Tampilkan postingan dengan label Cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cinta. Tampilkan semua postingan

09 Februari 2011

Love Is Crime


The Great Conqueror  Concubine, cakram film klasik Tiongkok yang disewanya hampir satu bulan yang lalu, tergeletak begitu saja didepan TV plasma kamarnya yang beraroma cendana. Tidak peduli berapa lama vcd itu berada dalam kamarnya, tidak peduli Joe bakalan mencak-mencak ketika bertemu dengannya untuk kesekian kalinya pada minggu ini.

“Sudahlah Joe, siapa sih, orang yang mau pinjam film itu lagi. Lagian kan , film itu sudah masuk kategori IV, tinggal menunggu waktu daur ulang saja diributin!” kilahnya, pada saat bertemu di sore harinya.

“Bon-bon sayang…..?”

“Hei, kuperingatkan ya, namaku Bonita, B-O-N-I-T-A! Ingat itu!” sergahnya dengan bermain-main.

“Iya, ya, tapi kamu perlu tahu, semua member disini pasti tahu segala peraturan peminjaman film disini. Karyawanku saja pasti aku tegur kalau telat mengembalikan pinjaman,” Joe menjelaskan. “Apa jadinya kalau mereka tahu, aku terlalu lunak kepadamu. Dan lagian, kenapa kamu tidak cari bahan lainnnya saja. Kenapa harus dari film?” Joe bersedekap sambil dagunya mengangguk-angguk kearah depan, seakan-akan mau menunjukkan peraturan peminjaman film yang tercetak dan tertempel di dinding kaca rental Joe’s, miliknya.

“Aku sudah terlanjur, dan lagi pula aku sudah pada bab yang tidak mungkin aku cabut lagi.” Bonita mengayunkan langkah, sambil ujung jemarinya mengelus badan cover dvd-dvd  yang tertata rapi di rak mika, seakan-akan jari-jari itu bisa memilihkan mana film yang layak dibawa pulang.

Joe sendiri sudah sibuk dengan mouse dan keyboard yang sebelum Bonita datang sudah dia hajar dengan jari-jarinya.

Dia sendirian malam itu, dua orang karyawatinya yang berjaga di shift malam, sama-sama meminta izin untuk menemani pacar masing-masing. Maklum, minggu keempat akhir bulan ini adalah long weekend. Bonita tahu akan hal itu, dan bukan kebetulan, karena ketika mereka sama-sama sepakat meminta izin cuti beberapa malam lalu, Bonita sempat mampir ke situ dan mendengar mereka berbicara dengan setengah berbisik.

“Pangeranmu kemana?” tanpa mengalihkan perhatian dari layar komputer.

“Ha, apa?” itu kebiasaan Bonita,meskipun sudah pasti mendengar. Hal itu kadang-kadang menjadi permasalahan ketika harus berbicara dalam suatu forum diskusi.

Joe memandangi dalam-dalam wajah Bonita, seakan-akan dia menjelaskan kalau dia malas untuk mengulang pertanyaan.

“Oh, dia. Katanya ada acara dengan klien,” jawab Bonita singkat.

“Hari ini, jam segini non!?” tanya Joe sambil mengalihkan pandangan kearah jam dinding satu-satunya yang ada di rental itu. 8.10 PM.

“Bukan acara resmi sich, cuma acara dinner,” jawab Bonita. “Itu yang aku tahu,” sambungnya.

Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Joe melayani dua orang pelanggan yang hampir setengah jam lalu mengitari seluruh rak-rak film. Bonita mengamati film-film baru yang tertata di rak new entry. Punggungnya terlihat dari tempat Joe, tampak naik turun, ketika gadis itu harus jongkok dan berdiri berulang-ulang didepan deretan cakram film.

Tiba-tiba tubuh gadis itu berdiri mematung,mengamati jalan raya di luar. Rak new entry memang diposisikan Joe bersandar pada dinding kaca. Sehingga pelanggan yang berdiri tepat di depannya bisa langsung melihat jalan raya. “Luck…! Ah, tidak mungkin. Cuma perasaanku saja dan penglihatanku saja yang salah,” gumam Bonita dalam hati. “Pasti”

Sebuah mobil jenis SUV berwarna hitam melaju tidak terlalu kencang, beberapa detik lalu. Mobil keluaran produsen Amerika itu jumplahnya pasti tidak bisa dihitung dengan jari manusia normal pada umumnya,apalagi ini kota metropolitan. “Tapi kenapa mobil tadi membuatku menjadi resah?”

“Bisakah kau menjemputku ditempat Joe sekarang, honey!?” kata-kata permintaan itu terucap begitu saja,tanpa menunggu ucapan hallo dari ponsel yang terhubung dengan ponselnya kini. Beberapa saat gadis itu terdiam, sudut matanya memicing. “Tidak yakin pasti pulang sampai jam berapa? tapi, tidakkah acara dinner mu itu cuma beberapa blok dari sini?” kembali gadis itu terdiam, tangan kanannya mencengkram erat ponsel yang ditempelkan di pelipis sebelah kanan, sambil sudut matanya tetap memicing. “Oh,ya sudah,kalau begitu. Tapi ingat! Jangan mabuk, Ok?”

“Perhatian sekali kamu non, memangnya sekarang dia ada dimana?” tiba-tiba Joe sudah berada hampir sejajar dengannya, dan dia kini sedang merapikan beberapa cakram film.

“Siapa?” Bonita memasukkan ponselnya kedalam tas DG yang tersampir di bahunya.

Joe mendongak dan memandang dalam-dalam kearah Bonita, sudah dua kali ini dia melakukannya, dan kali ini dia imbangi dengan sebuah senyuman.

“Dia dalam perjalanan ke Pub dan Resto di wilayah utara. Aku fikir dia cuma beberapa blok saja dari sini, makanya aku memintanya untuk mampir sekalian,” jawabnya.

“Untuk ikutan party sekalian?”

“Ah, tidak!” ucap Bonita singkat. Namun sebenarnya, fikirannya masih menerawang, mengingat sebuah mobil berwarna hitam yang baru saja lewat beberapa saat lalu.

“Kamu percaya sama alasan dia?” Joe memutar tubuh dan kembali ke meja kerjanya. “Ah, kelihatannya tidak tuh!?”

“Apa!?” Bonita mengernyit, tidak mengerti apa maksud ucapan Joe, namun  dilihatnya Joe sudah tenggelam separuh badan dibalik meja kerjanya.

***

Intensitas mereka bertemu memang berkurang akhir-akhir ini. Namun dengan persuasi yang baik, gadis itu bukan menjadi masalah, toh nostalgia kebersamaan mereka yang ia bangun secara halus dan intens, mampu meredakan kegusaran gadis itu. Kemampuan ini secara alami telah terasah lewat hari-harinya yang ia jalani di kantor. Meskipun sejak bersamanya, hampir tiga tahun ini, Bonita tidak lagi selugu  seperti pada awal-awal mereka menjalani hubungan ini.

“Wah, rasanya aku sanggup mengantarmu ke Solo setiap weekend, asalkan aku bisa menikmati gulai ceker ayam seminggu sekali,” ucapnya beberapa waktu lalu.

“Benarkah?” Bonita menanggapi dengan ekspresi senang, “Kukabulkan permintaanmu,” sambungnya.

“Yup!”

“Semester depan, aku sudah mengincar satu CV yang bergerak dalam industri batik etnik. Asalkan kamu masih setia, aku akan isi perutmu dengan ceker ayam,sampai kau pingsan, Ok?” Kata Bonita sambil mengerling.

Satu ciuman ia daratkan di pipi gadis itu, sebagai tanggapan atas guyonan ringan yang terjadi dilorong basement menuju tempat parkir mobil, di sebuah mall beberapa saat lalu sehabis nonton.

Itu adalah salah satu sekelumit kenangan yang masih terekam dibenaknya. Sekelumit kemampuan untuk menutup fakta yang ada,menutup gejolak jiwa yang akhirnya muncul secara alami dan meledak. Bisa dibilang begitu, setelah pesta gila yang terjadi beberapa minggu sesudahnya.

Dari puluhan “gentlement” yang hadir, hatinya tersedot oleh pesona cool dan kerlingan penuh arti dari pemuda semi mongoloid. Jefry, begitu pemuda itu mengaku, mahasiswa salah satu PTS terkenal, yang sama-sama menjadi new comers  pada saat pesta itu.

Kalau kebersamaannya bersama Bonita, adalah kamuflase yang sempurna yang ia ciptakan, intensitasnya bersama Jefry adalah panggilan jiwa. Harus ia akui itu, seperti malam ini.

***

Fikirannya terus berperang, antara sikap gentlement dengan sikap pengecut yang menohok dari sisi belakang. Semula angan-angannya membubung tinggi, ketika harapannya terbuka walau cuma sekian persen, sedangkan persentase yang lebih besar, telah ditunjukkan Bonita dengan sikap yang tetap care terhadap Lucky. Namun dalam beberapa pertemuan terakhir ini, secara tak terduga telah mengobarkan api kompetitor ke titik yang lebih membara, meskipun harus diakui cara-cara ini tidaklah fair untuk pria-pria yang seharusnya mengagungkan nilai sportifitas. “Tapi, ah, peduli amat!”

“Kamu tidak keberatan kan , kalau suatu saat aku membutuhkan bantuanmu, lebih dari apa yang telah kau perbuat selama ini?” dengan bersuara sedikit serak dan kalimat yang lebih pas untuk theatrical, Bonita memohon sesaat tadi.

“Apa itu?”

***

Kurang dari setengah jam, dari waktu biasanya, Joe menutup rentalnya secara “suka rela”. Dan tidak lebih dari lima belas menit, mereka berdua sudah berada didalam city car milik Bonita. Tidak ada yang memulai pembicaraan, ketika mereka melaju sedang  ke wilayah timur kota . Di pinggiran pantai, tempat maniak adrenalin bermedia kecepatan biasanya berkumpul.

“Enak juga mobil ini, apalagi di dapat secara cuma-cuma .tunanganmu hebat sekali nona”, fikir Joe. Joe tahu, mobil ini dibeli Bonita  dengan uang kurang dari lima puluh persen, dari yang seharusnya Bonita keluarkan.

Tak lama kemudian mereka telah puas mengobrak-abrik tiap sudut sirkuit dengan hasil yang nihil.

“Kita bisa mengisi bahan bakar dulu kan ?” Joe meminta, sambil menepuk-nepuk lambungnya.

“Di warteg saja!” tampaknya kalimat “kita” yang diucapkan Joe tepat pada waktunya.

11.12 PM, jam digital di dashboard menunjukkan waktu, dimana jalan-jalan protokol biasanya masih cukup padat. Namun paling tidak untuk malam ini, tiba-tiba berubah agak lengang. Pada saat-saat long weekend seperti ini, biasanya warga lokal bersuka cita akan kelonggaran “urat nadi” transportasi yang setiap hari dipenuhi warga pendatang yang mengais rejeki di salah satu kota terpadat di negeri ini.

Meskipun Joe memiliki license mengemudi, sebenarnya belum tentu sebulan sekali ia memegang kemudi bundar. License itu ia dapatkan, ketika liburan menjelang hari raya tahun kemarin, pada saat membantu pamannya yang terkenal sebagai juragan beras di kampung halamanya. Dan atas kebaikan pamannya itu jugalah, Joe bisa menyewa ruko sederhana dan membuka rental DVD, sekaligus membiayai kuliahnya sendiri.

Karena bisa dibilang langka, maka Joe memanfaatkan kesempatan yang ada ini untuk mengemudikan mobil keluaran terbaru ini dengan santainya. Gigi rendah, 50 km/jam. Si pemilik pun tampaknya tidak protes dengan cara Joe mengemudikan mobil, yang bisa dibilang masih lebih cepat anak belasan tahun yang sedang belajar mengemudikan mobil. Malahan, Bonita merendahkan tempat duduknya yang berwarna peach itu,  sambil mendengarkan denting piano Maxim yang di putar salah satu channel radio.

Pada saat itu, sebuah konvoi kecil sepeda motor, meraung dan menyalip mobil yang ditumpangi mereka berdua. Dilihat dari bendera yang dibawa oleh salah satu peserta konvoi, tampaknya mereka para bikers yang bernaung pada salah satu bengkel motor terkenal yang disponsori oleh perusahaan rokok. Beberapa saat kemudian, konvoi kecil itu menghilang di tikungan yang berjarak kurang lebih 300 m, dari mobil yang Joe kemudikan kini. Dan Bonita pun, sekarang malah memejamkan matanya. Late Dinner Music still go on.

***

Brak!

Mana yang lebih cepat, benturan itu, atau sebatang Marlboro membara yang meloncat ke sela-sela pahanya. Yang pasti Lucky buru-buru menjentikkan jari tengah dan ibu jarinya untuk mengusir sisa batang rokok yang seharusnya tidak akan membuat jok burgundy nya terlalu buruk.

“Oh, my God, my God!” perkataan itu berulang-ulang, seperti rentetan petasan Imlek dan keluar dari bibir pemuda di samping Lucky. Perhatiannya mengarah ke kerumunan orang-orang bersepeda motor yang kini sudah setengah lingkaran mengelilingi mobil yang mereka tumpangi.

Kekerasan adalah hal terburuk yang memungkinan terjadi pada saat itu, mereka berdua benar-benar seperti dua ekor tikus yang terjebak di dalam kaleng bekas, sementara itu dari segala arah, beberapa ekor kucing siap memangsa. Jefry tidak terfikir sedikit pun untuk bersinggungan dengan yang namanya kekerasan fisik, membayangkannya saja tidak pernah.

Hampir semua bikers itu telah mencopot helm masing-masing, dan beberapa dari mereka mulai merapat di sisi kiri dan kanan mobil SUV yang Lucky kemudikan.

Jefry berpaling ke arah Lucky, namun sepertinya Lucky tidak peduli atas kekhawatirannya. Kepalanya ia benturkan-benturkan di headrest.

