. Di meja itu terdapat dua piring yang masih tertutup.<br />Eni dan Rian bergegas ke meja makan. Di sana nampak Yuni, pembantu setia Eni telah siap menata kembali meja makan yang telah lama ditinggalnya.<br />Rian makan dengan lahapnya, sementara Eni hanya makan sesuap demi sesuap saja melihat kelahapan Rian. Eni terlihat senang dengan kondisi seperti ini, artinya Rian akan semakin tumbuh dan tambah berat badan. Berat badan Rian kerap kali menjadi masalah. Semenjak lahir, Rian berbobot di bawah normal karena memang Rian lahir Caesar sebelum bulan kelahiran yang semula direncanakan. Kecemasan sebetulnya melanda Eni sejak kelahiran Rian. Namun, kini Rian tumbuh menjadi anak yang cerdas dengan berat yang normal seusianya.<br />“Ma, Rian udah selesai makan. Rian mau bobo dulu ya, Ma,” Pamit Rian menuju kamar tidurnya di sebelah ruang keluarga.<br />“Iya, selamat bobo ya sayang. Mimpiin mama ya,”<br />Pikiran Eni kembali melayang pada pemilik sorat mata yang redup dan tak bersemangat. Sepertinya orang itu tak memiliki harapan untuk hidup. Bahkan untuk sedetik saja.<br />Kalau saja Eni berada dalam hal yang sama dengan orang itu, pastilah ia akan bernasib sama. Eni merupakan anak pertama dari pengusaha pertambangan ternama di Indonesia. Bagianya, untuk hidup bermewahan adalah hal mudah. Tapi, Eni memutuskan untuk hidup bersama suami tanpa menerima anugerah harta melimpah dari keluarganya. Keluarganya pun berubah pikiran dan dalam sekejap saja keluarganya menjauhi Eni. Jangankan untuk menjenguk orangtuanya, untuk menelepon pun tak boleh. Eni pun terima semua perlakuan itu dengan sabar.<br />Baginya, kebahagian suami dan anaknya adalah yang utama. Tanpa mengesampingkan keluarga dan orangtuanya yang telah membesarkan dirinya.<br />Eni mendesah melihat foto dirinya bersama bapak dan Ibunya. Ia terlihat ceria, hanya saja ia tak dapat bertemu dengan orangtuanya kini. Tak terasa air matanya meleleh. Ia tak dapat membendungnya lagi. Ia sesungukan menangis di bantal putih pemberian mamanya sebelum melahirkan Rian.<br />***<br />Orang itu masih tertunduk lesu. Tiba-tiba dari arah yang tak jauh darinya terlihat wanita setengah baya berhenti mendadak. Ia sepertinya mencari sesuatu dalam tas kecilnya. Orang itu masih tertunduk. Dari tadi pagi, ia belum makan sebutir nasi pun. Jangankan untuk makan sebutir nasi, untuk meneguk segelas air pun ia tak dapat melakukannya.<br />Terlihat hanya beberapa uang recehan di gelas plastik. Mungkin hanya sekitar tiga ratus rupiah. Terik matahari terus menyengat badan orang itu. Badannya yang hitam, kini akan tambah lebih hitam legam. Tapi orang itu mencoba terus bertahan.<br />Orang itu melirik wanita setengah baya yang terlihat masih mencari sesuatu. Ia teringat masa lalu yang kini tergambar jelas. Tapi, mungkin ia salah melihat orang. Ia kembali tertunduk lesu.<br />Kini ia hanya tinggal menunggu nasib yang tak kunjung membaik. Ia sebetul terpaksa melakukan semuanya demi menyambung hidup. Ia mendiami sebuah gubuk kecil di daerah pinggiran terminal senen. Dalam gubuk itu ia harus berbagi dengan beberapa orang bernasib sama, bahkan ada yang lebih menderita darinya karena terpaksa harus merelakan dirinya berjalan dengan satu kaki.<br />Orang itu mendesah ringan. Ia masih menunduk. Sementara wanita setengah baya itu terhenti beberapa meter dihadapanya. Kemudian secara cepat datanglah seorang yang menabrak wanita itu dan recehan yang berada di tangan bertebaran dimana-mana. Wanita setengah baya itu bergeges memunggut kembali uang recehan.<br />Orang itu merasa kasihan, ia ingin menolong wanita itu. Tapi apa daya, apa jadinya bila ia menolong. Bukan terima kasih yang ia dapatkan namun mungking sebuah omelan dan pukulan karena telah menganggu wanita itu.<br />Wanita itu tampak kesal, ia kemudian menghitung kembali uang recehan itu. Namapaknya ada yang kurang dari uang recehannya karena ia berulang kali ia menghitungnya.<br />Kemudian ia mendekati orang itu dan menaruh uang recehan. Wanita itu terus memperhatikan orang yang berada di sudut jembatan penyeberangan. Dan kemudian berlalu.<br />Orang itu hanya dapat mendesah panjang. Ia tak dapat mengucapkan terima kasih pada wanita tengah baya itu. Ia mengucapkan syukur pada Tuhan. Ia bersujud sejenak. ia mengucapkan sesuatu yang lirih dan tak terdengar.<br />Mungkin inilah caranya untuk bersyukur di tengah kondisi Jakarta yang terlihat terik dan panas menyengat.