19 Juni 2010

Selamat Jalan Priti!

“Hhh...”

Hari ini desahannya cukup panjang. Walaupun Sharon sudah mulai terbiasa dengan desahan yang selalu mengawali tiap rutinitasnya, mau tak mau ia harus mengakui bahwa desahannya kali ini adalah yang paling berat. Apalagi kalo bukan itu alasannya. Hari pertama kali sekolah setelah dua minggu yang panjang mendekam di rumah karena liburan.

Aku harus siap. Anggap saja mereka seperti sebuah kerikil di sudut pandanganmu yang tak terjangkau mata. Ya, kerikil yang tak pernah minta diperhatikan, juga tak pernah memperhatikan. Aku harus bisa menjalani hari ini.Pasti.

“Tenang, aku pasti di sampingmu..” Sharon tersentak melihat sebuah sosok anak perempuan berbaju hijau kini tengah berdiri di depannya dengan senyum manis.

“Kamu... aduh, aku sampai kaget.” Kata Sharon melayangkan tinju candanya yang kemudian tembus melewati bahu anak itu.

“Kamu kan tahu, aku pasti selalu menjagamu, jangan biarkan anak-anak lain memperolokmu. Yakinlah pada dirimu sendiri. Ingat, hanya aku yang mengerti kamu.”

Hanya aku yang mengrti kamu. Kata-kata itu begitu menyanjung Sharon, yang sepersekian detik kemudian meraih kacamata botol susu sapinya dengan mantap dan berdiri lebih tegak.

“Iya, aku harus yakin, Priti...” begitu gadis bergaun hijau itu dipanggil. “Kamu janji kan nggak bakal tinggalin aku?”

“Priti mengangguk penuh keyakinan. “Aku tercipta untukmu Sharon...”
* * *

Walaupun sepatu pantofelnya sedari tadi menimbulkan gema di sepanjang lorong koridor sekolah, tak ada satu pun yang benar-benar peduli. Ketika Sharon yang berjalan tertunduk itu terjatuh ke belakang akibat air pel yang belum kering pun tak ada yang benar-benar menyimak. Sesaat Sharon mengira kepala bulatnya akan sukses beradu dengan lantai, sampai sedetik kemudian ia merasa ada yang menopangnya dari belakang. Ia baru saja akan berterima kasih pada sang empunya tangan, sebelum akhirnya air mukanya memerah, begitu menyadari siapa sang dewa penolongnya.

“Kau tak apa-apa? Hati-hati kalau jalan...”Sesaat sharon merasa dunianya berputar, begitu melihat pangerannya begitu dekat dengannya saat ini. Rasanya dengkul ini lemas dan kepalanya penat untuk sekian detik. Oh. Ia tak mau ini berlalu begitu saja.

“Hei, kau tak apa-apa kan? Apa kau mengalami semacam rematik sampai tak bisa bangun?”

Kuping Sharon memerah seketika. Ia terlompat seakan baru saja menemukan kesadarannya yang sempat mengembara. “Oh.. Ma... ma..af. Ma..ka..s.sih..” ucapnya terbata sambil tergesa lagi. Oh, benar-benar air pel sialan, rutuknya. Tampaknya ia harus membayar ucapannya itu karena sedetik kemudian badannya terayun ke depan begitu cepat dan ia siap terjatuh lagi.

Sharon merasakan badannya tertahan sebelum kacamata botol susu sapinya terjatuh dengan sukses.”Oops. Hampir jatuh lagi! Hati-hati kalau jalan!” kata pangerannya lagi sambil menyangga berat badan Sharon. Sharon tak mempedulikannya. Tangannya sibuk menggapai-gapai ke sekeliling. Berharap bisa menemukan kacamatanya. “Oh, nyari kacamata ya? Ini..”Kevin, begitu sang pangeran dipanggil, langsung menyerahkan kacamata yang terjatuh tadi. Sesaat ia memandang Sharon yang tanpa kacamata. Wih, dibalik kaca tebel ini tersembunyi paras nan rupawan, batin Kevin kumat untuk berfilosofi.
Buru-buru Sharon merebut kacamata itu dan memakainya tergesa. “Makasih. Aku nggak bisa melihat tanpa ini.”