“Cih, sialan!”

***

 “Oh Tuhan, apa aku tidak salah lihat!”

Joe menoleh, ia kira Bonita sudah tertidur. Tubuh gadis yang diam-diam ditaksirnya itu, langsung tegak dan dengan segera dia mengembalikan tempat duduknya keposisi normal. Joe segera melihat kea rah jam dua, di lihatnya sekerumunan pria dengan kuda besi masing-masing mengerumuni sebuah mobil berwarna hitam. Joe sebenarnya sudah tahu sebelum Bonita berteriak, namun ia berfikir ada insiden tabrakan yang seharusnya bukan menjadi urusan mereka berdua. “Tidak salah lagi, mereka para bikers tadi, dan…?”

“Kita menepi Joe!” Bonita membuka jendela di sisi kirinya, dan memberi kode kearah seorang pedagang kaki lima yang membawa rombongnya untuk lewat dari sisi kanan mobil yang ditumpanginya. “Joe!”

“Iya, iya, ini sudah menepi,” Joe yang telat menyalakan lampu sen kiri, segera membanting setir.

Bonita segera melompat keluar, sebelum mobil belum benar-benar berhenti.

Joe segera memotong jalan dan segera berpindah lajur jalan,  ketika Bonita sudah mencapai separuh badan jalan. Malam itu, dua ruas jalan itu benar-benar di bawah normal, hanya beberapa kendaraan saja yang lewat dalam rentang satu menit. Sungguh aneh, fikir Joe, dalam keadaan jalan sesepi ini bisa terjadi tubrukan, meskipun itu bisa dibilang insiden yang sangat kecil, karena Joe kini sudah melihat body kiri tepat dibelakang roda belakang mobil Lucky yang penyok.

“Lucky!”

“Nita, tunggulah di tepi, kami semua mau menepi!”, Lucky segera membuka mobil dari pintu depan sebelah kiri, mengambil sweather berwarna coklat susu dan dengan segera menyerahkannya ke Bonita sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut dengan sebelah tangan. “Kamu sama Joe? dari mana saja?”

“ Kamu mabuk ya?” Bonita menerima sweather itu, namun ia tidak segera memakainya.

Entah mendengar atau tidak, Lucky buru-buru masuk ke mobilnya dan menepikan kendaraan itu. Kini sebuah mobil produk USA , dan dua belas sepeda motor bermerk sama namun berbeda jenis sudah menepi, yang sebelumnya bergerombol di dekat portal pembatas jalan dua arah tersebut.

Joe yang mengurungkan niatnya untuk menyusul Bonita ditengah kerumunan tadi, kini bersandar pada kap mobil yang tadi dikemudikannya. Sementara itu tidak jauh dari tempatnya sepasang kekasih sedang beradu argument.

“Maaf ini nama saya,” tiba-tiba pria yang baru saja menjadi “korban” Lucky menyela perdebatan keduanya.

Lucky memperhatikan tanda pengenal itu, seorang anggota Brimob dari Mapolda. “Ya, saya mengerti, kita damai kan ?” sambil menyerahkan tanda pengenal itu, “Berapa kira-kira?” lanjutnya dan melirik sepeda motor jenis touring yang sayap depannya pecah dan handle rem yang bengkok.

“Sayap depan terdiri dari dua bagian, jadi kalau yang rusak separuh, kita tidak mungkin membeli satu bagian kan ?, dan handle rem depan!”, pria itu diam sesaat, “ Itu belum termasuk tangan saya, jadi mungkin…..?”

“Jadi anda minta berapa?” tampak nya Lucky sudah kurang sabar.

Pertanyaan bernada tinggi itu terasa tidak enak di telinga siapa pun yang mendengarnya. Dan sebelum anggota Brimob itu mendekat, Bonita yang tadi hanya mendengar negosiasi itu mencoba menengahi keadaan.

“Ok, ok, Lucky kamu bisa merendahkan suaramu sedikit khan?”

Lucky seperti mau protes ketika Bonita menyampirkan sweather yang tadi ia pinjamkan, ke pundak kirinya, namun Bonita sudah selangkah di depannya untuk menghadapi pria itu.

“Maaf, Mas, anda tahu kan kondisi teman saya?” diliriknya sekilas orang yang dimaksudkan itu, yang tak lain adalah tunangannya sendiri “Ok, memang teman saya yang salah, karena berkendara pada kondisi agak mabuk. Sekali lagi saya minta maaf,” imbuhnya.

“Nita!? aku masih normal, ehm…., maksudku, aku hanya minum beberapa gelas saja, tidak lebih. Tidak separah yang kau fikirkan!”

“Tapi Lucky…?”

“Maaf, mungkin saya yang salah. Apa segini sudah cukup?”, kini mereka membentuk segi empat, dengan Jefry sebagai orang terakhir yang melengkapi. “Saya kira sudah!?”

Ketiga orang itu menatap dalam-dalam kearah Jefry, dengan ekspresi yang tidak terdeteksi satu sama lain. Untuk sesaat semuanya menjadi terdiam.

Biker itu menoleh ke kiri empat puluh lima derajad, “Ok, aku terima. Tapi bukan kau yang mengemudikan mobil itu kan? jadi tidak usah pucat seperti itu.” Kemudian ia mengcungkan jempol kearah Jefry, dan berlalu.

Tak lama kemudian kedua belas sepeda motor itu menderu dan berlalu.

“Mereka semua apa sama-sama anggota kepolisian ya?” tanya Bonita sambil menyikut lengan Lucky.

“Ehm, mungkin!?” jawabnya sambil melirik Jefry.

***

Kalau siang hari, kota ini sangat panas dengan suhu bisa mencapai 40 derajad, dan pada bulan inilah pergantian musim terjadi, dari musim penghujan ke musim kemarau. Sebaliknya pada malam hari, udara dinginnya membuat kulit merinding, tipe hawa yang bisa berakibat buruk bagi kesehatan.

Bonita sudah bersin untuk yang kesekian kalinya, dan Lucky untuk kesekian kali pula memperingatkan untuk memakai sweather kepunyaannya, sweather hadiah ulang tahunnya dari Bonita. Namun gadis yang membelikannya itu tidak kalah ngotot menolaknya, yang terakhir ini alasanya terlalu kedodoran untuk dipakainya.

“Sorry, aku habiskan.”

Bonita hanya diam dan menunggu tegukan terakhir dari botol air mineral yang beradu bibir dengan Lucky.

“Kenapa….?” keduanya berbarengan, kemudian saling bertatapan. Kini, mereka berdua berada dalam satu mobil di mobil Bonita yang terparkir, dan sama-sama berada di sisi tempat duduk deret kedua, Lucky di ujung kiri, Bonita di ujung kanan. Ada space secara harfiah diantara mereka, mungkin secara psikologi juga.

“Bersama Joe, baru shopping?”

“Kau cemburu?”

“Tidak?! aku tahu kapasitas Joe”, sambil melempar bekas botol air mineral ketempat sampah yang berjarak kurang dari 5 meter, meleset.

“Ya, memang bukan itu yang harus dibahas,” Bonita menimpali.

Lucky memandangi lurus kearah Joe dan Jefry yang tampaknya membahas soal benturan di body mobilnya tadi. Mereka berdua sama-sama sibuk menghisap filter rokok dan duduk di moncong mobil SUV nya yang terparkir setengah menyerong. “Tidak! aku masih lebih keren dari pada Joe”

“Aku cuma heran Luck! aku sudah cukup lama mengenalmu. Bahkan kini….?” Bonita terdiam sebentar, ia merapikan rambutnya yang tertiup angin dari samping dengan cara menyisirnya memakai jari-jari tangan kirinya. Ada cincin yang melingkar di jari manisnya, dan sepertinya ia memang bermaksud tertentu dengan aksi seperti itu. “Untuk orang sedisiplin kau, memintaku untuk menelefon dan membangunkanmu setiap pagi ini sungguh aneh”

“Hei, bukankah kita bertunangan, bukankah kita harus saling mendukung untuk berbagai hal,” Lucky menggeser posisi duduknya, “Sayang? kau tidak ingin kan, kalau aku telat masuk kantor”

“Tapi ini sudah sebulan lebih Luck! aku tahu kau bukan tipe orang pemalas, tapi akhir-akhir ini….?” Bonita memandang kearah Lucky dengan wajah seperti akan menangis, “Aku takut kalau-kalau kau….?

“Kalau-kalau apa, cepat teruskan”

Mereka berdua sama-sama terdiam dan saling memandang. Lucky tidak bisa berkata apa-apa, dan menunggu kelanjutan kalimat dari Bonita, yang pasti pula, efek alkohol masih bersarang di ubun-ubun kepalanya. Bonita sendiri masih tidak percaya kalau baru saja ia hampir mengucapkan kata-kata yang 180 derajad bertolak belakang dari kenyataan yang diketahuinya tentang tunanggannya ini.

***

“Kita putar balik atau….?”

“Biarkan mereka pergi dulu Joe!”

Kini Joe sudah kembali berada di depan kemudi mobil Bonita, dan Bonita sendiri, sedang memandangi mobil hitam yang ditumpangi tunangannya beserta teman prianya yang menurutnya agak misterius dan aneh. Mobil itu dengan pelan merangkak menaiki jalan beraspal, dan dua kali bunyi klakson terdengar seperti mewakili ucapan “sampai jumpa” ketika keempat roda mobil itu semuanya telah menapak aspal.

“Aku memang minum sayang, ya seperti malam ini, tapi tidak narkoba, percayalah, sedikitpun aku belum pernah menyentuh barang haram itu. Bahkan seingatku, aku tidak pernah melihat wujud asli barang-barang itu, tepat di depan mataku ,tapi kalau minum sih, jarang-jarang, kamu tahu sendiri kan? Dan lagi pula, kamu seperti tidak pernah minum saja. Eh, sorry lho kalau kata-kataku…?”

“Ya, kita memang pernah mabuk bersama Luck! Dan aku masih ingat, kapan itu, dan…….., dan aku tidak mau mengulangi hal konyol itu lagi”

“Why?”

“Why, kau sudah tahu kan, seisi kontrakkan menertawakanku. Belum lagi aku harus membersihkan lantai depan kontrakkan sesudahnya”

“Tapi, aku suka melihatmu pada saat mabuk, kau tampak seksi sekali. Tambah cantik”

“Jangan memaksakan pujian, pokoknya aku tidak mau teler lagi, titik. Kau juga jangan terlalu over kalau minum, lihat akibatnya tadi, untung mereka masih bisa sabar, coba jika sampai terjadi pengeroyokan”

“Ok, ok, honey, sorry ya, kepalaku berat banget, aku butuh istirahat, boleh aku sekarang…..”

“Ya pulanglah, kalau kau tidak kuat menyetir, jangan memaksakan diri, biar temanmu itu yang menyetir, cuma……?”

“Ya, apa?”

“Aku tidak suka teman priamu itu!”

“Hei, hei, perutku sudah tidak bisa ditolerir lagi nona, jadi tidak mentraktirku?”

Ucapan Joe seperti seember air dingin yang mengguyur lamunannya, “Siapa mentraktir siapa? bayar sendiri-sendiri!”

Joe hanya nyengir mendengar perkataan bernada canda itu, ia pun menghidupkan mesin mobil dan berputar balik di tempat terjadinya tubrukan tadi. “Aku ngeri melihat tatapan pria itu”

“Memang dia dari kesatuan Brimob. Mungkin semua teman-temannya pun, orang-orang militer,” Bonita menanggapi.

“Namanya Jefry begitu dia mengenalkan diri”

“Kapan kamu berbicara dengan dia, perasaan kamu tidak jauh-jauh dari mobil ini tadi”, tanya Bonita, heran.

Joe menatap Bonita sambil memicingkan sudut matanya, sambil terus mengawasi lalu lintas di depannya yang bertambah sepi.

Bonita tiba-tiba berucap, “Eh, namanya kalau tidak salah Rus…., Rustam, ya, Rustam. Kalau Jefry……, kau ini membicarakan siapa sih?”

“Aku membicarakan Jefry, temannya Lucky tadi!” jawab Joe.

“Ooooh, aku kira….?” Bonita diam sebentar, sebenarnya ia enggan membicarakan tentang pemuda berwajah Chinese yang bersama tunangannya tadi.

“Mereka berteman sudah lama?”

“Tentang Jefry tadi? malahan aku baru tahu kalau namanya Jefry”

“Eh?” sekarang ganti Joe yang bingung. “Kamu ini, gimana sih, teman tunanganmu sendiri tidak tahu?”

“Lucky itu orangnya workoholic tahu? waktunya banyak dihabiskan di tempat kerja, jikapun ada waktu luang, dia habiskan bersamaku saja, tidak pernah rame-rame,” balas Bonita. “Bahkan di sirkuit yang kita datangi tadi, ia sering mengajakku. Dulu sih pernah bersama teman sekantornya, tapi itu pun mereka berpasangan, berempat dengan aku dan Lucky, pendek kata, jujur saja ia tidak telalu punya banyak teman di luar tempat kerja,” imbuhnya.

“Mungkin Jefry teman yang dikenal Lucky di pub kali?” Joe menimpali.

“Mungkin?” sahut Bonita singkat, namun “Sebentar-sebentar, kamu tadi bilang apa? si Jefry membuatmu ngeri, maksudmu apa sih?”

Joe tampaknya ragu-ragu, namun akhirnya dengan pelan ia berkata, “Kamu pernah bilang kan, kalau, akhir-akhir ini Lucky bisa dikatakan kedisiplinannya berkurang!”

Bonita mengangguk, namun ia tidak bisa menyembunyikan rasa keingin tahunya lebih lanjut, dan hanya menunggu kalimat lanjutan itu setelah mobil yang dikendarai mereka berhenti di perempatan lampu merah.

“Sorry sebelumnya. Apa aku salah kalau berfikir soal narkoba?” akhirnya dugaan itu muncul juga.