<br />Setelah lama ia terduduk, ia kemudian bangkit dan meninggalkan sudut itu. Ia berjalan tergopoh tak seimbang. Ia mencoba bertahan dengan kondisinya. Di gengamnya uang hasil belas kasihan orang. Ia sebetulnya tak mau merepotkan orang yang lalu lalang di jembatan penyeberangan itu. Tapi, apakah yang harus dilakukan dengan kondisi yang makin memburuk?<br />Ia berjalan dengan tegap karena perutnya telah terisi makanan yang di belinya di pinggir jalan. Ia kembali ke gubuk kecil yang cukup pengap. Hanya ada beberapa orang yang telah terlelap. Ia merebahkan tubuh kurusnya ke atas tanah yang beralaskan karton bekas bungkus mie instan.<br />Ia tampak menikmati hangatnya alas karton. Kemudian diambilnya sebuah foto usang yang masih dapat ia lihat. Tampak empat orang yang tersenyum gembira. Ia merebahkan kembali tubuhnya. Tak terasa air matanya mengalir ke bawah hidungnya. Ia menangis.<br />Tangisannya tak terdengar oleh teman-temannya yang terlelap. Ia segera menyeka air matanya. Ia hanya dapat meratapi kondisinya yang memburuk. Sebetulnya nasib buruk yang membawanya kini hidup seperti ini.<br />Orang tuanya memiliki segudang perusahaan ternama. Ia mengelola sebagian perusahaan. Namun, semenjak kondisi Indonesia yang gonjang ganjing pada pertengahan 1997, perusahaan yang dikelolanya berangsur-angsur jatuh bangkrut.<br />Kondisi tersebut di perparah dengan perginya adik perempuannya yang menikah dengan seorang pengusaha kecil. Setahun setelah kepergian adiknya, mendadak bapaknya meninggal dan 2 tahun yang lalu ibunya menyusul bapaknya.<br />Kondisi perusahaan yang bangkrut menjadikan dirinya merasa kehilangan muka dan harga diri. Ia kemudian menjual semua aset perusahaan dan membayar semua hutang. Dan tinggallah kini ia meratapi nasib yang kini menderanya.<br />Ia mendesah, hatinya terasa sesak dan air matinya kini sudah mengering. Ia terus bersyukur. Dalam batinnya kini yang ada rasa syukur karena ia masih selamat dan masih memiliki dirinya yang utuh. Walaupun kini ia harus mengadu nasibnya dengan meminta-minta.<br />Ia mencoba memejamkan matanya yang kembali basah dengan air matanya. Ia kini benar-benar terlelap sambil memegang foto yang sudah usang.<br />***<br />“Bu Ira, saya duluan ya,” Eni bergegas pulang.<br />“Iya bu Eni. Hati-hati di jalan ya,” jawab bu Ira.<br />Eni tampak bergegas keluar dari kantonya yang berada di jalan Salemba. Ia berjalan menuju jembatan penyeberangan menuju ke koridor busway.<br />Ia melangkahkan kaki dengan ringan. Ia mengamati sudut jembatan penyeberangan. Ia tak mendapati lelaki agak tua yang kemarin ia temui. Sebetulnya ia ingin menolongnya dan memeberinya sebungkus nasi yang sengaja ia beli.<br />Eni penasaran dengan orang itu. Dalam hatinya, ia merasakan getaran kuat. Sepertinya ia mengenal orang itu, tapi bukankah orang tua dan kakaknya tinggal di Pondok Indah.<br />Sementara itu, di sebuah gubuk kecil beberapa orang terlihat sedih. Mereka mendapati temannya yang meninggal. Dari jenazah itu tercium bau harum dan wajahnya terlihat cerah bersinar, sementara di tangannya terdapat foto empat orang yang tersenyum bahagia.<br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Januaribiroe</span><br /></div><br /></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-47722920872425912002009-07-10T23:30:00.000+07:002009-10-22T22:06:31.998+07:00Jakarta, 27 Desember<div style="text-align: justify;">Kamar itu berbentuk persegi, mungil dan sempit. Semua jendela sudah tertutup rapat sehingga cahaya tak seberkas pun kuijinkan masuk. Aku terduduk lunglai di sudut ruangan itu. Sambil menekuk kedua lutut dan memeluknya. Aku menutupi hampir sebagian wajahku dengan topi yang tersambung di jaket merahku. Aku menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Dan pundakku bergetar hebat. Mataku basah.<br /><br />Sesekali aku memukul-mukul kepalaku, berusaha membuang semua ingatanku akan kejadian sejak kemarin. Namun hal itu tidak pernah berhasil. Membuatku semakin tersiksa dan tenggelam dalam tangisanku. Hatiku selalu berdenyut sakit. Tapi aku tetap tidak bisa menghapus semua ingatan itu.<br /><br />Aku meremas tanganku semakin kuat. Semakin kuat hingga memerah dan seluruh urat-urat berwarna biru kehijauan itu menampakan diri di balik kulitku yang tipis.<br /><br />Namun, aku tetap tak bisa mengusirnya dari kepalaku....<br /><br />Aku mengangkat kepalaku dan menatap liar ke seluruh ruangan. Lalu pandanganku jatuh pada sebuah pigura yang terletak di seberang ruangan, di atas meja belajarku. Aku langsung bangun dengan tak sabar dan bergerak ke sana seperti anjing gila. aku meraih pigura itu dan menatapnya sebentar foto yang ada di sana. Fotoku dan seorang cewek...