“Sama-sama...” kata Kevin sebelum akhirnya Sharon tergopoh-gopoh meneruskan perjalanannya kembali dengan mata tertunduk. Kevin menatap punggung itu menjauh dengan jutaan rasa penasaran.
* * *

Tahun ajaran baru begitu membosankan seperti biasanya. Teman baru, kelas baru, lingkungan baru, semuanya membuat Sharon begitu nelangsa, frustasi karena tak segera mendapat teman duduk, jengkel karena belum bisa menyapa seorang pun, dan sebal lantaran sekelilingnya pun tak berusaha menyapanya. Kenapa ya?
Ia memandang penampilannya sendiri lewat layar HP yang cahayanya redup. Aku culun. Rambut diikat dua, kacamata setebal pantat botol, baju kebesaran, rok kepanjangan, sungguh bad style dari si aneh Sharon. Siapa yang mau berteman denganku? Apalagi Kevin. Batin Sharon seraya mengerling pangerannya yang asyik bercanda dengan anak perempuan yang agresif. Oh, pikir apa kamu Sharon? Jelas sajalah dia tak mau berteman denganmu. Jangan berharap terlalu banyak!

Kan ada Priti. Ya, Priti. Dia yang selama ini di sampingku sebagai teman. Kalau teman-teman sudah memperolokku, merendahkanku, dan meremehkanku, Sharon selalu menjadi yang pertama menghiburku dengan senyum tulusnya.
Tak terasa bibirnya mengulas senyum. Ternyata sudah 14 tahun ia menjalin pertemanan dengan Priti. Saat itu ia msih berumur 3 tahun, tatkala tetangganya memperoloknya begitu rupa. Saat itu Priti muncul dan membisikkan kata-kata penenang jiwa. “Tenang saja Sharon. Aku selalu di sampingmu, mulai sekarang kita berteman, ya.”

Sejak itu ia selalu muncul tak terduga. Menghibur Sharon sebanyak ia mau, muncul pada saat yang dibutuhkan, pagi, siang, sore, bahkan malam menjelang Sharon tidur. Sharon begitu menyayangi temannya ini. Bahkan ia rela kehilangan apa saja asal tak kehilangan Priti.
Lamunan Sharon pecah tatkala bunyi tumit sepatu kepunyaan Bu Hilda bergema di ruangan. “Ibu tak banyak waku saat ini, karena harus mengawasi OSIS yang mengorientasi murid baru. Yang jelas ibu mau membagi kalian menjadi 8 kelompok untuk mengerjakan tugas laporan pengamatan. Hasilnya akan dipresentasikan minggu depan.”

Terdengar koor ‘yaah’ dari seluruh penjuru kelas. “Tak ada protes. Ibu membagi kalian berdasarkan absen. Absen 1-5 kelompok A. Absen 6-10 kelompok B, begitu seterusnya. Silahkan kalian merundingkan sebuah tema bebas yang berbobot dan bagus. Ibu keluar dulu. Jangan ribut!” katanya sambil berlalu.
Setidaknya Sharon bisa bernapas lega karena ia tak perlu repot mencari teman sekelompok. Namun itu hanya berlangsung sesaat, ketika beberapa saat kemudian ada yang mengganggu pikirannya begitu teringat sesuatu. Mati aku! Namaku kan Liliana Sharon, berarti aku sekelompok dengan...

“Oi, aku sekelompok denganmu kan?” bagai lalat, dalam sekejap Kevin sudah hinggap di bangku kosong sebelah Sharon. Seketika jantung Sharon berdebar kencang. Duh, dia sekelompok dengan pangerannya!

“I...iya.” penyakit lama kumat. Tergagap.

“Eh, kita sekelompok sama siapa aja?” tiba-tiba Keisha sang primadona sudah berdiri di depan Sharon yang mematung. Begitu melihat Sharon, Keisha tak susah payah untuk menahan pandangan mencelanya. “Yaah, sama dia. Eh tapi nggak apa-apa kan Vin? Kita bisa sedikit santai. Kan ada si kacamata ini.”

Darah Sharon berdesir tak enak, namun segera dikuasainya.

“Apaan sih Kei? Itu yang disebut kerja kelompok?” tanya Kevin kalem, namun cukup membuat kuping Keisha memerah. “Nggak ada kerja sendiri, kita harus kerja semua. Oke?” katanya lagi disertai anggukan kasual Mona dan Lando. Keisha akhirnya mengangguk lemah. “Ya udah. Enaknya tentang apa, nih?”