Bonita menyandarkan kembali tubuhnya, “Jangan sampai itu terjadi.” Mobil itu berjalan kembali, ia pun berkata “Dia tampak serius meyakinkan aku soal itu, ehm…, maksudku, dia tidak berhubungan dengan barang-barang seperti itu. Dan aku percaya, karena aku tahu benar Lucky, merokok pun jarang, juga alcohol, kecuali tadi, mungkin dia lagi pas sial soal tabrakan kecil tadi”

Joe membiarkan suasana hening untuk beberapa saat, dan tidak langsung menanggapi penjelasan dari Bonita. Ia berharap ada kelanjutannya.

Akhirnya Bonita melanjutkan ucapannya “Tapi, sepertinya Lucky mau menutup-nutupi sesuatu, kau tahu?”

“Heh?”

“Lucky, tidak pernah melepaskan pandangan ke kalian sewaktu kau dan Jefry mengobrol di moncong mobil ini tadi! Dan lagi, si Jefry itu menatapku dengan pandangan sinis, belum lagi gerak-geriknya yang sangat aneh. Dia, Jefry, menatapku begitu tajam ketika Lucky tidak berhadapan langsung dengannya” Bonita menatapnya Joe sambil mengangkat bahu.

Akhirnya, Joe tidak kuasa menahan kata-kata yang ia pendam, “Kau tahu, sewaktu mengobrol di kap mobil tadi….” Joe mendesis seperti orang yang sedang menahan hawa dingin, “Tatapan matanya, seperti mau menelanjangiku!” sambil menunduk, dan menatap sebentar kedua belah pahanya. Kemudian menoleh ke arah Bonita sambil menyeringai.

Beberapa saat, Bonita menatap Joe dalam-dalam yang mengemudi tetap pelan dan tengah menikmati suara ceriwis penyiar radio yang pernah menjadi finalis Miss Earth beberapa tahun lalu.

“Stop Joe!” tiba-tiba suara Bonita memecah.

“What?”

“Stop, kita menepi sebentar!”

Joe membanting setir ke kiri dan mobil itu pun turun ke tepi jalan. Dilihatnya, Bonita sudah menempelkan ponsel kedekat pelipisnya sendiri.

***

Seandainya saja ia tidak terlalu banyak menenggak alkohol, seandainya saja tabarakan kecil itu tidak terjadi,mungkin Bonita tidak akan menemukanya. Dan ia masih punya kesempatan untuk menentukan jalan keluar dari lingkaran setan ini. Namun sekarang ia merasa sudah tidak punya waktu lagi untuk menimbang-nimbang, apa lagi pemuda yang membuat hatinya tergetar, yang ada disebelahnya ini, seperti benar-benar tidak memberi kesempatan untuk berfikir lagi. Harus segera di putuskan, “Ya, segera”

Keheningan membekukan suasana yang semula pecah, ketika mereka beradu argument sebelumnya. Tidak ada yang memulai berbicara untuk beberapa saat. Kini mereka berhenti di sebuah sudut taman kota yang tercahaya remang-remang oleh lampu  taman bermozaik yang berada di tengah-tengah taman.

Jefry masih membuang muka keluar jendela, ekspresi wajahnya seperti seseorang yang baru patah hati. “Kapan kau akan memutuskan?” ucapnya lirih, bahkan nyaris tidak terdengar.

“Setelah ia mengembalikan sweather itu nanti”

 “Kau yakin secepat itu, atau aku yang akan……, pergi!”

“Jangan Jef, please!?” Lucky mencoba meraih tangan Jefry namun pemuda itu menghindarinya. Lucky mengalah, baginya ia harus memberikan pembuktian dari pada janji-janji. Jefry mengira kalau ia berbohong, memang kepada Bonita dan mungkin kapada semua orang yang berperilaku normal yang ada disekitarnya. Tapi, kepada Jefry ia tidak bisa menutup-nutupi, apalagi pemuda yang dikenalnya ini ternyata sefaham dengannya, dan ada chemistry pula. “Persetan dengan yang namanya normal atau pun yang tidak normal, aku hanya ingin hidup jujur dan aku tidak bisa berbohong terus menerus. Oh Tuhan kuatkan hatiku, kalau ini memang jalanku”

 “Kau tahu, buat orang seperti kita Luck, kejujuran itu sangat penting, dan kau telah bertunangan. Aku benar-benar tidak mengira kalau cincin itu….?”

“Cincin ini!” Lucky melolos cincin yang melingkar di jari manisnya dan meletakkan secara asal di dashboard mobil. “Sekarang aku kuat bersamamu Jef, please, kau tahukan bagaimana ekspresi dan perasaanku selama ini,” ia mencoba merapat kembali, kali ini tidak ada penolakan.

Hanya tongkat transmisi yang menghalangi mereka, dan ketika wajah mereka  hampir merapat dengan intim, cahaya di belakang kendaraan yang mereka tumpangi menerobos masuk.

Ketika mereka menoleh, terlihat Bonita sudah menempatkan mobilnya kurang dari lima meter dibelakang mereka. Tanpa mematikan mesin dan lampu dia menghambur keluar.

Lucky bersiap-siap menyambut gadis yang sebentar lagi akan menjadi “mantan” tunangannya itu, namun ia tidak menyangka, Bonita malah menghampiri mobilnya dari sisi kiri.

Jefry dengan terpaksa membuka jendela, Bonita terlihat tersenyum, senyum yang menurut Lucky sangat aneh yang belum pernah dilihatnya selama ini. “Hai Luck, hai juga,” sambil menyapa Jefry. Jefry hanya menunduk dan tersenyum gatir.

“Nita, kau tidak perlu repot-repot mengembalikan sweather itu sekarang. Dan bukannya kau lagi sedang flu?” Lucky berbasa-basi.

“Siapa yang flu? malahan bisa dibilang aku lagi hot!”

Lucky dan Jefry saling memandang heran.

“Undangan yang kita sebar masih kurang Luck!”

“Apa, undangan?” Lucky  terhenyak.

“Ya, pernikahan kita, tapi tidak banyak kok, cuma kurang satu, untuk teman kita yang satu ini. Maaf, siapa nama anda, anda pasti sudah tahu kan nama ku dari Lucky?” Bonita menyodorkan tangannya, namun tidak mendapatkan sambutan dari Jefry.

Lucky hanya bisa menelan ludah, “Ia sudah tahu”

“Aku mau keluar. Aku mau mencari taksi!” Jefry buru-buru keluar dari mobil dan dengan reflek Bonita menghindari kibasan daun pintu.

“Jef, tunggu! Nita apa maksudmu?” Lucky dengan cepat keluar dari mobil.

“Asbun!”

“Apa?”

“Asbun Luck! asal bunyi Luck! mas Jefry, anda jangan pergi dulu!”

“Jef!” Lucky hampir mengejar, namun tatapan Bonita menghentikan langkahnya. Ia bingung mengambil keputusan dan hanya menggigit batang telunjuknya.

“Kejar dia! dan ini sudah berakhir,” Bonita melemparkan sesuatu yang berkilat kearah Lucky. Tepat mengenai dadanya dan jatuh ke tanah. “Kau aktor hebat Luck, kau pantas mendapat Pulitzer” 

Kalau situasinya tidak sedramatis ini, Lucky mungkin akan tertawa mendengar Bonita salah dalam menyebutkan nama penghargaan itu. Ia memungut cincin yang terjatuh itu, dan matanya mulai kabur. Sungguh, baru pertama kali ini ia menyakiti gadis itu, yang pertama dan yang paling telak.

“Kejar dia, dan ikuti nalurimu!” Bonita berkacak pinggang, pose yang sebenarnya untuk menutupi kerapuhannya, tubuhnya gemetar. Kalau saja bayang-bayang dedaunan yang berdiri dibelakangnya tidak meng hambat cahaya dan Joe tidak mematikan mesin mobil, tentunya butir-butir air matanya akan terlihat oleh Lucky. “Seandainya saja aku sadar bahwa, kau terlalu sopan Luck!”

***

From : +6285xxxxxxxxx
Good job, ku transfer, plng lmbt, lusa. Ok
J one

***

From : +6231xxxxxxx
Thanks, sbnrnya ku benr2 suka sm L, qta
tak usah ktmu lg.ok.slmt u uda bisa sama
B, bye. J two


S E L E S A I



                                                                                          Surabaya, July 2008
Oleh : Harun “Aaron” Setiawan

11 Juni 2010

Seporsi Es Krim Stroberi

Krincing….

Lonceng pintu berbunyi saat seseorang membuka pintu. Pandanganku menoleh ke arah sana, menatap senang seorang pemuda berpakaian rapi yang baru masuk. Pemuda itu melihat sekelilingnya sejenak, sebelum kemudian menjatuhkan pandangannya di meja nomer lima- tempatku duduk. Dia tersenyum, melambaikan tangan.

Aku membalas lambaiannya sejenak, kemudian mengangkat tangan ke arah seorang pelayan sementara pemuda itu berjalan menuju mejaku.

“Halo, Cinta… apa kabarmu hari ini?” tanya pemuda itu sambil duduk. Tangannya yang usil menyentil pelan daguku, seperti kebiasannya selama ini.

Aku tersenyum, seperti biasa pula membalas dengan sebuah kerlingan setelah sentilan itu menjauh, “Seperti inilah, akhir bulan. Tutup buku, neraca saldo. Laporan keuangan…” aku tak meneruskan karena dia langsung melambaikan tangan, bosan.

“Bukan hal yang baru kurasa, tapi itu masih tetap membuatmu selalu cantik seperti ini,“ katanya sambil mengambil daftar menu dari seorang pelayan menghampiri meja kami. Sejenak ia meneliti menu itu, seperti yang sekarang aku lakukan.

“Bagaimana liburanmu, Say? Apa kau merindukanku?” tanyaku sambil memandangi gambar segelas es krim stroberi yang kelihatannya begitu menggiurkan.

Dia menggumam sesaat, “Soda diet ya, Mbak,” katanya pada sang pelayan.

“Diet? Mau kau apakan lagi patahan enam seksimu itu?” kelakarku, sambil berusaha menjauhkan minat dari es krim yang sepertinya lezat itu.

Dia meletakan menunya, “Aku selalu merindukanmu, Cinta,” balasnya, kuyakin senyumnya menggoda seperti biasa, “Uhmm.. seporsi es krim stroberi untuk Nona itu,” lanjutnya, membuatku mengangkat kepala.

“Hey.. aku juga mau diet, Say!” seruku, menolak pesanannya.
Ia melambaikan tangan, dengan pesona yang senantiasa menggoda, “Sesekali, melanggar itu hal yang wajar. Lagipula, mau kau apakan lagi gitar spanyolmu itu?” balasnya.

Aku, seperti biasanya tak akan bisa untuk tidak tersenyum jika dia sudah mengerling menggoda begitu. Aku meletakan daftar menuku, mengangkat bahu kepada pelayan, “Apa boleh buat, Mbak? Si Seksi ini sudah mematahkan dietku dan merangsang nafsu makanku dengan rayuannya,”

Pelayan itu tersenyum, setelah mengangguk dia memohon diri.

“Kau belum menjawabku, bagaimana dengan liburanmu?” tanyaku sambil mengetuk-ngetukkan kukuku yang runcing di meja.

“Uhmm.. menakjubkan,“ katanya sambil melonggarkan dasinya. Ia melepas jas kerjanya, “Aku menemukan sepatu cantik berwarna merah, seperti yang kau pakai itu, Cinta.” Jawabnya sambil menendang sepatuku pelan.

Aku balas menginjak kakinya, “Sepatuku bukan untuk ditendang, Say. Tapi untuk dicium.”

Ia menyampirkan jasnya di kursi sebelah, “Sesuatu itu mempunyai banyak sisi jika dilihat secara objektif, sama seperti seorang gadis cantik yang kutemui di Bali,” matanya berkilat-kilat saat menceritakan hal yang terakhir, membuatku cemberut.

Dia mengelus daguku mesra, “Ayolah Cinta, jangan cemburu begitu! Tak ada yang melebihi kecantikanmu sekarang, terlebih membayangkanmu tertelungkup di pasir pantai, dengan bikini yang terlepas di punggung, badan sedikit terangkat…” hayalannya semakin liar, aku bahkan sempat melihat jakunnya naik turun, “Ohhh.. kurasa aku bisa membayangkan gadis itu adalah dirimu, Cinta.”

Aku menimpuknya dengan sehelai tisu, jujur aku tak rela dia membayangkanku dengan pose seronok begitu. Aku tak suka, bukan tak suka tapi tak mau. Karena hayalan itu, hanya milikku pribadi.

“Sabar!” serunya sambil pura-pura cemberut, ia mengamati wajahku lekat. “Itu cuma selingan, seorang pria dewasa itu wajar jika punya selingan. Asalkan…”

“Asalkan apa?” tantangku,

Dia menarik sesuatu dari saku celananya dan meletakannya di atas meja. Sebuah kotak mungil berwarna cokelat mengkilat. Dengan sebelah tangan ia membuka kotak itu, sebuah cincin platina indah bermata hijau mempesona mataku.

“Asalkan.. cincin ini diterima di jari manis yang lentik, selingan itu hanya sekedar selingan,” katanya serius sambil memainkan kotak itu.

Aku tergoda, tak kuasa mencegah tanganku untuk menyentuhnya.

“Indahkah? Kamu suka?” tanyanya.

Aku tak bisa menahan lidah untuk berkata, “Oh.. hanya gadis buta yang akan mengatakan cincin ini sebagai bayangan gelap. Aku.. aku menyukainya….”

Dia tersenyum puas, “Jika kau menyukainya, kurasa Jelita juga menyukainya. Kalian mempunyai selera yang sama.” Katanya sambil kembali menarik jas. “Jadi.. kau saja yang memberikannya ke dia!”

Aku terkejut, memandang dia yang berdiri, “Aku? Kenapa selalu aku? Kau bisa memberikannya sendiri, kan?!”