<br /><br />Dengan tangan bergetar, aku mencengkeram sisi-sisi pigura tersebut. Sangat kuat sampai-sampai rasanya aku ingin mematahkannya jadi dua. Tepat di tengah-tengah antara aku dan cewek itu. Tapi tenagaku, meski sudah menyimpan amarah, namun tetap saja tidak sanggup untuk mematahkan benda dari kayu dan kaca tersebut.<br /><br />Air mataku makin mengalir deras. Lalu kulemparkan pigura itu ke arah jendela yang tertutup kain tebal berwarna hitam. Sedikit berbalik arah, pigura itu jatuh tak berdaya. Bagian kacanya hancur berkeping-keping.<br /><br />Mendadak kakiku lemas. Aku terduduk lunglai tak berdaya.<br /><br />Sekelebat kejadian kemarin pun kembali berputar tanpa bisa aku hindari lagi...<br /><br />Hari itu, hujan turun dengan sangat deras. Dan aku sedang berada di sebuah cafe, menunggu kedatangan pacarku. Sudah setengah jam aku duduk di samping jendela, dari cuaca masih sedikit cerah sampai hujan turun dengan sadisnya, sambil memperhatikan orang-orang berlalu-lalang. Namun, pacarku itu belum kunjung datang. Aku berusaha memakluminya karena hujan tengah turun dengan derasnya. Jadi kuputuskan untuk tetap menunggunya sampai dia datang. Meskipun aku harus memesan bercangkir-cangkir cofee late kesukaanku.<br /><br />Aku masih setia duduk di samping jendela, saat seorang pelayan sudah menyuguhkan pesanan cofee lateku yang ke lima. Tepat saat aku melihat dua orang sosok yang aku kenal melintas di luar jendela, tengah berlari-lari kecil berusaha menghindari hujan, yang adalah pekerjaan sia-sia tentunya.<br /><br />Mataku langsung memicing. Tanganku langsung mengepal di samping celana cargoku. Hatiku langsung memanas.<br />Aku sangat mengenal mereka. Kedua orang itu....<br /><br />Aku langsung berlari ke luar cafe dan meninggalkan cangkir cofee lateku yang kelima itu. Aku berusaha untuk mengejar mereka, menembus hujan, dalam kuasa amarah. Saat mereka berbelok di tikungan, aku ikut berbelok. Dari belakang mereka, aku bisa melihat tawa ceria mereka.<br /><br />Cih....tidak ada yang tau, aku tengah memendam badai yang lebih dasyat daripada hujan deras saat ini.<br /><br />Tepat di pinggir sebuah jalanan yang sepi, di depan sebuah restoran yang sudah tutup bertahun-tahun yang lalu, kedua orang itu berhenti. Aku memperlambat langkahku, sementara mengatur napas. Keringat sudah berlebur jadi satu dengan air hujan. Dan udara dingin yang menggrogotiku ini, tetap saja tidak bisa mendinginkan kepalaku.<br /><br />Aku berjalan pelan-pelan mendekati mereka.<br /><br />Yak, mereka sadar. Dan mereka menatapku dengan ekspresi terkejut yang luar biasa. Si cewek yang adalah sahabatku, maksudku selama ini kuanggap sahabatku, hanya bisa bersembunyi di balik pundak tinggi si cowok, yang lima menit lalu masih kuanggap sebagai pacarku.<br /><br />Aku menyeringai. "halo" kataku sambil memamerkan senyuman iblis.<br /><br />Si cowok seakan tak percaya dengan reaksiku, dia maju selangkah, berusaha melindungi si cewek.<br /><br />"mau apa?" tanyanya sok pahlawan.<br /><br />"bukannya kita ada janji di cafe?" tanyaku seakan tak terjadi apa-apa. Yah...aku mengubah topeng mukaku saat itu.<br /><br />"janji? sejak kapan? bukan nya kamu tau hubungan kita udah putus sejak seminggu lalu?" kata si cowok sambil mengerutkan keningnya.<br /><br />"putus? hei, setiap sabtu kita selalu ke cafe itu, dan setiap sabtu kamu selalu janji mau datang, kan?" ujarku setengah teriak.<br /><br />"kamu gila. kamu lupa ingatan. kita udah putus, Tan," bentak si cowok.<br /><br />Mendengar kata-kata itu, aku langsung berteriak seperti orang gila. Lalu tanpa sadar, aku sudah berlari seperti banteng ke arah si cewek dan dalam sekejap saja, si cewek sudah terkulai lemas dengan darah bersimbah.<br /><br />Aku menatap tanganku. Sebuah pisau penuh darah ada di tangan kananku. Aku tertawa miris melihat si cowok mengguncang-guncangkan tubuh si cewek sambil memaki-maki ku.<br /><br />Lalu aku teringat. Pisau...ah ya, pisau ini memang selalu kubawa kemana-mana dan kuselipkan di balik celana cargo ku.<br /><br />Setelah itu, aku pun langsung berlari, meninggalkan mereka.<br />Berlari menembus hujan. Berlari pulang ke rumah. Berlari dari masalah. Dan masuk ke dalam kamar, lalu mengunci semua pintu dan menutup semua jendela. Aku membentangkan kain hitam supaya cahaya tidak ada yang bisa menerobos masuk.<br /><br />Lalu aku pun terduduk di sudut ruangan.