“Tentang ini saja...” Mona memberi usul yang segera diinterupsi oleh Lando yang juga semangat memberi ide. Mereka begitu bersemangat mengutarakan pendapat, kecuali Sharon.

Duh, aku harus gimana? Aku takut ngeluarin pendapat. Kepala Sharon kini berpusar hebat, menciptakan pening kecil di sisi kiri dahi. Ia tak kuasa berpikir dan terus menunduk, tak menyadari bahwa kini sepasang bola mata sibuk mengamatinya dengan penuh minat.
* * *
Diary, hari ini aku kebagian tugas kelompok bersama Kevin. Seketika aku kehilangan kata-kata. Walaupun hampr tak ada kata-kata yang aku keluarkan sepanjang hidup, tapi kali ini aku benar-benar kehilangan hasrat untuk bicara. Huff...

“Lagi nulis apa Sharon?” dalam satu kedipan mata Priti sudah berdiri di sampingnya.
“Lagi nulis kejadian di sekolah tadi. Waktu aku satu kelompok sama Kevin. Aku benar-benar deg-degan.”
“Kamu suka padanya?” mendadak raut muka Priti berubah beku.
“Eng.. enggak. Aku hanya takut bicara dengan laki-laki populer.”Sharon mengelak. “Tenang Priti. Hanya kau temanku.”
“Aku harap begitu” katanya dengan nada melunak.”Ingatlah. Hanya aku temanmu Sharon.”

Sharon tersenyum persis ketika pintu di belakang Priti berderit disertai Mama Sharon memasuki ruangan. “Kamu bicara dengan siapa nak?”

“Dengan Priti Ma. Barusan dia ada di sini.” Jawab Sharon kalem.
“Bukankah Mama sudah bilang, bahwa Priti tak ada sayang...”
“Mama, Priti adalah teman terbaikku, Mama nggak boleh bilang kalau dia tak ada!” Sharon menggebrak meja, menumpahkan segala emosi.”Kenapa sih mama nggak percaya?”
“Sayang, bukannya mama nggak percaya. Tapi dia hanya khayalanmu nak..” Suara Mama Sharon mulai bergetar.

“Sekali lagi mama ngomong begitu” Sharon menahan napas. “Aku tak segan untuk keluar dari rumah ini.”lalu ia berbalik menaiki ranjang,dan menarik selimut sampai menutup kepala dan tidur membelakangi Mama Sharon yang kini terisak dalam diam.
* * *

Hari ini Sharon akan mengerjakan tugas kelompok di rumah Kevin. Ingin rasanya ia melarikan diri. Namun ia sadar ia tak bisa. Ia hanya bisa mengikuti alur cerita.

“Sharon, kok duluan sih? Bareng saja!” panggil Kevin ketika kaki kanan Sharon hendak melangkah keluar kelas. Semu merah menjalar cepat di pipinya.
“Bareng dong. Mona, Lando, Keisha, ayo pergi! Time’s money!”

Lalu mereka berjalan berjejeran. Semuanya asyik berkicau, mengabaikan Sharon dalam kebisuan. Sharon sendiri pun lebih tertarik memandang tali sepatunya.

“Hei, Sharon, kok diam saja?” kata kevin tiba-tiba sementara yang lain sedang membeli minuman. Kini tinggal mereka berdua. “Oh ya kau tahu? Kau lebih cakep tanpa kacamata lho. Lebih baik kau pakai soft lens. Memangnya kau minus berapa?”
Sharon merasakan dadanya berdenyut-denyut. “Er... Minus 8”

“8?? Yang benar saja. Pasti sulit untuk melihat ya?”Sharon membuat gerakan seperti mengangguk. “Hei, yang lain udah selesai. Yuk berangkat!”
Lalu mereka kembali berceloteh dan Sharon asyik dengan dunianya.
* * *

Kini semua tengah sibuk dengan bagian masing-masing. Mereka memutuskan mengangkat tema ‘Kekerasan Terhadap Anak dibawah Umur’ untuk dipresentasikan. Kalau ini, aku jagonya, batin Sharon puas seraya mengumpulkan bahan dari berbagai koran. Sebelum dipindahkan ke kertas kosong dengan bahasa sendiri yang variatif.

Waktu terus bergulir hingga jarum jam menunjuk angka 5. “Wah, enggak kerasa ya udah jam 5” celetuk Mona tiba-tiba.