Ia mengedikkan kepalanya pelan, “Aku terlalu biasa memberikannya lewat kurir,” kelakarnya sambil menaruh selembar seratus ribuan di atas meja, “Cinta, aku terlalu sibuk untuk menemanimu menghabiskan seporsi es krim stroberi, maaf.”

Aku melambaikan tangan enteng, “Sudah biasa seperti itu!”

Dia mengangguk, meninggalkan sebuah sebuah senyum yang mendebarkan sebelum berbalik dan pergi. Aku mengangkat tangan ke arahnya dan memanggilnya, “Saiful.. ingat ya, Jelita memang sahabatku, dan aku mak comblang yang hebat. Tapi kau lupa satu hal, mak comblang juga manusia penyuka perhiasan,”

Dia menoleh, “Soal itu gampang! Aku punya banyak stok untukmu, jika dia sudah menerimaku secara full time!” ujarnya sambil berlalu, membuatku menggeleng geli.

Krincingg…

Lonceng kembali berbunyi saat dia membuka pintu dan menghilang di baliknya. Aku tak melihatnya lagi, mataku terlanjur terpesona dengan cincin ini. Aku tergoda untuk mencobanya melihat di jemariku, tapi sebuah getaran terasa dari tasku.

HPku berbunyi, ketika kuambil muncul nama Jelita dilayarnya.

“Jelita sayang…” sapaku.

“Cin, apa tulisan di cincinnya?” Jelita langsung bertanya dengan semangat, “Dibawah kotaknya!”

Aku bergumam sebentar sambil membalik kotaknya.

WILL U MARRY ME?

“Og.. Lita… dia dia.. dia…” aku tak sanggup menahan bahagia.

“Apa?”

“Will U marry Me?”

Suara Jelita tak terdengar lagi, tapi aku tahu dia sedang tercekat, menahan bahagia sambil menitikkan air mata.

“Permisi, Mbak,” seorang pelayan menghampiriku, menaruh seporsi es krim seperti yang kulihat digambar tadi di mejaku. Segelas soda juga mampir, tapi akan teronggok diam begitu saja di sana.

“Terimakasih,”kataku sambil meletakan HP ditas, tak perduli Jelita nanti berteriak karena aku mengabaikannya, yang penting sekarang bagiku adalah es krim ini.

“Haa.. sebenar lagi akan ada satu pesta, “ kataku sambil menyuapnya, “Hmm.. selalu enak seperti ini.” Desahku, melayang.

MPK, 11-1-08, 10.39 AM


Oleh : Mocca_chi

20 Oktober 2009

Real Girlfriend Or Real Actress


“Boleh aku tau kenapa kau memilihku?”di samping sebuah ranjang, Lia dengan mata berkaca-kaca menatap Rian, seorang cowok ganteng berwajah pucat yang sedang berbaring sekarat di depannya.
Dengan terbata-bata Rian menjawab ”Karena … aku mencintaimu … aku … aku …”

Tak sempat Rian melanjutkan kata-katanya, napas terakhirnya sudah terlanjur dihempaskan. Air mata Lia langsung mengalir deras, diikuti dengan teriakan histeris Lia “Rian!”.

Sambil mengguncang-guncangkan tubuh Rian yang sudah tak bergerak lagi, Lia terus berteriak”Rian, bangun! Jangan tinggalkan aku seperti ini! Rian, bangun!!”

“Cut!”sebuah suara dari belakang memecahkan suasana dramatis yang sedang terjadi. Terlihat Hanes, seorang cowok bertubuh agak tinggi dan besar, memakai kemeja dan jeans casual sedang tersenyum sambil bertepuk tangan. “Bagus! Lo berdua emang bakat jadi aktris dan aktor”

***

Siapa yang nggak kenal Lia? Diva ekskul drama, cantik, pintar dan yang terpenting aktingnya bener-bener keren itu sangat memikat para lelaki buaya darat d sekolah Lia. Namun, meskipun cantik, pintar dan jago akting, Lia hanyalah perempuan biasa. Yang punya rasa cinta dan kasih. Bukan hanya itu, Lia juga punya Prince Charming yang sangat disukainya, Tony. Tony adalah seorang cowok ganteng paling terkenal dari ekskul basket. Lia memutuskan akan mengungkapkan perasaannya kepada Tony besok, seusai dramanya dipentaskan.

***

Selesai latihan, Lia langsung pergi menuju restoran tempatnya dan Tony janjian. Hari ini Tony ulang tahun, jadi Lia ditraktir makan sepuasnya di restoran itu. Betapa beruntungnya Lia, karena hanya dialah yang ditraktir Tony hari ini. Padahal, Lia dan Tony kan baru kenal tiga bulan. Kejadian itu bermula dari jadwal ekskul drama dan basket yang tiba-tiba aja bentrok akibat ketidakbaikan menagement pembina ekskul. Jadi kedua kelompok itu menjalani kegiatannya dengan berbagi pembina.
Hal beruntung itu pun menghampiri Lia. Saat itulah dia berkenalan dengan Tony dan seketika itu juga mereka jadi akrab. Padahal, menurut informasi yang didapat Lia, Tony tuh nggak begitu suka deket-deket sama cewek. Dan itu berarti Lialah satu-satunya cewek dan cewek pertama yang bisa deket sama Tony.
Dengan perasaan senang, Lia sampai di restoran. Setelah celingak celingukan beberapa kali, akhirnya Lia menemukan Tony sedang duduk di sebuah kursi dan segera menghampirinya.

“Hi, dah lama?”Lia tersenyum, kemudian duduk di seberang Tony.

Tony tersenyum.”Barusan, kok!”

“Gimana? Kita mau makan apa?”tanya Lia bersemangat.

“Kan lo yang ditraktir, jadi lo aja yang tentuin”Tony menyerahkan buku menu kepada Lia.

Lia ketawa.”Duh, jadi nggak enak, nih! Kan lo yang traktir. Lo aja deh yang tentuin”Lia mendorong buku menu ke depan Tony.

Tony tersenyum. Kemudian mengambil buku menu dan membukanya.”Oke, kalo gitu gue yang tentuin, ya. Tapi inget, makannya harus habis, nggak boleh ada sisa sedikit pun”

Lia hanya tersenyum nakal.”Lho, ini kan bukan restoran buffet”
Tony geleng-geleng kepala. Lia tertawa senang. Tony mengusap-usap dagunya sambil memperhatikan tulisan-tulisan dalam buku menu.”Ehm … gimana kalo kita makan steak aja?”

“Steak? Ng …”Lia terlihat gelisah.

“Kenapa?”Tony mengerutkan alisnya.

“Sebenernya … gue vegetarian. Tapi kalo lo mau makan nggak pa pa kok. Gue makan yang laen aja”ucap Lia dengan tampang kasian.

Tony terlihat serius.”Oo… sorry kalo gitu. Ya udah, kita pesen yang laen aja, ya”

Tony kembali membolak balik buku menu.”Ehm … kalo gitu, gimana kalo kita pesen soup aja?”

“oup?”Lia kelihatan terkejut.”Ada santennya nggak?”

Tony memperhatikan gambar dalam buku menu.”Kayaknya sih ada. Kenapa?”

“Ng … gue … gue alergi santen”ucap Lia pelan.

Sekarang giliran Tony yang terkejut.”Oo… gitu ya? Oke, kalo gitu …”tangan Tony menelusuri tulisan-tulisan dalam buku menu dengan kecepatan siput.
Beberapa menit berlalu, namun Tony belum juga menentukan menu ke-3. Cowok itu kelihatan bingung dan sedikit takut, maksudnya takut salah milih menu lagi. Dan tiba-tiba aja tawa Lia meledak. Tony kontan melongok dan memperhatikan Lia dengan tampang bego.

“Kenapa?”tanya Tony bingung.

“Haha … sebenernya … gue nggak vegetarian”kata-kata Lia terus diiringi tawa.”Gue … gue juga nggak alergi santen”

Tony terlihat memperhatikan Lia dengan serius. Wajahnya seperti menyiratkan kata-kata berikut. ”Apa sih maksud cewek ini?”
Masih diiringi tawa. ”Akting gue bagus, khan?”
Tony pun tersenyum sambil geleng-geleng kepala. ”Hmm… susah deh kalo sama calon aktris…”
Lia tersenyum bangga. ”Tertipu ni yee …”
“Iya, deh! Gue tertipu. Sekarang lo aja deh yang pesen makanannya. Gue udah blank, nih!”kata Tony sambil menyerahkan buku menu kepada Lia.

***

Gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruang aula. Lia dan kawan-kawan aktris dan aktor dari ekskul drama bergandengan tangan dan memberi hormat kepada penonton dari atas panggung. Selesai beres-beres, Lia buru-buru keluar aula dan menemui Tony di sana. Di depan, Tony sudah menunggu Lia. Sambil tersenyum, Tony mengacungkan jempol ke arah Lia. ”Hebat!!”

Lia ketawa. ”Makasih, ya”

“Ehm… jangan lupa, lho! Lo kan janji setelah nonton drama ini lo mau traktir” tagih Tony.
“Iye, iye … gue nggak lupa, kok!”

***

Tony melihat ke sekeliling. ”Suasana restoran ini romantis banget, pantesan lo maksa-maksa mesti ganti baju dulu baru ke sini”

Lia ketawa. ”Asyik, khan! Ada musiknya lagi”

“Oke, sekarang kita mau pesen apa?” tanya Tony sambil mengacungkan buku menu.

“Pecel lele…” celetuk Lia.

“Pecel lele nenek lo, restoran elit begini mana ada pecel lele?”Tony ketawa.

Tiba-tiba aja wajah Lia terlihat sedih. Tony jadi agak khawatir.

“Kenapa?”

“Ng … gue jadi inget nenek gue…” Lia mulai menitikkan air mata.

Tony kelihatan ketakutan, ia pun segera mengusap air mata di wajah Lia. ”Emang nenek lo di mana?”
“Nenek … nenek gue udah meninggal” air mata Lia makin deras.

Tony kelihatan bingung, nggak tau mesti gimana. ”Ng …”

Lia masih menangis.

“Ng …”Tony masih berpikir mau gimana menghibur Lia.

Tapi, tiba-tiba aja hal itu jadi nggak penting lagi. Tawa Lia meledak.

“Ketipu lagi!”Lia dengan wajah berlinang air mata ketawa.

Tony menghela napas. ”Lia … lo bener-bener bikin gue bingung. Kapan sih lo bener-bener jadi Lia dan kapan lo jadi aktris?”

Lia ketawa. ”Tebak aja”

Tony tersenyum. ”Ya udah, sekarang kita udah bisa pesen makanan, khan?”

Lia mengangguk senang.

***

Terlihat Lia dan Tony sedang berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Kemudian mereka berhenti di depan sebuah rumah, rumah Lia.

Tony tersenyum. ”Oke, sampe besok, ya”

Lia tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya.”dadah”
Tony berbalik dan berjalan menjauh. Tapi tak lama kemudian teriakan Lia menghentikan langkahnya.

“Tony!” panggil Lia.

Tony menoleh, Lia sudah ada di belakangnya sambil terengah-engah.

“Kenapa?” tanya Tony.

“Gue … ada yang mau gue ngomongin” Lia terlihat gugup dan salah tingkah.
Tony melipat tangannya dan tersenyum. ”Ngomong aja, nggak pa pa, kok!”

Lia sedikit tertunduk.

”Gue … sebenernya sejak dulu gue suka banget sama lo. Tapi … gue nggak berani bilang atau pun deketin lo, soalnya ada gosip yang bilang kalo lo tuh benci sama cewek. Tapi … waktu jadwal ekskul kita bentrok, kita jadi kenal dan … jadi akrab kayak sekarang. Gue seneng banget”

Tony kelihatan menanti-nanti apa kata-kata Lia selanjutnya.”Jadi?“

“Jadi … lo … lo mau nggak … jadi … pacar gue?”Lia kelihatan gugup sekali waktu kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Tony tersenyum. ”Lia … sebenernya … dulu gue emang benci sama cewek. Karena gue pikir cewek tuh kerjaannya cuma ngegosip dan melakukan kegiatan sejenisnya. Tapi hal itu berubah sejak jadwal ekskul kita bentrok waktu itu. Waktu itu gue liat lo lagi akting, gue bener-bener kagum. Gue nggak nyangka kalo di dunia ini ada cewek kayak lo. Lo bener-bener ajaib. Karena itu gue jadi suka bertemen sama lo”

Lia berubah jadi semangat, wajahnya memerah akibat malu.

“… Belakangan, gue sadar kalo perasaan gue ke elo bukan cuma temen. Ternyata … gue juga suka sama lo … dan gue berencana nembak lo. Tapi nggak disangka, malah lo yang nembak gue duluan”

“Jadi … sekarang kita udah jadian?”Lia bersemangat sekali, wajahnya berseri-seri.

Tony terlihat serius.”Sorry … cerita gue belom selesai. Tolong dengerin dulu sampe selesai. Dulu, gue emang niat nembak lo”

“Dulu?”Lia berteriak dalam hati.

“… tapi ada suatu hal yang mengubah itu”

“Apa?”tanya Lia cepat.

Tony mempertegas kata-katanya.”Masalahnya, gue nggak tau kapan lo jadi Lia yang sebenernya dan kapan lo lagi akting. Jadi, gue nggak tau kata-kata lo yang mengharukan barusan itu bener atau enggak. Siapa tau lo lagi akting kayak waktu lo bilang kalo lo itu vegetarian, alergi santen atau sedih karena nenek lo yang udah meninggal”

“Tapi … tapi gue bener-bener suka sama lo. Gue nggak lagi becanda, gue serius, kok!” Lia membela diri.

Tony menggeleng. ”Sorry … gue nggak bisa … udah cukup gue dibohongi 2 kali, gue nggak mungkin ketipu ketiga kalinya”

Kemudian, Tony pun pergi meninggalkan Lia seorang diri. Lia segera berlari ke dalam rumah dan menangis di dalam kamarnya.