<br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : <a href="http://duniakura2.blogspot.com/">Clara Canceriana</a></span></div></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-43552524834580432232009-07-06T23:09:00.000+07:002009-10-03T23:10:56.002+07:00The Really Sweet Strawberry Cream<div style="text-align: justify;">Akhirnya bel ala ringtone HP itu menjerit nyaring juga, disusul dengan Risa yang melesat cepat demi memenuhi tuntutan perut yang sedari tadi bernyanyi kencang. Yang ada di pikirannya kini hanya satu, Roti krim strawberry Bang Herdi! Perut udah nggak bisa diajak kompromi!!!<br /><br />“Ris, nitip yah! Roti coklat!” samar-samar Risa mendengar teriakan Hany, yang hanya ditimpali dengan tangan yang melambai dan anggukan kecil.<br /><br />Risa kini berlari cepat, berusaha menahan gejolak perut yang semakin kencang memainkan orkestra. Tersandung sesekali, terik matahari yang menyiram diri, itu semua belum cukup melunturkan semangat makan Risa yang membara. Setelah sekian lama berlari, akhirnya kantin yang tercinta itu terlihat juga di ujung mata. Roti strawberry… Here I come!<br /><br />Hatinya mencelos seketika tatkala menangkap sekitar dua lusin anak mengerumuni kios Bang Herdi, tempat menjual roti tersebut. Berusaha mengingat kalau itu hari senin, Risa menepuk jidatnya keras, dan menyesali diri kenapa ia tak berlari lebih cepat kalau sadar Senin adalah hari yang paling banyak dikunjungi oleh siswa. Damn with Monday!<br /><br />Risa kini berada di barisan paling belakang. Ia berusaha mengintip dari celah tubuh yang bertumpuk dan matanya menangkap sederet roti strawberry yang telah terjual tiga perempatnya. Kini semangat juangnya makin berkobar sementara tangan sibuk menampik tubuh-tubuh tak berdosa di hadapannya. Segala cara harus ia lakukan agar ia bisa mendapatkan roti strawberry itu. Harus!!<br /><br />Kerumunan mulai mereda, membuat hati Risa berdesir lega untuk sejenak, yang kemudian langsung panik lagi lantaran menyadari kalau roti strawberry itu tinggal satu! Melihat sekeliling, tak ada orang yang tersisa. Risa tersenyum puas sementara tangannya mulai meraih roti dengan mantap.<br /><br />Risa tak tahu apa yang terjadi selanjutnya ketika badan kecilnya dengan sukses menyentuh lantai, menimbulkan bunyi gedabruk keras. Waduh, berat gue naik! Ujar Risa dalam hati. Namun kini ia sadar ini bukan saat yang tepat untuk membahas soal berat badan, ketika ia mulai bangkit lagi untuk membeli rotinya tercinta.<br /><br />“Bang, rotinya gue beli yah!” Sebuah suara menjengkelkan menyambut gendang telinga Risa, yang membuat gadis ini naik pitam.<br /><br />“TITOOO! LO NGGAK LIAT GUE YANG BELI BARUSAAAANN???”<br /><br />“Lah, salah lo sendiri dong nggak buru-buru, keduluan orang deh!” sahut Tito menyebalkan.<br /><br />“tapi<br />kan tadi lo liat gue yang megang duluan trus gue jatoh,WAIT A MINUTE!” Risa mulai merasakan keganjilan tentang proses ia jatuh. “Jangan bilang elo yang dorong gue barusan??”<br /><br />“Kalo iya kenapa?” Tito menyeringai lebar. “Segala sesuatu harus dilakukan dengan penuh perjuangan toh. Dadaaah!”<br /><br />Tito melengos pergi, meninggalkan Risa dengan setumpuk kekesalan dan darah yang mendidih mencapai ubun-ubun.<br /><br />* * *<br /><br />“Hmmmrh….”<br /><br />“Ris.. Risa.. Tenang Ris..” tutur Hany takut-takut sambil menggigit roti coklatnya pelan. Heehh.. berantem lagi deh. Udah yang kedua dalam satu hari. Tadi pagi pas tali sepatu Tito lupa diiket trus diinjek sama Risa. Jadinya Tito jatoh. Mungkin ini semacam pembalasan dendam, batin Hany sambil manggut-manggut.<br /><br />“Gue kesel banget Han sama dia!! Nggak pernah akur dari kelas satu. Heran gue!” ujar Risa agak sakit hati. Hatinya berdesir tak enak, mengingat hampir dua tahun terakhir ini ia habiskan untuk bertengkar dengan Tito. Padahal kalau mengingat pertemuan mereka berdua, sungguh merupakan pertemuan yang mengharukan. Setidaknya bagi Risa.<br /><br />* * *<br /><br />Sore itu sore yang naas bagi Risa. Di kantin ia kehabisan makanan karena mengerjakan tugas Biologi yang minta ampun ribetnya itu, lalu istirahat kedua ia tak sempat jajan karena menyelesaikan praktikum Fisika. Lengkap sudahlah penderitaannya hari itu.<br /><br />Risa sungguh tak berselera melihat jajanan di pinggir jalan yang terkena langsung oleh polusi kendaraan. Tak hanya polusi, lalat yang beterbangan pun cukup sudah untuk menguapkan nafsu makannya. Risa hanya mau makan makanan yang terbungkus rapi oleh plastik atau makanan yang terrebus atau tergoreng matang. Maka dari itu sukses sudah Risa pulang dengan langkah gontai dan sempoyongan menahan lapar, persis seperti orang mabuk-mabukan.