“Iya, capek.” Sahut Lando sambil menguap. “Vin, udah selesai? Vin? Haloo..”
“Eh, oh sudah...”
“Kau mikir apa sih?”
“Enggak. Eh, Sharon, bentar ya. Maaf, maaf banget.” Tanpa diduga Kevin membuat gerakan seolah mau membelai Sharon. Keisha terbelalak tatkala Kevin ternyata hendak membuka ikatan rambut Sharon.
“Ei..Ei, apa yang kau lakukan?”pekik Sharon tertahan sebelum Kevin melepaskan kacamata kebangsaan Sharon.
“Nah gimana Do? Lebih baik seperti ini kan?” kata KSevin puas seraya mengagumi karyanya. Sang karya sendiri hanya sanggup mematung.
“Wow. Kesan nerd hilang sudah kalau rambutmu digerai. Mulai sekarang seperti ini saja.” Puji Lando disertai anggukan semangat Mona dan –tak diduga- Keisha.
“Iya Sharon, kalau kamu dandan seperti ini, pasti kamu nggak akan dipandang sebelah mata lagi.” Tutur Keisha sungguh-sungguh.
Sharon merasakan sesuatu yang hangat merayapi relung hatinya.
* * *

Ternyata mempunyai teman sangatlah menyenangkan. Semenjak kejadian sore itu, Sharon tampak lebih berani dalam berbusana. Roknya dipotong hingga mencapai lutut atasan dikit. Bajunya pun dirancang sedemikian rupa agar lebih pas di badan. Kacamata pantat botol itu pun tersimpan rapi di laci, tergantikan oleh soft lens hijau zamrud. Kini pun ia lebih berani berbincang dengan Kevin, seperti,

“Vin, siapa yang akan jadi moderator nanti?”
Dan Kevin pun tak sungkan lagi mengajak bicara Sharon, seperti

“Sharon, kau berubah. Jadi lebih berani dan PD. Good, I Like it.”
Seketika Sharon tak merasa kakinya berpijak di tanah. Asanya makin melambung seiring dengan jantungnya yang berdebar tatkala berhadapan dengan pangerannya. Sesekali ia juga menangkap percik-percik sayang yang terpancar dari mata Kevin. Sharon serasa melayang. Terbuai lembutnya awan dan betah berlama-lama.

“Jadi kamu sudah melupakan aku Sharon?”cetus suara dingin yang berasal dari sudut kamar Sharon. Imaji Sharon pecah seketika.

“Priti! Kamu kemana aja? Aku kangen...kenapa jarang muncul?”

“Karena kamu tak menganggapku ada.” Sahut Priti sedih seiring dengan tubuhnya yang mulai pudar. “Aku akan menghilang, Sharon...”

“Jangan Priti! Kamu adalah temanku!”

“Kalau begitu kau bunuh dia!” desis Priti luar biasa berbahaya seraya bergerak cepat ke arah Sharon yang terbelalak. “Bunuh Kevin. Dia yang merebutmu dariku!”

“Aa..aa... Kau gila?” erang Sharon tak percaya mendengar hal setabu ini keluar dari mulut Priti yang sedetik kemudian hilang bagai asap. Hening menyusul, menjemput Sharon yang sesenggukan dalam diam.
* * *

Frekuensi munculnya Priti melebihi kapasitas biasa tiap Sharon bertemu Kevin, ia muncul bagai nyamuk dan selalu mendesiskan kata yang sama. “Bunuh dia!”. Sharon merasa hampir gila, hingga suatu hari ia dan Kevin berada di atap sekolah dengan ketinggian 2 lantai.

“Kenapa kau memanggilku ke sini?” tanya kevin bingung. Ia hampir mencapai bibir atap sementara desisan “Bunuh dia”-nya Priti begitu memekakkan telinga. Priti sendiri sekarang berdiri di belakang Kevin dengan wajah luar biasa dingin.

“Bunuh dia...”

Sharon maju perlahan. Tubuhnya bergetar hebat. “Sharon, hei kamu baik-baik saja?” kevin bertanya bingung.

“Bunuh dia....”

“Sharon, ada apa?”tanya Kevin sementara tangannya hendak menyentuh dahi Sharon.

“BUNUH DIA”

Bagai kesetanan, Sharon meraung dengan tangan terjulur ke depan, siap mendorong Kevin. Ketika jarak mereka tak lebih dari 5 cm, Sharon berbelok dan dengan emosi mengganti sasaran targetnya.