***

Meskipun sedih, Lia tetep pergi ke sekolah keesokkan harinya. Tapi, begitu ia sampai di kelas …

“Wah, Lia … lo vegetarian? Kok gue baru tau? Bukannya lo paling suka makan bakso?”goda Dido ketika Lia baru aja masuk kelas.

Lia langsung melirik ke arah suara. ”Darimana dia tau …”

“Eh, bukan tau. Lia nggak vegetarian, tapi dia tuh alergi santen”teriak Eni.

“Alergi santen? Mana mungkin? Tiap pagi kan si Lia makan ketupat, minta kuahnya banyak lagi”celetuk Roni.
Kemudian temen-temen sekelas yang berjumlah sekitar 10 orang itu ketawa.

Lia memperhatikan seisi kelas, air matanya mulai menetes.”Ton, lo kok tega amat membeberkan hal ini ke semua orang? Apa lo benci banget sama gue?”

“Lho, Lia lo kenapa? Nenek lo meninggal?”Joni kembali memulai godaan.

Tawa dalam kelas kembali meledak.

“Eh, eh, pada diem dulu …” kata Seli menenangkan.

Anak-anak sekelas pun diam dan mendengarkan Seli.

“Dia bukan nangis gara-gara neneknya meninggal, tapi gara-gara ditolak Tony.” teriak Seli.

Air mata Lia makin deras, ia pun berlari keluar kelas. Di tengah-tengah emosinya yang memuncak, Lia berlari tanpa mengenal arah. Ia pun menabrak tubuh seseorang, yang ternyata adalah tubuh Tony.

Tony tersenyum.”Hi”

Lia segera memukul-mukul dada Tony. ”Ton, lo jahat! Lo jahat banget! Masa lo sebarin semua itu? Lo jahat! Jahat!! Kalo lo nggak suka gue, ya udah! Kalo lo benci gue, ya udah! Tapi kenapa lo harus mempermalukan gue kayak gitu? Lo jahat banget!”

Tony malah ketawa.”Lho, kok gue dibilang jahat sih? Gue kan cuma menceritakan kisah cinta kita sama temen-temen. Supaya mereka tau betapa romantisnya kisah cinta kita”

“Kisah cinta apaan?” teriak Lia. Ia pun makin keras memukul-mukul da.da Tony.

Tony tersenyum, kemudian memeluk Lia. Setelah Lia agak tenang, Tony mengusap air mata Lia.

“Oke, oke … gue minta maaf … gue janji gue nggak bakal melakukan hal ini lagi. Jadi …”

Lia mengusap-usap air matanya sampe bersih.”Jadi apa?”

“Jadi … sekarang kita udah jadian, khan?”Tony tersenyum.

“Jadian?”Lia kelihatan bingung.

“Ya iyalah! Seluruh sekolah udah tau kok kalo kita udah jadian”

“Tapi … tapi kemaren kan …”

“Oh, kemaren, ya? Kemaren kan gue cuma nyoba menyaingi akting lo. Lo ngerjain gue dua kali, gue ngerjain lo sekali. Cukup adil kan?”Tony ketawa.

Detik itu Lia baru sadar kalo dia udah dikerjain abis-abisan. Lia pun tersipu malu.”Ah, Tony jahat!”

“Siapa suruh lo ngerjain gue terus”sahut Tony.

Lia berubah menjadi serius.”Ton, gue janji nggak bakal bohongin lo lagi. Gue cuma akan berakting di atas panggung dan nggak bakal akting di depan lo lagi. Gue cuma akan jadi diri gue sendiri kalo di depan lo. Tapi lo juga harus janji, lo nggak boleh bales gue kayak gini lagi”

Tony tersenyum.”Oke, kalo gitu kita janjian …”

Tony mengaitkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Lia, kemudian mereka pun tersenyum.



Oleh : Unknown

Adakah Kesempatan

Adakah Kesempatan?

Valey mengeluarkan sebuah plastik hitam berisi bekal makan siang dari dalam tasnya. Lalu ia pun mengeluarkan kotak bekal dan meletakkannya di atas meja. Hari ini mamanya memasakkan makanan kesukaannya, yaitu nasi goreng special ala mama. Wah, nggak kebayang deh, gimana enaknya.

Tapi, ketika membuka kotak bekalnya itu, Valey kaget setengah mati.

“Kyaaaaaa, apa ini?“

Kotak bekalnya dipenuhi lalat, mungkin ribuan jumlahnya.”Siapa yang naro lalat di kotak bekal gua?“

“Gua.” Jawab sebuah suara yang sangat dikenal Valey. Suara orang yang paling dibenci Valey, siapa lagi kalo bukan?

“Stan? Ngapain lagi sih lu?”teriak Valey kepada seorang cowok bertampang imut yang sedang berdiri di depan pintu kelas.

Cowok itu tersenyum manis. ”Sorry, lu kan tau kalo gua ikut ekskul biologi, nah, sekarang gua lagi meneliti lalat. Lalat itu kan paling suka sama makanan. Nah, gua jadi penasaran, gimana kalo lalat dimasukin ke dalam kotak bekal yang isinya penuh dengan makanan? Apakah dia bakal hidup makmur? Tapi gua liat semua lalat di kotak bekal lu mati, kenapa, ya?”

“Tentu aja mati. Gimana nggak mati, lu masukin lalat begitu banyak ke kotak bekal gua, trus lu tutup rapet. Tuh lalat mana bisa hidup, orang di dalem nggak ada oksigen” kata Valey kesel.

“Oh, iya, bener juga ! Ternyata lu pinter juga, ya? Thanks, ya ! Akhirnya penelitian gua berhasil”ucap Stan sambil ketawa seneng.

“Iya, tapi gua nggak bisa makan, (#_-) !!” kata Valey sambil melempar kotak bekalnya itu ke arah Stan, biar dia makan tuh lalat sekalian.

Tapi sayang, Stan keburu lari keluar kelas. Valey pun duduk sambil melipat tangan dan memasang tampang kesel. Lalu dia mulai berpikir. Dulu Stan nggak begini, dulu dia baek banget sama Valey. Bahkan mereka udah PDKT dan tinggal selangkah lagi, mereka akan menjadi pasangan yang paling serasi di dunia ini. Itu sih menurut Valey, lho! Padahal, dulu Valey sangat amat suka sekali sama Stan, bahkan cowok ganteng mana pun nggak ada yang bisa menandingi Stan. Nggak ada satupun cowok laen yang dipandang sama Valey, bahkan dipandang sebelah mata pun enggak. Tapi sejak Stan kecelakaan waktu mo dateng ke pesta ultah Valey yang ke – 16 dua bulan yang lalu, dia mulai berubah. Sejak itu, Stan nggak lagi baek sama Valey, malah dia berubah jadi nyebelin. Dan yang paling nyebelin, waktu keluar dari rumah sakit, Stan nggak ngasih Valey kado. Gimana Valey nggak kesel?
Sejak itu, Stan jadi suka bertindak nggak wajar. Itu sih menurut Valey. Masa dia nyebar isu kalo Valey hamil, dan lagi, hamilnya itu anak kodok, katanya waktu praktek biologi, kodok yang bakal jadi bahan eksperimen Valey bertelur dan tanpa sengaja telurnya kemakan sama Valey karena waktu abis praktek Valey nggak cuci tangan. Coba pikir aja, mau dipikir pake otak sebelah mana juga nggak bakal ada yang percaya. Valey sendiri aja nggak percaya. Tapi, siapa sangka, sejak isu itu beredar, semua ngegosipin tuh isu, bahkan sampe – sampe, si Steven, tukang sapu sekolah pun tau gosip itu, dan dia ketawa – ketawa waktu ngeliat Valey. Gimana Valey nggak kesel coba?
Katanya sih, waktu kecelakaan itu, dokter bilang kepala Stan terbentur keras. Mungkin itu yang menyebabkan Stan jadi gi.la, begitulah anggapan Valey terhadap Stan sekarang. Bukannya Valey jahat atau kasar sampe ngatain tuh anak gila, tapi memang begitulah kenyataannya.
Kadang Valey berpikir, apa Stan nggak capek mikirin cara buat bikin dia kesel. Stan emang anak yang pinter dan kreatif, tapi jangan sampe ngerugiin orang gitu. Tapi, kalo dipikir – pikir lagi, emang gua pikirin? Pacar bukan, temen bukan, buat apa meres otak buat orang kayak gitu?

***

Sudah seminggu lebih si Stan gi.la itu nggak ngegangguin Valey, baguslah, mungkin ide – ide gilanya udah abis dipake, atau mungkin dia udah capek ngerjain Valey.

“Eh, Val, lu dah denger belon gosip terbaru?”tanya Nelly yang tiba – tiba dateng deketin Valey.

“Gosip apa lagi? O, ya, sekarang kan pelajaran biologi lagi praktek jangkrik. Jangan – jangan gosipnya gua hamil anak jangkrik lagi”jawab Valey.

“Bukan. Katanya si Stan kan mau pindah besok, sekarang dia lagi ngurusin surat – surat kepindahannya di kantor kepala sekolah” kata Nelly, si biang gosip di kelas Valey.

“Ih, sabodo teuing, mang gua pikirin? Bagus dia mo pindah, berarti Tuhan masih sayang ma gua, dia mo lenyapin orang gi.la yang selalu gangguin gua itu”jawab Valey cuek.

“Loh, Val, lu masih benci ma dia? Biar gimana pun juga kan dulu dia baek sama lu, bahkan dia sampe kecelakaan waktu mo ke pesta ultah lu, apa lu nggak merasa bersalah sedikit pun ma dia? Biar gimana dia kan dah mo pindah, yah ngomong kek sepatah atau dua patah kata perpisahan sama dia”

“Dih, dia yang kecelakaan, kok gua yang disalahin? Kan dia sendiri yang nggak bisa nyeberang. Lu ngomong begitu seakan – akan waktu kecelakaan itu gua yang dorong dia dari belakang”

“Yah, tapi lu jangan berpikiran negatif mulu, donk! Pikirin juga hal–hal positifnya, masa sih dia nggak pernah berbuat baek sama lu sekalipun? Padahal dulu gua liat lu deket banget ma dia, bahkan sampe digosipin pacaran segala”

Valey berpikir sejenak, bener juga kata Nelly. Nggak ada salahnya kalo Valey ngucapin kata – kata perpisahan buat orgil itu, kan setelah itu dia bisa hidup tenang.

“Ya udah, jangan cerewet, sekarang juga gua temuin dia, puas?”

Nelly cuman tersenyum karena misinya membujuk Valey telah berhasil. Valey pun berjalan menuju kantor kepala sekolah, tapi di tengah jalan, Valey melihat Stan lagi ngorek – ngorek tanah di bawah pohon gede di halaman samping lapangan basket.

“Ngapain tuh anak?” Valey bertanya – tanya.

Valey berdiri terpaku ngeliatin Stan yang lagi ngobok – ngobok. Trus dia mulai berpikir, wah, jangan–jangan gilanya kambuh, trus dia mulai bersikap kayak anji.ng, suka ngubur – ngubur tulang di bawah pohon. Bukannya Valey suka berpikir yang bukan – bukan, tapi menurut pengetahuannya yang didapet dari film kartun, kalo orang udah gi.a, kemungkinan tuh orang berlaku kayak hewan sangat besar.
Karena asyik mikir, Valey sampe nggak nyadar kalo Stan dah nggak ada di bawah pohon. Wah, kemana dia? Valey jadi penasaran, bener apa enggak, ya analisa Valey tadi? Untuk membuktikannya cuma ada satu cara, yaitu menggali kembali tanah yang tadi diubek – ubek ma Stan, kalo isinya tulang, berarti analisa Valey bener. Dan itu berarti Valey bisa jadi detektif hebat seperti yang dicita – citakannya.
Valey pun memulai aksinya, dia mulai menggali – gali tuh tanah. Sambil menggali, Valey membayangkan saat tulang yang dikubur Stan ditemukannya, Valey tertawa senang, ia membayangkan gimana tampang Stan waktu Valey membongkar kedoknya di depan semua orang, dia pasti nggak punya muka lagi buat pegi sekolah, dengan begitu dia nggak bakal dateng – dateng lagi ke sekolah, seperti yang diharapkan Valey. Eh, tapi .. dia kan emang udah mau pindah sekolah, ngapain juga Valey ngebuka kedoknya di depan semua orang? Lagian nanti waktu Valey mengeluarkan bukti yang ditemukannya, alias tulang, pasti Stan bakal bilang”Lu kan tau gua ikut ekskul biologi, dan sekarang gua lagi meneliti tulang, tulang itu kan sangat kuat, tapi kata orang kalau tulang dikubur, lama – lama bakal hancur, jadi gua mau meneliti berapa lama tulang itu hancur dalam tanah”.

Ngebayanginnya aja Valey udah kesel, soalnya tuh orang selalu aja bisa ngejawabin semua kata – kata Valey, Valey nggak pernah bisa menang berdebat sama Stan, dan itu yang bikin Valey tambah kesel. Ah, udah jangan dipikirin lagi ! Makin dipikir, malah makin kesel. Valey pun terus menggali, gali dan gali. Gali punya gali, akhirnya Valey menemukan sebuah kantong plastik berwarna hitam.

“Emang ada anjing yang masukin tulang ke kantong plastik? Mungkin supaya nggak kotor”pikir Valey.

Valey pun mengambil kantong itu, tapi raba punya raba, kok kantong itu rata – rata aja? Bentuknya nggak menunjukkan kalo isinya adalah tulang.

“Mungkin tulangnya udah diremukin jadi bubuk, biar lebih gampang dicerna”Valey membela analisanya.