<br /><br />Di puncak usahanya mempertahankan keseimbangan dalam berjalan, akhirnya Risa tak berdaya begitu kakinya tak sengaja tersandung batu besar yang anehnya tak terlihat mata. Risa dengan pose mabuknya mulai terayun ke depan, pasrah untuk jatuh, ketika sebuah tangan menopang tubuhnya. Menoleh, ia mendapati seorang pria tinggi putih ganteng sedang merangkulnya, menyelamatkannya dari aksi jatuh yang memalukan.<br /><br />“Lo nggak apa-apa?” katanya prihatin.<br /><br />“Nggg…gak…” sahut Risa lemas, sebelum sebuah suara yang berasal dari perutnya bergema keras. Wajah Risa memerah seketika.<br /><br />Sang pemuda tampak tak bisa menyembunyikan tawanya. “Laper yah? Oh iya, kebetulan tadi gue beli roti, belum sempet dimakan. Nih buat lo aja.” Katanya sambil menyodorkan sebuah bingkisan. Roti krim strawberry.<br /><br />“Wuaaah… Makasiiih!!!” tanpa basa-basi lagi Risa langsung menyomot Roti dari tangan pemuda itu dan membuka plastiknya dengan semangat berkobar. Roti.. aku cinta padamu!! ~>gambaran perasaan Risa saat itu.<br /><br />Belum sempat roti tersebut singgah di mulutnya, tiba-tiba sebuah tubuh menyenggol Risa, hingga Roti itu terpental sejauh satu meter di hadapannya, dan dengan sukses mendarat di kubangan lumpur.<br /><br />“Ro… ti…” Risa terbata-bata, tak sanggup menerima kenyataan.<br /><br />“Sorry…” kata tersangka yang menabrak dirinya, yang merupakan lelaki gempal besar. Anehnya selain kata itu sang cowok gendut hanya berlalu begitu saja.<br /><br />“Ro… ti…” sang pemuda tinggi baik hati juga melontarkan kata yang sama, sebelum ia berkata keras. “Gimana sih?<br />Kan gue udah ngasih ke elo. Harusnya lo bisa jaga roti itu! Asal lo tau ya, gue juga belom makan dari tadi!!” Lalu sang pemuda melengos pergi, meninggalkan Risa melongo<br /><br />“Aneh banget ya pertemuan lo sama Tito…” celetuk Hany tiba-tiba, membuyarkan alam imajinasi Risa.<br /><br />“Iya. Gue juga sebel. Padahal waktu itu gue terpesona ma dia..” sahut Risa sambil melamun. Sedetik kemudian ia terlonjak. “Loh, lo tau dari mana tentang cerita itu?”<br /><br />“Gimana sih,<br />kan lo sendiri yang nulis tuh di buku. Buat tugas “The unforgettable moment”. tugas Bahasa Inggris. Nggak sadar ya mbak?”<br /><br />Risa langsung memeriksa buku latihannya dan benar saja, kisah pertemuannya dituturkan dengan indah ke dalam bahasa inggris satu halaman penuh. Gila. Ini bener-bener gila. Harus cepet-cepet dihapus, sebelom Mr. Syaiful nyuruh gue baca di depan.<br /><br />“Yak… Waktu mengarang indah sudah selesai. Now it’s time to show up your story in front of your friends. For the first give a big hand for… Risa Wulandari!”<br /><br />Ibuuuuuu!<br /><br />Dengan langkah gontai Risa berjalan ke depan sementara telapak tangan berkeringat dingin. Mengingat Tito sekarang duduk di paling depan membuat segala keberanian kendor sudah. Dosa apa aku Tuhan?? Jangan Hukum aku seperti ini!!!<br /><br />Perlahan Risa mulai membaca karangannya dengan bahasa Inggris yang agak cacat. Diabaikannya koor cieee teman-teman begitu mendengar kalimat “I was so impressive with his concern when he gave me his bread”. Tertolong Risa tak menyebutkan namanya, namun sang pemeran utama dalam cerita ini pasti tersadar bahwa ini adalah dirinya.<br /><br />Tiga menit terasa sangat panjang ketika akhirnya Risa usai membaca ceritanya. Tertunduk serendah mungkin, Risa berusaha menyembunyikan wajah merahnya dari sengatan mata Tito yang tajam. Bahkan sampai ke tempat duduknya yang di ujung pun Risa masih dalam usahanya menutupi wajah yang kian merona. Ia benar-benar kehilangan segala hasrat untuk menengadah.<br /><br />Beberapa orang berlalu dengan cerita tak berarti. Ketika kira-kira delapan orang telah maju, akhirnya nama yang paling akrab di telinga Risa dipanggil. Tito.<br /><br />Tito maju ke depan dengan wajah tenang. Risa kembali dengan aksi menunduknya. Rasanya ia ingin ditelan bumi sekarang.<br /><br />Samar-samar Risa mendengar cerita Tito yang dilantunkan dengan suara lantang. “I was thinking if that girl so hungry, so I gave my bread to her as a present. That time I really wanted to laugh, but when I saw her face, I…”<br /><br />Risa menengadah. Ia mulai memasang telinga. Tito kini menatapnya sekarang sambil meneruskan ceritanya dengan suara lantang. Bisik-bisik mulai terdengar dari seluruh penjuru kelas.<br /><br />“Kayaknya gue pernah denger ni cerita deh…”<br /><br />“Iya, dimana ya?”