“ENYAH KAU PRITI!!!”

Tubuh Sharon terayun begitu cepat ketika tangannya menembus badan Priti yang transparan. Berpijak di udara, jatuh dengan kecepatan luar biasa, semuanya terjadi begitu cepat. Lalu semuanya gelap.
* * *
Samar-samar bau alkohol menerobos penciuman Sharon. Lamat-lamat dibukanya mata yang entah berapa lama terpejam. Ketika retinanya benar-benar
berfungsi, kini giliran fungsi mulutnya yang bekerja. “Emmh... Dimana nih?”

“Sha, kamu udah sadar?” Kevin menggenggam tangannya dengan erat. Di belakangnya berdiri Lando, Mona, dan Keisha yang berdiri dengan cemas.

“Apa yang terjadi? Ugh..” Sharon merasakan sakit luar biasa menyerang keningnya, yang segera ditahan dengan segala kemampuan.

“Kamu jatuh dari lantai dua Sha. Beruntung kamu tersangkut pohon...” papar Kevin seraya mengeratkan genggamannya. “Apa yang terjadi Sha? Kamu mengigau nama Priti”

Sharon tercengang mendengar nama itu keluar dari mulut Kevin. Rupanya rasa traumatik yang begitu besar sangat mempengaruhinya hingga menyerang memori Sharon dan memaksanya untuk mengatakan nama itu dalam alam bawah sadarnya. Perlahan diutarakannya semua yang akhir-akhir ini menyesakkan daada Sharon. Mona dan Keisha mendekap mulut dengan kedua tangan sementara Lando membelalak.

“Sharon, itu hanya khayalanmu...Cobalah menerima kalau ia tak ada.”kata Kevin lembut.

“I’ve tried. But She’s so real.” Tiba-tiba sudut matanya menangkap gaun hijau melambai-lambai dari malik punggung Kevin. Priti berdiri di sudut ruangan. Wajahnya tampak sendu. Setetes air mata bergulir di pipinya. “Dia ada di sini, Vin. Dia ada...”

“Konsen, Sha. Dia nggak ada. Konsen. Pejamkan mata!”. Sharon menurut. Ia mencoba untuk fokus. Namun gendang telinganya menangkap sesuatu yang lain.

“Maafkan aku Sharon. Aku hanya ingin kamu menjadi milikku seorang. Aku salah. Aku cemburu. Tapi kini aku sadar kamu punya teman yang lebih baik dari aku. Selamat tinggal Sharon. Kuharap kau bahagia...”
Sharon membuka mata dengan cepat. Sosok Priti sudah tak ada di sana. Ia lenyap.

“Bagaimana?” tanya Kevin gusar.

“Sudah tak ada Vin. Lenyap.” Rasa lega berbaur dengan sedikit luka yang terbersit di hati Sharon. Kenyataan bahwa bertahun-tahun ia telah menjalani pertemanan dengan Priti membuat hatinya sakit tatkala kehilangannya.

“Priti temanku yang paling baik.” Tanpa sadar Sharon berucap. “Dia selalu ada ketika aku butuh dia. Dia benar-benar sosok teman idaman. Waktu kecil aku sering bermimpi punya teman seperti dia. Cantik, lembut, anggun, dan entah darimana ia muncul. Mungkin keinginan yang kuat untuk berteman dengan teman seperti itu yang membuat ia muncul di khayalanku secara nyata. Dan ia benar-benar memberikan segala kenyamanan seorang sahabat. Dia sahabat yang baik.”

“Memang, sahabat yang paling baik sangat melekat di hati kita. Walau itu imajinasi. Walau ia sekarang tak ada, tapi sebenarnya ia tetap ada.” Kevin menunjuk dadanya. “Di sini... Di hati kita. Tapi kita tak boleh berputar di masa lalu. Biarlah Priti menjadi salah satu kenangan terindahmu. Lagipula kau punya kita kan?”
Sharon mengukir senyum paling manis. “Makasih, Kevin.”