Valey pun mengeluarkan isi kantong hitam itu, ternyata isinya sebuah amplop berwarna biru. Waw, bagus banget, warna biru kan warna kesukaan Valey. Ia pun mengeluarkan isi amplop itu, ternyata isinya sebuah kartu ucapan. Tepatnya kartu ucapan selamat ulang tahun. Valey segera membuka kartu itu.
Ternyata benar tebakan Valey, kartu itu adalah kartu ucapan untuknya. Di dalam kartu itu tertulis tanggal ultah Valey dan ucapan selamat ultah buat Valey yang ke – 16. Trus, di sudut kanan kartu tertulis sebuah kalimat yang ditulis dengan huruf besar,tapi dengan tulisan kecil. Mungkin maksudnya supaya orang tidak tahu itu tulisan, soalnya tulisan itu tertulis di bawah nama Stan, jadi tulisan itu lebih mirip garis, karena ditulis sangat kecil. Tapi berhubung Valey adalah calon detektif terkenal, maka Valey bisa menemukan tulisan itu.
Valey memicingkan matanya, ia berusaha membaca tulisan kecil itu, lalu mengeja hurufnya satu per satu.
“I”
“L”
“O”
“V”
“E”
“U”

“I Love U” kata Valey menyatukan huruf – huruf yang diejanya.

Apa nggak salah? Kalo dia emang mau ngungkapin perasaannya sama Valey, kenapa nggak jadi? Apa mungkin dia benci sama Valey karena gara – gara mau pergi ke pesta ultah Valey dia jadi kecelakaan? Apakah dia nyalahin Valey atas kecelakaan yang dialaminya? Pokoknya Valey harus menemukan jawabannya.
Valey pun segera berlari ke kantor kepala sekolah. Tapi, di sana Valey nggak menemukan Stan. Kata pak kepala sekolah, sih dia udah pulang. Valey pun mengurungkan niatnya untuk sementara waktu. Tapi waktu sampe di rumah, Valey segera mengirim sms ke Stan, tapi hp Stan nggak aktif, jadi Valey meninggalkan pesan di mail box Stan dan bilang kalo Valey menunggunya di taman tempat mereka biasa ketemu dulu jam 7 malam. Tapi, Stan nggak dateng – dateng juga. Valey melirik jam tangannya, sudah pukul 11 malam, hujan mulai turun. Makin lama makin deras. Valey pun pulang.
Tapi, Valey masih belon nyerah, keesokan harinya, pagi – pagi sekali sebelum pergi ke sekolah, Valey ke rumah Stan. Waktu Valey sampe, dia terus manggil – manggil nama Stan, tapi nggak ada seorang pun yang keluar dari rumahnya. Mungkin masih tidur, pikir Valey, maka ia berteriak makin keras. Tapi tetap tak ada seorang pun yang keluar.

“Neng, percuma panggil – panggil terus !”ucap seorang bapak yang ada di belakang Valey, mungkin tetangga Stan.

“Memangnya pada kemana, pak?”tanya Valey setelah berbalik.

“Semua orang rumah pergi melayat, kan semalam anak laki – laki bungsunya yang namanya Stanley itu meninggal”jelas tuh bapak.

“Apa? Meninggal? Kenapa?”
“katanya sih gara – gara sakit kanker, padahal dulu nggak kenapa – napa tuh, tapi menurut gosip warga sini, sekitar dua bulan yang lalu, si Stanley kecelakaan, walaupun lukanya nggak parah, tapi waktu itu dokter bilang ternyata Stanley mengidap kanker. Mungkin kalo dia nggak kecelakaan, nggak ada yang tau kalo dia sakit, orang anak itu sangat lincah”

Valey tak bisa lagi berkata apa – apa. Dia hanya berdiri terpaku sambil menatap rumah Stan yang kosong.

“Udah, ya, Neng, saya mau pergi melayat dulu”

Pantas, pantas Stan jadi berubah sejak kecelakaan itu, pantas dia jadi sering menjahili Valey, pantas dia mau pindah dari sekolah, pantas dia mengubur kartu ucapan selamat ulang tahun buat Valey, pantas…


Oleh : Unknown

Kapan Pelajaran Fisika Dimulai?

Sebelumnya, aku belum pernah bertemu dengan pria seperti Aldo. Dia pintar, baik, tampan, dan yang terpenting, kami sangat akrab, bahkan semua teman di sekolah selalu bertanya padaku apakah Aldo itu pacarku ? Mereka bilang aku sangat beruntung.
Walaupun aku selalu menggelengkan kepala ketika mereka bertanya, tapi sebenarnya saat itu hatiku berteriak “ Ya, benar, Aldo adalah pacarku, aku sangat suka padanya. Dia adalah milikku “ Kurasa dia benar – benar adalah Mr. Right yang selama ini kutunggu – tunggu.

“Hei, apakah kau yang bernama Helen ?“ Tanya seorang wanita cantik yang tiba – tiba berada di depanku. Suara halus wanita itu telah membuyarkan semua lamunan indahku tentang Aldo barusan.

Wanita itu sangat cantik, bahkan aku yang selalu menganggap diriku paling cantik tidak bisa lagi berkata apa – apa di depannya. Dia benar – benar cantik.

“Betul, anda ini siapa ? “ tanyaku.
“Kalau begitu, kau ini pasti sedang dekat dengan pria bernama Aldo, kan?“

Bagaimana dia bisa tahu namaku ? Juga, bagaimana dia bisa tahu aku dekat dengan Aldo ? Ada lagi, bagaimana dia bisa tahu sekolahku ? Dan bagaimana dia bisa tahu kalau sekarang aku sedang berada di sekolah ?

“Dari mana kau tahu ? “
“Aku tidak ingin kau mengikuti jejakku. Lebih baik kau segera meninggalkan Aldo, dia itu playboy. Dulu dia juga sangat baik padaku, seperti denganmu sekarang. Teman – temanku selalu mengatakan kalau kami adalah pasangan serasi. Dulu, kami bagaikan Romeo and Juliet. Tapi hal itu tak berlangsung lama, tak lama kemudian, aku melihatnya menggandeng wanita lain sambil tertawa – tawa gembira, aku langsung menghampirinya, ingin meminta penjelasan darinya, aku bertanya padanya, mengapa dia menggandeng wanita itu seperti menggandengku dulu ? Apa hubungannya dengan wanita itu ? Mengapa dia menghianatiku ? Tapi apa kau tahu jawabannya ? Dengan santainya dia bertanya padaku, “
Nona, apa aku mengenalmu ? “. Bahkan dia berpura – pura tidak mengenalku di depan wanita itu, saat itu aku ingin sekali membencinya, tapi aku tak bisa, aku terlalu menyukainya, yang kurasakan bukanlah kekesalan, tapi malah kesedihan, aku sangat sedih, perlu waktu lama untuk bisa melupakan peristiwa itu, makanya aku tidak mau kau mengalami hal yang sama denganku “ jelas wanita cantik itu.

“ Atas dasar apa aku harus mempercayai kata – katamu ? “

“ Kau harus percaya padaku, HARUS … … … “

***

“ Halo, Helen ! “ sapa Nia, teman sekamarku.

“ Halo juga “ jawabku.

“ Helen, apa hubunganmu dengan murid baru yang cantik itu sangat dekat ? “ tanya Nia.

“ Sebenarnya sih tidak, tapi sudah tiga hari ini dia terus mendatangiku dan mengatakan hal – hal buruk tentang Aldo. Dia ingin aku menjauhi Aldo. Kurasa sekarang aku jadi terpaksa akrab dengannya, bahkan mungkin aku tahu riwayat hidupnya, kapan dan dimana dia lahir, apa warna kesukaannya, apa makanan kesukaannya, siapa cinta pertamanya, kebisaaan – kebisaaan buruknya, bahkan rahasia – rahasia kecilnya, seperti pernah tidak mandi selama sebulan, tidak gosok gigi selama setahun dan sebagainya. Bahkan kalau dia tidak menjelek – jelekan Aldo, mungkin aku akan menjadi sahabatnya “ jelasku.

“ Benarkah ? Lalu apakah kau tahu kalau dia itu orang gila ? “

“ Apa ?? Orang gila ? Apa aku tidak salah dengar ? “

“ Benar, aku tidak bohong. Kelihatannya saja ia masih seumur dengan kita, karena wajahnya babyface, tapi sebenarnya ia lebih tua tiga tahun dari kita. Sebenarnya, dia bisa dibilang teman akrab kakakku, dulu kakakku sangat dekat dengannya, jadi semua yang dialaminya, kakakku tahu. Katanya dulu orangtuanya ngotot kalau anaknya itu tidak gila. Lagipula, orangtua mana yang mau anaknya dibilang gi.la ? Tapi karena ia suka mengancam jiwa teman – temannya dengan menodongkan pisau ke semua orang, maka akhirnya orangtuanya baru mau mengakui kalau anaknya itu memang bertindak tidak wajar, nah barulah ia diasingkan dari sekolah, ia dikirim ke luar negri untuk berobat. Lalu, bulan berganti bulan, waktu berganti waktu, ia pun sudah mulai sembuh, maka ia dikirim kembali ke sini “ jelas Nia.

“ Nia, kau jangan membohongiku, aku kan jadi takut. Orang gi.la kan bisa melakukan apa saja. Nia, aku takut, untung kau mengatakannya sekarang, kalau tidak mungkin aku sudah bersahabat dengan orang gila “ ucapku ngeri.

“ Makanya, kau jangan terlalu percaya pada orang lain “

“ Kalau dipikir – pikir, pantas saja ia mengatakan hal – hal buruk tentang Aldo, dari pertama aku sudah curiga, eh bukan – bukan, dari pertama aku sudah tahu kalau itu bohong. Mana mungkin pria sebaik Aldo playboy ? Walaupun aku tidak pernah bertanya langsung kebenarannya kepada Aldo, tapi aku percaya, Aldo pasti bukan orang seperti itu. Ternyata benar, wanita itu gi.la. Kasihan masih muda sudah gila “

Aku dan Nia pun tertawa terbahak – bahak.

“ Tapi, bagaimana, ya perasaan menjadi orang gila ? “ tanyaku serius.

Nia pun ikut serius. Kami berpikir sejenak.

“ Ah, sudah, sudah, jangan dipikirkan lagi ! “ ucapku takut.

“ Nia, ayo minum obat !! “ panggil seorang suster.

“ Ah, dia datang lagi ! Helen, aku pergi dulu, ya ! “ ucap Nia sambil beranjak pergi.

Aku tertawa senang, karena ternyata isu jelek tentang Aldo itu tidak benar, berarti ia bisa kembali menjadi Mr. Right – ku.
Aku memutuskan untuk melihat Aldo, sudah tiga hari ini aku tidak bertemu dengannya, karena wanita itu selalu mendatangiku dan tidak memberiku kesempatan untuk bertemu Aldo. Untung hari ini wanita gila itu tidak datang lagi mencariku.
Aku pun pergi ke kelas Aldo. Saat aku sedang berjalan menuju kelas Aldo, aku mendengar suara teriakan yang sangat keras yang berasal dari kelas Aldo, dan seingatku itu suara Aldo.
Saat aku masuk, aku melihat kedua tangan Aldo sedang dipegang oleh dua orang guru. Kedua guru itu berusaha mengikat Aldo dengan tali, sedangkan murid – murid yang lain hanya bisa melihatnya dari samping. Aldo terus berteriak dan memberontak.

“ Lepaskan !!! Jangan !!! “ ucap Aldo sambil menendang – nendangkan kakinya ke arah pak guru, lalu kembali mengulang kata – kata yang sama berkali – kali.

Aku sangat bingung, sebenarnya apa yang terjadi ? Mengapa Aldo sampai harus diikat ? Memangnya apa yang sudah dilakukannya ? Mengapa Aldo yang kulihat sekarang tidak seperti Aldo yang kukenal, mengapa Aldo bisa seperti ini ? Kemana perginya Aldo yang ramah, sopan, murah senyum dan baik itu ? Kemana ? Mengapa yang kulihat sekarang hanyalah seekor kingkong yang meronta – ronta minta dilepaskan ? Mengapa begitu ? Mengapa ?
Tiba – tiba seseorang menepuk pundakku, aku tersentak kaget. Aku segera berbalik, ternyata Nia.

“ Nia, bikin kaget saja “ ucapku sambil mengurut – urut dadaku tanda menenangkan jantungku.

“ Helen, ternyata wanita itu benar. Wanita itu dan Aldo benar – benar kenal “ ucap Nia.

“ Apa maksudmu ? “

Nia mendekatiku, lalu berbisik di telingaku “ Ternyata, Aldo juga gila. Mereka pernah berteman, ternyata yang dikatakan wanita itu benar. Lihat, sekarang Aldo sedang kumat, makanya dia diikat “ jelas Nia serius.

“ Apa kau bilang ? “

Seketika itu juga hatiku galau. Aku tidak berani lagi melihat Aldo, aku segera berlari ke kamarku, lalu aku pun menangis.
Aku benar – benar tidak bisa menghadapi kenyataan ini, Aldo gi.la ? Terlintas saja tidak pernah di pikiranku. Kalau Aldo memang gila, mengapa dulu ia begitu baik padaku, mengapa dulu dia sangat normal ? Mengapa dia tidak pernah kumat saat bersamaku, mengapa ia baru kumat sekarang ? Padahal aku kan selalu menghabiskan waktuku sepanjang hari bersamanya.
Sekarang ini aku tidak tahu lagi apa yang sedang kurasakan, sebenarnya aku ini kecewa karena Aldo bukan Mr. Right – ku atau takut karena Aldo itu orang gila ? Atau mungkin aku malu pada teman – teman karena ternyata orang yang begitu dekat denganku, yang selalu digosipkan sebagai pacarku, ternyata …
Aku menangis sepanjang hari, aku terus berpikir dan berpikir. Nia teman baikku hanya bisa menemaniku sambil duduk di sampingku dan berusaha menghiburku.

“ Sudah, Aldo kan bukan satu – satunya pria di dunia ini, kau pasti bisa mendapatkan yang lebih baik daripada Aldo. Percayalah padaku “ hibur Nia.