<br /><br />Tito menyelesaikan kalimat terakhirnya dengan kata-kata : “Although that bread had fallen, I really glad that I’d ever given my favourite bread to her. To a sweet hungry little girl…”<br /><br />“Aaaaah! Ceritanya sama sama RISA!!” Hany menjerit tiba-tiba, yang membuat seluruh murid berteriak yang sama : “AAAH!”<br /><br />Koor cieee menyusul dengan sukses. Risa sudah tak berani membayangkan mukanya kini sudah semerah apa. Kini ia kian membenamkan mukanya, sementara Tito-nya sendiri tampak kalem dan duduk kembali ke tempat semula.<br /><br />Sungguh hari yang memalukan!!<br /><br />* * *<br /><br />“Oi…” Tito menghampiri Risa yang masih menunduk begitu Mr. Syaiful keluar kelas. Hany mundur sukarela sebelum mengacungkan jempolnya ke Tito sambil mengedipkan mata. Tito balas mengedip.<br /><br />“Apa?” sahut Risa galak.<br /><br />“Galak bener..”<br /><br />“Elo sih bikin gara-gara..”<br /><br />“Lah, siapa yang duluan baca cerita itu?”<br /><br />Akhirnya Risa mengangkat wajahnya. Mukanya kini tak semerah tadi, namun masih menyisakan bekas rona di beberapa bagian. “Kok bisa sama seh?’<br /><br />“Mana gue tau?” jawab Tito menyebalkan. Lalu ia melempar buku latihannya ke pangkuan Risa sambil memberi isyarat untuk membukanya.<br /><br />Risa menurut dan membuka halaman yang jadi masalah. Ia terhenyak ketika di halaman terakhir bukanlah kisah tentang pertemuan mereka, tapi kisah tentang hari kelahirannya. Lalu ia membalik halaman sebelumnya. Kisah tentang “Sweet hungry little girl” tertulis rapi di<br />sana, tertimpa dengan tanda silang besar plus kata “SALAH”.<br /><br />“Gue tadinya juga nggak sadar nulis itu. Trus langsung kaget setengah mati pas tulisannya udah selesai.” Sama ama gue, batin Risa tak percaya. “Akhirnya gue nulis ulang deh. Tapi pas elo maju ke depan tadi… Akhirnya gue mutusin buat cerita yang sama kayak lo!”<br /><br />“Apaan sih??<br />Kan gue maluuu!” pekik Risa tertahan, walau kini hatinya berbunga-bunga.<br /><br />“Lo kira gue nggak malu? Tadinya gue sempet mikir, ntar kalo lo ke-geeran gimana nih? Ntar kalo lo ngerasa sok kecakepan gimana nih?”<br /><br />“Elo mikir apa sih sebenernya?” Risa mendelik.<br /><br />“Hehe.. Becanda.”<br /><br />“Ber… ber… arti.. kita…” mereka berdua saling pandang, dan bersamaan menunduk dengan muka bersemu merah.<br /><br />“Hadooh, belom pernah gue ngalamain hal yang memalukan kayak gini.” Tito tertawa kecil, yang membuat wajah pemuda itu terlihat manis sekali. Jantung Risa berdegup kencang, tatkala Tito kini menatapnya lembut. “Iya Ris, gue su…”<br /><br />Kruuuyuuuuuk.<br /><br />Bisu. Hening. Tak ada kata menyusul.<br /><br />“Mbuahahahahhaa… Laper Ris? Ya ampuuun! Sampe moment kayak gini perut lo bunyiii?”Tito tergelak kencang sekali, mengabaikan erang protes Risa yang mulai mengungkit kejadian di kantin tadi. “Iya.. Iya, aku ngerti.”<br /><br />Tito kembali ke mejanya dan beberapa detik kemudian ia kembali dengan bungkusan di tangan. Roto krim strawberry.<br /><br />“Makan nih. Emang gue niat beliin buat lo tadi…” katanya sambil tersenyum lembut. Risa menatap Tito dengan penuh terima kasih.<br /><br />Dan tanpa ragu ia langsung melahap habis roti itu dalam tiga gigitan.<br /><br />Really sweet strawberry cream!!<br /><br />Dan ini adalah hari terindah baginya.<br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Anien_Chan</span></div></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-33344294237916978402009-07-03T23:04:00.000+07:002009-10-20T14:31:20.260+07:00Drama Jalanan<div style="text-align: justify;">Aku menghentikan motorku di pinggir jalan, tepat di depan rumah Gimbal, sobat karibku. Rumah Gimbal... sebenarnya tidak tepat juga kalau dikatakan begitu. Rumah itu dikontrakkan sebenarnya, milik salah satu saudara jauh sobatku itu. Namun, berhubung sampai sekarang belom juga ada yang mau mengontrak di situ, Gimbal kebagian jatah menjaga dan merawatnya. Yang untung jelas aku dan teman-temanku yang lain, dapet tempat nongkrong gratis yang bisa dipakai tanpa sungkan, hehehehe...<br /><br />“Tut, baru dateng lo?” Gimbal menyapaku. Ia tadi sedang asyik mencuci vespa antiknya. Oh ya. Namaku Kresna, tapi entah kenapa teman-temanku lebih suka memanggilku Itut.<br /><br />“Ya lah. Ga ada acara ini,” jawabku santai tanpa turun dari motor. Nasib cowok-cowok perserikatan KTS macam kami ya kayak gini, malem minggu ga ada acara. Menyedihkan. Oh, kalau kalian belom tahu, KTS itu singkatan dari Kasih Tak Sampai... jomblo maksudnya.