“Iya, Sha. Kan ada kita juga. Kau tak usah sedih lagi ya. Semangat!” timpal Mona sembari mengacungkan tinju ke udara. Senyum Sharon semakin lebar.
Priti, aku tahu kau hanya khayalanku. Khayalan yang muncul di saat aku sendiri. Sepi, terbunuh oleh perasaanku sendiri yang menginginkan kehadiran seorang teman. Tapi kau tetaplah kenangan terindah dalam hidupku. Kenangan dalam masa kesepianku.
Tapi Priti, kini aku tahu satu hal, bahwa aku tak sendirian lagi.... Walaupun begitu, aku tak akan pernah melupakanmu, karena kau merupakan anugrah terindah dalam hidupku.
Selamat Jalan Priti....

Oleh : anien-chan

11 Juni 2010

Seporsi Es Krim Stroberi

Krincing….

Lonceng pintu berbunyi saat seseorang membuka pintu. Pandanganku menoleh ke arah sana, menatap senang seorang pemuda berpakaian rapi yang baru masuk. Pemuda itu melihat sekelilingnya sejenak, sebelum kemudian menjatuhkan pandangannya di meja nomer lima- tempatku duduk. Dia tersenyum, melambaikan tangan.

Aku membalas lambaiannya sejenak, kemudian mengangkat tangan ke arah seorang pelayan sementara pemuda itu berjalan menuju mejaku.

“Halo, Cinta… apa kabarmu hari ini?” tanya pemuda itu sambil duduk. Tangannya yang usil menyentil pelan daguku, seperti kebiasannya selama ini.

Aku tersenyum, seperti biasa pula membalas dengan sebuah kerlingan setelah sentilan itu menjauh, “Seperti inilah, akhir bulan. Tutup buku, neraca saldo. Laporan keuangan…” aku tak meneruskan karena dia langsung melambaikan tangan, bosan.

“Bukan hal yang baru kurasa, tapi itu masih tetap membuatmu selalu cantik seperti ini,“ katanya sambil mengambil daftar menu dari seorang pelayan menghampiri meja kami. Sejenak ia meneliti menu itu, seperti yang sekarang aku lakukan.

“Bagaimana liburanmu, Say? Apa kau merindukanku?” tanyaku sambil memandangi gambar segelas es krim stroberi yang kelihatannya begitu menggiurkan.

Dia menggumam sesaat, “Soda diet ya, Mbak,” katanya pada sang pelayan.

“Diet? Mau kau apakan lagi patahan enam seksimu itu?” kelakarku, sambil berusaha menjauhkan minat dari es krim yang sepertinya lezat itu.

Dia meletakan menunya, “Aku selalu merindukanmu, Cinta,” balasnya, kuyakin senyumnya menggoda seperti biasa, “Uhmm.. seporsi es krim stroberi untuk Nona itu,” lanjutnya, membuatku mengangkat kepala.

“Hey.. aku juga mau diet, Say!” seruku, menolak pesanannya.
Ia melambaikan tangan, dengan pesona yang senantiasa menggoda, “Sesekali, melanggar itu hal yang wajar. Lagipula, mau kau apakan lagi gitar spanyolmu itu?” balasnya.

Aku, seperti biasanya tak akan bisa untuk tidak tersenyum jika dia sudah mengerling menggoda begitu. Aku meletakan daftar menuku, mengangkat bahu kepada pelayan, “Apa boleh buat, Mbak? Si Seksi ini sudah mematahkan dietku dan merangsang nafsu makanku dengan rayuannya,”

Pelayan itu tersenyum, setelah mengangguk dia memohon diri.

“Kau belum menjawabku, bagaimana dengan liburanmu?” tanyaku sambil mengetuk-ngetukkan kukuku yang runcing di meja.

“Uhmm.. menakjubkan,“ katanya sambil melonggarkan dasinya. Ia melepas jas kerjanya, “Aku menemukan sepatu cantik berwarna merah, seperti yang kau pakai itu, Cinta.” Jawabnya sambil menendang sepatuku pelan.

Aku balas menginjak kakinya, “Sepatuku bukan untuk ditendang, Say. Tapi untuk dicium.”

Ia menyampirkan jasnya di kursi sebelah, “Sesuatu itu mempunyai banyak sisi jika dilihat secara objektif, sama seperti seorang gadis cantik yang kutemui di Bali,” matanya berkilat-kilat saat menceritakan hal yang terakhir, membuatku cemberut.

Dia mengelus daguku mesra, “Ayolah Cinta, jangan cemburu begitu! Tak ada yang melebihi kecantikanmu sekarang, terlebih membayangkanmu tertelungkup di pasir pantai, dengan bikini yang terlepas di punggung, badan sedikit terangkat…” hayalannya semakin liar, aku bahkan sempat melihat jakunnya naik turun, “Ohhh.. kurasa aku bisa membayangkan gadis itu adalah dirimu, Cinta.”