Saat mendengar kata – katanya, aku pun berpikir. Benar juga, tidak seharusnya aku rapuh hanya karena seorang pria, aku ini kan wanita yang kuat. Aku pun segera mengusap air mataku.

“ Benar, aku tidak selemah itu, aku harus bangkit kembali “ ucapku.

“ Betul, Helen yang kukenal seharusnya memang begini. Lihat tuh, tampangmu sekarang, mata bengkak, pipi bengkak, mulut bengkak, semua bengkak, sangat tidak enak dipandang “

Aku segera bercermin. Ternyata yang dikatakan Nia benar, tampangku jelek sekali saat itu, padahal kan selama ini aku selalu menganggap diriku adalah wanita paling cantik di dunia. Tidak boleh, tidak boleh ada seorang pun yang membuatku menjadi jelek.

“ Nia, aku harus bagaimana ? Apakah wajahku akan terus begini ? “ tanyaku cemas.

“ Tenang, besok juga sudah kembali normal, asal malam ini kau tidur yang cukup dan besok bangun dengan semangat yang baru “ kata Nia sambil tersenyum.

Aku pun menuruti kata – katanya. Aku segera tidur dengan nyenyak, dan keesokkan harinya bangun dengan semangat baru.
Aku membereskan buku pelajaranku, memeriksa apakah pelajaran yang kubawa sesuai dengan jadwal, setelah itu aku pun berangkat ke sekolah.
Pagi ini aku tidak melihat Nia, mungkin ia sudah berangkat duluan, jadi aku pun berangkat sendiri. Aku berlari dengan semangat menuju kelasku.

“ Helen, jangan lari – lari, nanti jatuh “ ucap suster yang tiba – tiba ada didepanku.

“ Aku kan mau pergi ke sekolah dengan semangat baru “ jawabku.

“ Iya, tapi jangan lari – lari “ jawab suster.

“ Suster, pagi ini aku tidak melihat Nia, kemana dia ? “ tanyaku.

“ Oh, dokter bilang dia sudah sembuh, jadi dia boleh pulang “

“ Pak guru bilang dia sudah sembuh ? Ah, tidak bisa, tidak bisa, aku harus bicara dengan Nia. Ada hal penting yang ingin kutanyakan dengannya “

Aku segera berlari keluar gerbang sekolah, aku mencari Nia sambil berteriak “ Nia, kau dimana ? Ada yang ingin kutanyakan “
Tapi aku melihat ke sekelilingku, Nia tidak ada.

“ Nia tidak ada, dia sudah pulang ke rumahnya “ ucap suster yang masih membawa obat sambil berlari mengejarku ke luar.

Aku menatap papan nama sekolahku yang besar. Aku bingung kenapa Nia mau pergi dari sekolah ini, padahal sekolahku ini kan sangat terkenal, semua orang pasti tahu nama sekolahku. Namanya saja begitu keren, kalau dieja R – U – M – A – H – S – A – K – I – T – J – I – W – A – G – R – O – G – O – L, lengkapnya Rumah Sakit Jiwa Grogol. Wah, kerennya ! Benar – benar nama yang unik. Aku bisa tebak, pasti yang menamai sekolahku ini adalah orang yang kreatif, karena nama yang diberikannya sangat berseni. Sekolah yang benar – benar kubanggakan.
Nia sudah pergi, tapi tidak apa – apa, aku akan pergi ke sekolah dengan semangat baru. Aku kembali ke dalam gedung sekolahku. Suster pun mengikutiku.

“ Suster, kapan pelajaran Fisika dimulai ? Hi… hi… hi… “ tanyaku sambil tertawa.

“ Setelah kamu minum obat, ya ? “ jawab suster.

“ Iya, suster. Hi… hi… hi… “


Oleh : Unknown...

Last Words, Before I Miss U


New life… aku pikir semua orang kini punya dunia masing-masing. Ini bukan masa SMA yang dulu. Aku sadar..semua telah berubah. Dia, mereka..begitu juga denganku. Sungguh aku sadar dalam hidup tak ada yang abadi. Dulu dia memanggilnku ’sobat’ tapi sekarang aku bagai rumput yang tak terlihat. Belum lepas dari ingatan betapa ia mengagumiku..namun kini, aku bagai jalang yang terlupakan.

Suara berisik ada dimana-mana. Riuh rendah hingarnya tawa beradu dalam gema. Wajah ceria terlihat pada mereka yang terperangkap dalam ruangan ini. Siapa yang tak gembira, bila guru kimia yang super galak itu tiba-tiba berhalangan masuk hari ini. 3 IPA 2, tetangga sebelahku, mungkin iri dengan kegirangan yang tengah berlangsung di kelasku. Biarlah mereka memeras otak sampai botak mempelajari rumus-rumus setebal kamus. Aku tak peduli..toh, siapa yang tau dimana aku Empat tahun nanti.

”Sob, kantin yuk.” Teriak Jamal, kagetkan lamunanku.
“Entaran aja dech, perut gw belum laper nih.” Jawabku menolak.
“Halah..bilang aja lo lagi enak diliatin si Kiki.” Cetusnya sok tau.
“Hahaha.”

Aku mengenal gadis ini sejak Tiga tahun yang lalu. Sejak itu pula, aku tau betapa ia mengagumiku. Namun ada alasan yang mebuatku tetap jadikan ia pengagum paling setiaku. Apalagi kalau bukan atas nama cinta. Aku tak mencintainya, hanya sedikit suka. Sepanjang tahun, tetap kujadikan ia begitu. Lelah..sepertinya ia tak pernah lelah. Hari berganti, tahun pun berlalu..namun ia tak pernah berubah.

Sang lelah serasa tengah menelanjangiku. Ditambah lagi anak Kls 1 gebetan baruku yang selalu haus belaianku. Maka jadilah aku orang paling sibuk sepanjang waktu.
“Say, pulang sekolah aku tunggu depan gerbang yah.” Ucapnya dengan lembut.
“Mmm, sory Vi, hari ini aku harus nganter Mama ke Airport.” Ucapku polos tanpa dosa.

Pada bangku taman sekolah kududuk sendiri. Tanpa sobat, ataupun teman sejawat. Sejenak kuberpikir dan merenungi masa-masa yang telah terlewati. Lalu pada ujung kesadaranku, terbersit sebuah keputusan pasti. Aku harus mengakhiri semua kebodohan ini. Masa depan yang tengah menanti jauh lebih berarti. Bagaimana mungkin sisa waktu Tiga bulan ini kulewati dengan berleha-leha. Nongkrong sana-sini, keluyuran kemana-mana. Percuma bikin hati teman senang dengan menuruti apa mau mereka. Toh saat ujian akhir nanti, mereka tak berarti. Kesuksesan itu memang harus diraih dengan tangan sendiri. Dia, juga mereka..hanya bisa memandangiku bila kegagalan itu tiba. Tak berucap kata, bahkan mungkin tak disapa. Sebelum semua berkhir sia-sia..detik ini juga semuanya harus berubah.

“Kok Mama dari tadi senyum-senyum seh? Ada yang lucu?” tanyaku penasaran.
“Enggak..Mama cuman senang aja liat kamu jadi rajin belajar. Ada apa yah, kok tumben-tumbenan gini? Ucap Mama sembari bercanda.
“Wajar lagi Ma, Tiga bulan lagi kan mau UAN. Kalau ga belajar dari sekarang, gimana mau bisa lulus.”
“Oke dech..Mama mau kedapur dulu, siapain makanan buat kamu”

Ada awal, pasti ada akhir. Seperti kata mereka, perpisahan itu selalu menyedihkan. Layaknya mendung pagi ini, hati ini juga terasa bagai diselimuti kabut tebal. Mata yang berkaca-kaca jelas kulihat diwajah mereka. Sebagai mantan ketua Osis, aku diberikan kehormatan untuk menyampaikan kata-kata perpisahan. Lama kuterdiam memandangi mereka yang berbaris rapi di lapangan sekolah pagi ini. Bagai kehabisan kata-kata, tak sadar kumeneteskan air mata. Mereka yang ada disana sepertinya juga sama. Tanpa sadar, pandanganku mengarah pada sesosok gadis yang kerap tawarkan sebuah senyuman. Dialah sang pemuja. Teman sekelasku selama Tiga tahun, yang cintanya tak pernah kuhiraukan.

Tatapan itu seakan tiupkan mantra cinta dihatiku. Sadarku seakan tiba, bahwa aku juga menyukainya. Ego itu kini telah hancur. Tembok kesombongan yang selama ini memungkiri rasa suka itu kini telah rubuh. Tapi..kenapa baru saat ini. Tak habis pikir dengan apa yang berlaku. Aku mencintainya, dipenghujung indahnya masa-masa SMA.
“Wahai sang waktu..aku ingin membunuhmu!”

Tiga minggu kucoba menghubunginya, namun semuanya sia-sia. Semua teman telah kutanya, namun ia bagai hilang tanpa berita. Rumah dinas orang tuanya juga tak bisa berkata apa-apa, karna kini telah kosong tak berpenghuni. Kini aku terhimpit sempitnya putaran waktu. Sebentar lagi aku harus berangkat meninggalkan kota ini. Namun, yang kucarai belum kutemukan juga. Langkah ini terasa berat oleh kata yang belum sempat terucap.
“Wahai sang waktu..kenapa kau cepat sekali berlalu?”

Menuju bandara, kulewati sekolahku yang dulu. Ia terlihat muram dengan tetesan hujan. Namun kenangan indah di dalamnya senantiasa tawarkan sebuah senyuman. Banyak waktu kuhabiskan disana. Tempat dimana setiap detiknya begitu ceria. Dan, di tempat ini juga kukenal dia. Dibangku sudut dekat jendela, tempat biasa ia duduk memandangiku diwaktu senggang tak bertuan. Bila ia berucap dekat padaku, wangi itu bagai sekuntum bunga. Yah, dia bagai bunga..bagai bunga dibalik jendela kaca.
“Wahai sang waktu..imgat kah kau saat-saat indah itu?”

Dari balik kaca mobil, rindu itu terucap. Kerinduan pada dia yang selalu tersenyum manis untukku.

“Trrrrrt..” getar Hanphone dalam kantong celana jeansku terasa begitu mengagetkan lamunanku akan masa yang lalu. Saat pesan itu terbaca, sungguh aku sangat merasa bahagia. Bagaimana tidak..Pencarian Empat tahun akhirnya terjawab. Rasa senang itu begitu dahsyat. Bahkan buatku hingga tak bisa berteriak. Dengan segera kuucapkan rasa terimaksih terdalam kepada si pengirim pesan barusan. Dia lah sahabat lamaku yang telah berhasil menemukan Nomor Handphone Kiki Amelia, sang pemuja yang telah lama hilang.

Rasa sabar, sudah tak ada. Kuingin segera hubungi dia. Namun, tiba-tiba kuterdiam. Sejuta pertanyaan timbul tenggelam dalam benakku. Bukan kah masa itu telah lama berlalu. Dia cintaku Empat tahun yang lalu..masih kah kini rasa itu ada? Hp dalam genggaman seperti terkejut melihatku. Gejolak itu tiba-tiba padam..seakan hilang dalam hembusan malam.

“Huh..”
Hembusan nafasku terasa berat. Kupandangi 12 digit nomor Handphone dibalik layar bersinar biru. Nomor itu seakan mengingatkanku pada senyuman manisnya. Wangi tubuhnya seperti melintas bersama hembusan angin malam ini. Resah yang meninggi, memaksa tanganku tuk meraih sebungkus rokok yang terdiam pada kantong kanan kemejaku. Kini, sebatang rokok itu terselip pada jemariku dengan bara yang menyala. Gumpalan asapnya bagai lukisan indah wajahnya. Kerinduan itu terasa semakin jelas dihatiku. Ya..aku merindukan gadis berambut sebahu yang Tiga tahun jadi teman sekelasku.

“Halo..ini Kiki yah?”
“Ya..ini siapa?”
“Ini Rendy.”
‘Rendy..Rendy yang mana yah?”
“Rendy teman sekelasmu dulu. Rendy mantan ketua Osis.”
“Oo..Mm, Ren..aku lagi sibuk kerja nih, kamu nelponnya entar aja yah.”

Komunikasi pun terputus. Kuterdiam dengan penuh kecewa. Sepertinya..banyak yang telah berubah. Apa boleh dikata. Aku adalah masa lalu baginya. Ini bukan masa SMA yang dulu. Kini dia punya dunia baru. Dan dia, bukan lagi sang pemuja setiaku.

Handphone yang tergeletak pasrah disampingku, segera kuraih kembali. Kuhubungi kembali Nomor itu. Namun kali ini, hanya sebuah pesan yang kukirimkan. Pesan terkhir..sebelum rindu itu terbuang.
“Sory bangat nih, Ki. Ga ada yang penting kok. Cuman just say’Hai’ N mo nanya kabar aja. Havea nicework yah. Maybe next time I call u again…thanks for the memory’s. Nite.”

New life..aku pikir semua orang kini punya dunia masing-masing. Ini bukan masa SMA yang dulu. Aku sadar..semua telah berubah. Dia, mereka..begitu juga denganku. Sungguh aku sadar dalam hidup tak ada yang abadi. Dulu dia memanggilnku ’sobat’ tapi sekarang aku bagai rumput yang tak terlihat. Belum lepas dari ingatan, betapa ia mencintai dan mengagumiku..namun kini aku bagai jalang yang terlupakan. Aku yakin, bila aku jadi orang sukses mereka akan kembali datang padaku. Dan dia, yang kini telah melupakanku..akan kembali memujaku. Masa lalu dan kini, bagai jejak langkah di atas pasir pantai yang sekejap bisa terhapus oleh deburan ombak. Walau kini jejak itu telah hilang tanpa bekas, tapi aku pernah ada disana, melintasinya..dan tinggalkan sebuah cerita.