<br /><br />“Ga ada acara pala lo peyang,” Gimbal langsung berkata, sambil melempar lap motornya sembarangan ke dalam rumah. “Lo lupa ni hari tanggal berapa? Ada yang ulang taun hari ini, tau. Makan kenyang nih kita.”<br /><br />“Sapa yang ulang taon? Emang ada pa?” Aku mengerutkan kening, mengingat-ingat. Terbayang wajahku cewek kecil yang cerewet dan ceria. “Jah, iya. Chica yah?”<br /><br />“Itu inget lo,” sahut Gimbal sambil mengikat rambut gondrong keritingnya. Mentang-mentang kuliah jurusan seni, ga pernah potong rambut dia.<br /><br />“Tunggu apa lagi Mbal? Ayo kesana!” Aku mengajak antusias. Ini memang kerjaan cowok-cowok jomblo kayak kami. Inget-inget ulang tahun temen, samperin... paksa deh nraktir makan.<br /><br />“Bentar, nunggu Kosa. Tu anak mau kesini bentar lagi. Tadi telpun dia,” jawab Gimbal kalem, lalu cuek saja masuk ke dalam rumah tak mempedulikanku.<br /><br />Ditinggal gitu, aku menghabiskan waktu dengan memikirkan panggilan kami. Aneh-aneh sebenernya kalau dipikir. Haryanto jadi Gimbal, karena rambut gondrongnya yang keriting. Kresna dipanggil Itut, nggak tahu kenapa. Perkasa dipanggil Kosa, karena...<br /><br />Teeettt...! Suara terompet mengganggu konsentrasiku. Aku berpaling dan melihat dia, si Kosa datang mendekat, mengayuh santai sepeda antik yang dipasangin trompet buat belnya, memboncengkan Birbin.<br /><br />“Ke tempat Chica sekarang, Sa?” Aku menyapa dengan pertanyaan, langsung ke pokok permasalahan.<br /><br />“Percuma,” dia menjawab kesal, menghentikan sepeda tanpa rem itu dengan kakinya yang bersendal jepit. Birbin langsung cepat meloncat turun. “Ada yang mendahului kita tuh. Si Cacing ama si manusia tanpa ekspresi tuh. Udah pergi Chicanya sama mereka. Lewat rumahnya tadi kita bedua.”<br /><br />“Sialan!” Aku memaki spontan. Yang disebut Cacing itu nama aslinya Ari. Karena badannya kurus kering kayak cacing, jadi deh panggilannya Ari Cacing. Manusia tanpa ekspresi itu Nova, anak kampung sebelah yang suka main kesini. Bukan tanpa ekspresi sih sebenarnya, cuma ekspresinya aneh bin ajaib. Ketawa kayak kebelet pipis, marah kayak orang malu, malu kayak pengen ketawa... aneh pokoknya.<br /><br />“Yo, Sa!” Gimbal menyapa. Ia keluar rumah dengan lenggang santai. Ia ganti pakaian, tapi menurutku sih mendingan yang tadi. Sekarang, pake celana jins robek-robek, jaket jins robek-robek juga. Mending tadi, kaos oblong ma celana pendek, paling nggak utuh dua-duanya, nggak ada yang robek.<br /><br />“Halo semua!” Belum sempat Kosa membalas, terdengar sapaan dari pengendara motor yang berhenti di dekat kami.<br /><br />“Mo pada ke tempat Chica yah? Ikut dong. Laper nih gua!” Orang itu melepas helmnya. Ternyata itu Zhito, anggota geng kami juga.<br /><br />“Telat!” gerutu Birbin. “Dah pergi dia ama Cacing ma Nova.”<br /><br />“Yah, sialan tuh anak bedua,” Zhito memaki kesal. “Hajar aja yuk!” lanjutnya, becanda maksudnya.<br /><br />“Oi... Oi...! Berantem ama temen ga baek tahu...,” cegah Gimbal. Tapi dari cara senyumnya aku tahu kalau ia pasti merencanakan skenario sesat lagi.<br /><br />“... kalo tanpa rencana,” lanjut Gimbal. Nah, benar kan. Aku langsung bisa menebak rencana kacau mahasiswa gondrong itu.<br /><br />“Sini...” Gimbal menggerakkan tangannya memanggil lalu membisikkan skenario drama di benaknya. Benar seperti dugaanku, kacau dan sesat abis. Zhito dan Kosa nampak mengangguk-angguk bersemangat.<br /><br />“Oke deh,” Zhito berseru penuh semangat. “Gua pergi dulu, cari benda yang bakalan bikin tambah ancur-ancuran ntar.” Ia langsung naik dan memacu motornya tanpa menunggu tanggapan kami.<br /><br />“Bantu gua ntar Bin,” kata Kosa dengan seringai liar. Sementara Gimbal kembali melenggang masuk rumah, bersiap buat rencana gilanya.<br /><br />OooOOooO<br /><br />Hari sudah semakin malam. Sudah jam sembilan lewat, jauh lewatnya... Tempat Gimbal ini sudah semakin rame saja. Mereka yang habis apel sama mereka yang tadi jalan-jalan ke mall, pada berkumpul di sini; pada nongkrong di luar semua nyanyi sambil maen gitar, nggak ada yang masuk dalam rumah. Hampir semuanya cowok. Pas banget buat rencananya si gondrong.<br /><br />Masalahnya, disini ada satu cewek... Menil, adiknya Gimbal, dan dua orang tua... bapakku dan ayahnya Gimbal, yang baru pulang dari latihan badminton.<br /><br />Kosa mendekati Gimbal, dengan ragu bertanya pelan apa rencananya jadi dijalankan. Gimbal mengangguk dengan mantap, sangat yakin tampaknya dia. Selain kami berempat, dan Zhito yang entah kenapa belum balik sekarang, yang lain tak ada yang tahu rencana kami.