Aku menimpuknya dengan sehelai tisu, jujur aku tak rela dia membayangkanku dengan pose seronok begitu. Aku tak suka, bukan tak suka tapi tak mau. Karena hayalan itu, hanya milikku pribadi.

“Sabar!” serunya sambil pura-pura cemberut, ia mengamati wajahku lekat. “Itu cuma selingan, seorang pria dewasa itu wajar jika punya selingan. Asalkan…”

“Asalkan apa?” tantangku,

Dia menarik sesuatu dari saku celananya dan meletakannya di atas meja. Sebuah kotak mungil berwarna cokelat mengkilat. Dengan sebelah tangan ia membuka kotak itu, sebuah cincin platina indah bermata hijau mempesona mataku.

“Asalkan.. cincin ini diterima di jari manis yang lentik, selingan itu hanya sekedar selingan,” katanya serius sambil memainkan kotak itu.

Aku tergoda, tak kuasa mencegah tanganku untuk menyentuhnya.

“Indahkah? Kamu suka?” tanyanya.

Aku tak bisa menahan lidah untuk berkata, “Oh.. hanya gadis buta yang akan mengatakan cincin ini sebagai bayangan gelap. Aku.. aku menyukainya….”

Dia tersenyum puas, “Jika kau menyukainya, kurasa Jelita juga menyukainya. Kalian mempunyai selera yang sama.” Katanya sambil kembali menarik jas. “Jadi.. kau saja yang memberikannya ke dia!”

Aku terkejut, memandang dia yang berdiri, “Aku? Kenapa selalu aku? Kau bisa memberikannya sendiri, kan?!”

Ia mengedikkan kepalanya pelan, “Aku terlalu biasa memberikannya lewat kurir,” kelakarnya sambil menaruh selembar seratus ribuan di atas meja, “Cinta, aku terlalu sibuk untuk menemanimu menghabiskan seporsi es krim stroberi, maaf.”

Aku melambaikan tangan enteng, “Sudah biasa seperti itu!”

Dia mengangguk, meninggalkan sebuah sebuah senyum yang mendebarkan sebelum berbalik dan pergi. Aku mengangkat tangan ke arahnya dan memanggilnya, “Saiful.. ingat ya, Jelita memang sahabatku, dan aku mak comblang yang hebat. Tapi kau lupa satu hal, mak comblang juga manusia penyuka perhiasan,”

Dia menoleh, “Soal itu gampang! Aku punya banyak stok untukmu, jika dia sudah menerimaku secara full time!” ujarnya sambil berlalu, membuatku menggeleng geli.

Krincingg…

Lonceng kembali berbunyi saat dia membuka pintu dan menghilang di baliknya. Aku tak melihatnya lagi, mataku terlanjur terpesona dengan cincin ini. Aku tergoda untuk mencobanya melihat di jemariku, tapi sebuah getaran terasa dari tasku.

HPku berbunyi, ketika kuambil muncul nama Jelita dilayarnya.

“Jelita sayang…” sapaku.

“Cin, apa tulisan di cincinnya?” Jelita langsung bertanya dengan semangat, “Dibawah kotaknya!”

Aku bergumam sebentar sambil membalik kotaknya.

WILL U MARRY ME?

“Og.. Lita… dia dia.. dia…” aku tak sanggup menahan bahagia.

“Apa?”

“Will U marry Me?”

Suara Jelita tak terdengar lagi, tapi aku tahu dia sedang tercekat, menahan bahagia sambil menitikkan air mata.

“Permisi, Mbak,” seorang pelayan menghampiriku, menaruh seporsi es krim seperti yang kulihat digambar tadi di mejaku. Segelas soda juga mampir, tapi akan teronggok diam begitu saja di sana.

“Terimakasih,”kataku sambil meletakan HP ditas, tak perduli Jelita nanti berteriak karena aku mengabaikannya, yang penting sekarang bagiku adalah es krim ini.

“Haa.. sebenar lagi akan ada satu pesta, “ kataku sambil menyuapnya, “Hmm.. selalu enak seperti ini.” Desahku, melayang.

MPK, 11-1-08, 10.39 AM


Oleh : Mocca_chi