<br /><br />Lalu, yang kami tunggu pun datang juga. Nova yang memboncengkan Chica, dan Cacing yang memboncengkan cewek berambut panjang, teman Chica. Kedua cowok itu menghentikan motornya di dekat kami dan turun dengan lagak bangga. Aku agak kesal juga melihatnya.<br /><br />Lalu Kosapun, yang tampangnya dari tadi sudah makin kusut saja, beraksi. Ia cepat mendekati dan mencengkeram kerah leher Cacing dan mendekatkan wajah dengan tampang merah mengancam, penuh emosi.<br /><br />“Apa maumu sebenarnya hah?! Lo pikir lo siapa... Lo pikir gua nggak bisa marah!” Kosa menggeram.<br /><br />“Oi... Oi...! Apa-apaan nih Sa? Jangan becanda ah,” kata Cacing menenangkan. Tapi mukanya kelihatan pucat. Wajar saja, diancam cowok kekar macam Kosa. Aku aja, yang lebih gede badannya dari Cacing, ogah cari perkara sama dia.<br /><br />“Apa-apaan?! Lo nggak nyandar kelakuan lo!” Kosa menggeram keras, serem deh.<br /><br />“Lo juga! Ngapain cengar-cengir! Nggak sadar salah lo juga?!” Ia juga membentak Nova, yang langsung mengkeret takut.<br /><br />“Sabar Sa!” Aan, kakak Birbin yang baru saja datang dari apelnya, mencoba menengahi.<br /><br />“Jangan ikut campur!” Kosa membentaknya.<br /><br />“Iya An, biarin aja,” Birbin ngomporin. “Tu anak berdua emang perlu dikasih pelajaran.”<br /><br />“Sa! Masa gitu aja marah Sa? Aku ngapain Sa?” Cacing memohon. Ia masih dicengkeram kerahnya sama Kosa.<br /><br />“Hajar aja Sa!” Birbin buka mulut memanaskan suasana.<br /><br />“Hush!” Kusno, salah seorang dari kami yang berada disitu, langsung menegurnya. “Jangan berantem lah. Ada orang tua disini, ga malu?”<br /><br />“Trus mereka didiemin saja?” Kosa meraung emosi, mencengkeram kerah Cacing lebih kuat. “Kagak bisa!”<br /><br />“Kalian berdua ini... Sabar! Bicarain baek-baek di dalem sana deh.” Gimbal memeluk dan setengah menyeret Kosa dan Cacing ke dalam rumahnya, menepuk pundak Kosa, seolah mencoba meredakan emosinya... kalau diliat mereka yang nggak tahu.<br /><br />Tak lama, Gimbal melenggang keluar dengan tenang. Suasana dalam rumah tampak tenang-tenang saja. Semua yang ada disitu nampak agak lega, tapi...<br /><br />Blaannggg...!<br /><br />Terdengar suara keras benda dibanting dari dalam, diikuti teriakan panik Cacing, “Saaa...! Jangan Sa...!”<br />Gimbal langsung berbalik dan berlari masuk rumah, diikuti teman-temanku yang lain. Aku siap beranjak mengikuti mereka ketika...<br /><br />Rruunggggg...!<br /><br />Terdengar suara motor meraung keras. Zhito datang mengendarai motornya, menyeret tonggak kayu besar yang kelihatannya adalah bekas papan penunjuk nama jalan. Busyet! Mau apa dia mencabut papan nama jalan seenak perutnya?<br /><br />“NOVA! Sini lo!” Zhito membentak keras sambil mendelik marah, menghentikan motor di tengah jalan, dan turun sambil menyeret tonggak kayunya. Busyet! Ini sih kebangetan...<br /><br />Nova langsung mengkeret ketakutan. “To...! Jangan To! Emang... emang aku ngapain To?” Ia memohon sambil melangkah mundur, menjauh. Takut. Siapa yang nggak takut? Dideketin cowok kalap yang menyeret kayu segede itu.<br /><br />Aku segera berlari mendekati Zhito dan menahannya. “Sabar... Sabar To! Jangan pake itu dong. Ada masalah kan bisa diseleseiin baek-baek. Sabar!”<br /><br />“Nggak pake sabar-sabaran!” Zhito membentak dan menyingkirkan tanganku.<br /><br />Sempat kudengar di dalam rumah, Kosa juga meraung, “Sini lo, SETAN!”<br /><br />Suasana terasa panas sekali... sesaat... tapi langsung berubah begitu terdengar suara Birbin cekikikan, tak kuat menahan ketawa.<br /><br />Zhito melepaskan tonggak kayu yang diseretnya dan mulai ikut ketawa sampai terbungkuk-bungkuk.<br />Pintu rumah terbuka dan Kosa keluar sambil ketawa ngakak juga. Gimbal dibelakangnya nyengir sangat lebar. Aku... aku juga terbungkuk-bungkuk menahan tawaku.<br /><br />Teman-temanku yang lain, cowok juga cewek, juga bapakku dan ayah Gimbal, memandang kami sambil melongo tak mengerti. Aku tertawa semakin keras.<br /><br />“Drama duel babak pertama selesai,” Gimbal berkata kalem.<br /><br /><br /><div style="text-align: right;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Oleh : Unknown</span><br /><a href="http://pulaucerpen.blogspot.com/2009/07/drama-jalanan.html"></a></div></div>Ellious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4749516264972211825.post-66499451898964790062009-07-02T22:57:00.000+07:002009-10-03T23:05:16.083+07:00Selamat Datang di Pulau CerpenSelamat Datang di Pulau CerpenEllious Grinsanthttp://www.blogger.com/profile/17744421225271891611noreply@blogger.com2