“Ren, balik yuk. Besok gw harus kuliah pagi nih.”
“Okeh..gw juga besok mau bimbingan skripsi.”

Ruangan senat yang dipenuhi segerombolan makhluk-makhluk berambut gondrong, kutinggalkan bersama sebuah senyuman. Dengan hangat, mereka mengantarkan kepergianku. Lagu yang tertunda bersama obrolan yang tersisa, mari kita lanjutkan dilain waktu. Ada hal lain yang tengah menungggu..masa depanku. Biarlah mereka menikmati keceriaan malam ini. Aku tak peduli..toh, siapa yang tau dimana aku Empat tahun nanti.
“Last words, before I miss u…thanks for the memory’s.”



Oleh : Didi Roten

Andai Kau Pernah Menoleh Kebelakang

TIT… tit…
Bunyi sms masuk, Grace segera mengambil ponselnya yang diletakkan di meja rias kamarnya. Ternyata sms dari Jeff. Wajah Grace langsung berubah menjadi ceria. Grace membuka sms itu dan membacanya.

“ Grace, gmn klo bsk seplng sklh kt pg jln2 ? Tg ak di t4 biasa, ya ? “ begitulah isi smsnya.

Grace langsung melompat girang, bagaimana tidak ? Walaupun Grace dan Jeff sudah pacaran selama dua tahun, tapi saat – saat mereka bersama sangat amat sedikit, bahkan bisa dihitung dengan jari. Kenapa bisa begitu ? Yaa karena Jeff selalu tak punya waktu. Kenapa Jeff bisa tak punya waktu? Bukan, bukan, dia bukan tipe orang yang bisa mendua, dia sibuk, tepatnya sangat sibuk karena ia aktif di setiap kegiatan OSIS.
Bagaimana tidak ? Dulu waktu kelas I SMU, sewaktu Jeff masih jadi wakil ketua OSIS saja, sudah sibuknya bukan main, apalagi sekarang Jeff malah terpilih sebagai ketua OSIS, tentu saja tambah sibuk.

Sekolah Jeff dan Grace adalah sekolah yang sangat mengandalkan OSIS, setiap kegiatan yang diadakan melibatkan OSIS, bahkan hal – hal kecil seperti menagih uang sekolah, juga harus OSIS yang bekerja. Karena itu seleksi menjadi anggota OSIS sangat ketat, hanya orang – orang yang dianggap berbakat dan pintar mengatur waktu yang terpilih.
Lalu kenapa Jeff selalu terpilih ? Apalagi sebagai pengurus inti, ya itu karena nilai Jeff selalu stabil walaupun dia sudah sibuk sekali, Jeff masih mendapatkan rangking 5 besar setiap semester. Kenapa bisa begitu ? Yaa karena Jeff belajar setiap malam, dan hal itu pula yang membuat Jeff tidak bisa selalu membuat janji dengan Grace, apalagi hampir setiap hari ada ulangan, lalu pada saat tidak ada ulangan, barulah mereka bisa janjian, itu juga kalau Jeff tidak ada kegiatan OSIS dan sejenisnya.
Jangan kira waktu pelajaran mereka masih bisa bertemu, sialnya, kelas Grace dan Jeff berbeda, jadi mereka hanya bisa bertemu saat istirahat, itu juga kalau Jeff tidak ada rapat dadakan.
Begitulah hubungan Grace dan Jeff selama dua tahun terakhir. Siapapun tidak akan menyangka kalau hubungan mereka akan tetap berjalan sampai sekarang, bayangkan saja, dua tahun lamanya.

***

Grace menendang batu kerikil yang ada di hadapannya, semua kekesalannya dilampiaskan ke batu itu. Tapi ia masih belum puas, ia mulai mencari sasaran baru, dan pohon besar di sebelahnya pun menjadi sasaran barunya, ditendang – tendang pula pohon itu dengan kaki kanannya.
Beginilah perasaan saat menunggu Jeff. Dulu sih waktu pertama kali mengalami kejadian seperti ini, Grace malah senang, ia malah bilang perasaan menunggu Jeff itu justru sangat menyenangkan, tapi kalau sudah dua tahun berturut – turut begini siapa yang tidak kesal ?
Grace mengeluarkan Hpnya dan mulai menelepon Jeff. Sial … hp Jeff tidak aktif. Grace melirik jam tangannya, sudah jam setengah empat sore. Padahal bel pulang berbunyi jam satu siang. Sebenarnya Grace ingin sekali menghampiri Jeff, tapi ia tidak tahu Jeff ada di mana. Memang Grace juga bisa mencari Jeff di sekeliling sekolah, tapi bagaimana jika nanti sewaktu Grace pergi, Jeff malah datang, Grace kan tidak tega membuat Jeff menunggu.
Akhirnya penantian Grace pun berakhir, Jeff datang. Jeff berlari ke arah Grace. Sambil terengah – engah Jeff berkata, “Grace, maafkan aku, tadi ada rapat dadakan karena ada perubahan jadwal kegiatan, jadi aku… “

“Tidak apa – apa, sekarang pun kita masih bisa pergi “ jawab Grace mengusap kening Jeff yang berkeringat dengan sapu tangannya.
“Tapi, sekarang rapat masih berlangsung, dan aku tidak tahu kapan selesainya, karena kami harus mengatur ulang jadwal, jadi mungkin harus memakan waktu lama. Aku tidak mau kamu lama menunggu, jadi lebih baik kamu pulang saja dulu, nanti kita atur lagi janji kita, maaf lagi – lagi aku ingkar janji “

Kata – kata yang sudah dihafal Grace, mungkin Grace lebih hafal kata – kata itu daripada pelajaran – pelajarannya, karena kejadian seperti ini bukan pertama kalinya dialami Grace. Air matanya hampir saja keluar, tapi dengan sekuat tenaga, Grace mencoba menahannya selama mungkin, seperti yang biasa dilakukannya.
Grace tetap tersenyum, walaupun sebenarnya hatinya sedang menangis. “Aku mengerti, baiklah aku akan pulang sendiri, kamu tidak perlu khawatir, lagipula rumahku kan dekat sini. Lebih baik kamu segera kembali, rapat kan tidak bisa berjalan tanpa ketua”

“ Baiklah, kalau begitu, aku pergi dulu, ya ? “ ucap Jeff.

Sebelum berbalik, Jeff masih melihat senyum Grace yang membangkitkan semangatnya. Baginya, Grace adalah gadis paling pengertian di dunia.
Saat Jeff membelakangi Grace dan berlari pergi, air mata Grace langsung menetes. Ia hanya bisa menatap punggung Jeff dari belakang yang makin lama makin menjauh.
Grace terjongkok di tempatnya berdiri, seluruh tubuhnya lemas. Ia terus berpikir, mengapa kejadian ini terulang lagi ? Ia bagaikan seseorang yang mempunyai seribu nyawa dan harus merasakan sakitnya dibunuh berkali – kali sampai nyawanya habis. Sampai kapan ia harus merasakan semua ini ? Bagaimana kalau ternyata nyawanya bukan ribuan, tapi jutaan ? Tak terbayang bagaimana sakitnya.

“Gua bener – bener kesel sama lu, kenapa sih nggak lu tinggalin aja cowok kurang ajar kayak gitu ? Dan gua juga nggak ngerti kenapa lu masih mau aja pacaran sama dia, padahal kan selama lu pacaran sama dia, bukan bahagia yang lu rasain , tapi sedih mulu. Yah, kayak gini ini nih yang selalu lu rasain, kok lu nggak kapok – kapok, ya ? Padahal kan masih banyak laki – laki di dunia ini, Grace ! Bahkan selama ini juga banyak cowok – cowok yang nembak lu, ya walaupun mereka nggak lebih ganteng daripada Jeff, tapi kan masa sih nggak ada satupun yang bisa memikat hati lu?” Uucap Lola yang datang menghampiri Grace.

“Tapi aku benar – benar menyukainya, menjadi pacarnya adalah penungguan terbesar dalam hidupku, aku tidak mungkin melepaskannya begitu saja hanya karena hal – hal sepele “ jawab Grace diselingi isak tangisnya yang menyedihkan.

Lola pun tak tega memarahi Grace lagi, melihat keadaannya yang begitu memprihatinkan.

“ Ya udah, gua nggak ngomong lagi. Ayo, gua anter pulang ! “

***

Jeff melambaikan tangannya kepada teman – temannya yang naik ke mobil angkutan umum sambil tersenyum.

“Kelihatannya lu seneng banget, ya ? “ kata Lola yang tiba – tiba menghampiri Jeff.

“Lola, kenapa kau bisa di sini ? “ tanya Jeff.

“Rumah gua kan di seberang sekolah, apa anehnya gua ada di seberang rumah gua ? Emang ada Undang – Undang yang mengatakan seseorang nggak boleh berada di seberang rumahnya sendiri?” jawab Lola dengan nada sinis.

“Oh, begitu, baiklah, aku pulang dulu, ya ! “ ucap Jeff santai.

“ Tunggu, ada yang mau gua bicarain sama lu “

“ Ada apa ? “

“ Gua mau nanya satu hal sama lu. Sebenarnya antara Grace dan OSIS, lu pilih yang mana sih ? “

Jeff tertawa, “Apa – apaan ini ? Benar – benar pertanyaan konyol, tentu saja aku pilih Grace, memangnya Grace bisa dibandingkan dengan OSIS ? Kalau tidak ada Grace, aku mana punya semangat untuk melakukan kegiatan OSIS ? Grace adalah sumber kekuatanku, tanpa Grace, aku bukan apa – apa, karena tanpanya, aku tidak bisa melakukan apa – apa “

“Wah, gua salut sama lu ! Kata – kata lu itu bagus sekali dan enak didenger, apa waktu lu nyakitin hati Grace berkali – kali lu juga mengucapkan kata – kata seindah ini ? “

“Apa maksudmu ? Aku mengecewakan Grace ? “

“Lebih mementingkan OSIS, trus mengesampingkan perasaan Grace apakah itu namanya bukan nyakitin hati Grace ? Mengingkari janji dan bikin dia nangis berkali – kali apa itu namanya bukan nyakitin hati Grace ?” suara Lola mulai meninggi.

“Mengesampingkan Grace ? Membuatnya menangis ? Apa yang kau bicarakan ? Jika yang kau maksud aku sibuk mengurusi OSIS, Grace saja bisa mengerti dan selalu mendukungku, kok ! Mengapa malah kamu yang berteriak – teriak seperti orang minta keadilan padaku ? Dan soal aku membuatnya menangis, itu adalah hal yang tidak mungkin, mustahil, kamu tahu ? Kemungkinannya adalah nol. Grace kan adalah seorang gadis yang ceria, periang dia tidak mudah menangis.” bantah Jeff.

“Jadi lu nggak pernah liat Grace nangis ? “

“Karena Grace memang tidak pernah menangis “ Jeff ngotot.

“Pantes, udah beribu – ribu kali gua liat adegan lu ninggalin Grace sendiri, tapi sekarang gua baru sadar kalo lu nggak pernah sekalipun menoleh ke belakang waktu lu pergi “

“Apa maksudmu ? Mengapa aku harus menoleh ke belakang ? “ tanya Jeff penasaran.

“Pikir aja sendiri “ ucap Lola yang kemudian pergi.
Jeff masih berdiri terpaku, ia berpikir, tapi tak lama kemudian, ia tersenyum sambil menggeleng – gelengkan kepala.

“Benar – benar tidak masuk akal “

Jeff pun pulang, tapi selama perjalanan pulang, kata – kata Lola selalu memenuhi kepalanya. Kepalanya serasa mau pecah. “ Mengesampingkan Grace, membuat Grace menangis “ kata – kata itu selalu terngiang – ngiang di kepalanya.
Untuk menghilangkan rasa pusing di kepalanya dan rasa capeknya karena sudah bekerja keras seharian, setelah mandi dan makan malam, Jeff pun tidur.

“Mengesampingkan Grace, membuatnya menangis, kau jahat ! KAU JAHAT !!! “ suara – suara itu memenuhi kepala Jeff.

“Tidak !!!!! “ Jeff berteriak cukup keras, ia pun bangun dari mimpi buruknya.

Jeff berpikir, ia membayangkan Grace yang ia kenal, yang ada di pikirannya hanyalah Grace yang ceria, periang, selalu tertawa, tidak ada Grace yang pendiam, sedih dan Grace yang sedang menangis.
Jeff mulai bicara dalam hati “ Dasar Lola, bikin pusing kepala saja, mana mungkin Grace seperti yang ia katakan ? Grace yang kukenal kan bukan begitu ? Tapi … hubunganku dan Grace sudah berjalan dua tahun, tapi waktu kami bersama sangat jarang, kalau dipikir – pikir, ini memang tidak adil baginya. Baiklah, mulai sekarang aku harus lebih baik padanya”.

Jeff melirik jam dinding kamarnya, sudah pukul sebelas malam. Ia berniat menelepon Grace, tapi apakah ia sudah tidur ? Bagaimana kalau mengganggunya ? Ah, coba saja, mungkin ia belum tidur.
Jeff pun menelepon Grace, setelah menunggu beberapa saat, telepon pun tersambung.

“Halo ? “ jawab suara dari ujung sana.
“Halo, Grace – nya ada ? “
“Iya, saya sendiri “
“Oh, Grace, ya ? Ini Jeff, bagaimana kalau besok kita pergi jalan – jalan sepulang sekolah ? “ ajak Jeff.
“Baiklah “ terdengar suara riang dari ujung sana.
“Kalau begitu tunggu aku di tempat biasa, ya ? “
“Oke ! “
“Ya sudah, tidurlah, sudah malam “
“Setelah menutup telepon aku akan tidur “
“ Baiklah, da.dah ! “
“dadah ! “ Grace pun menutup telepon.

Jeff melompat girang, ia merasa seperti pertama kali ia mengajak Grace pergi, ternyata perasaan itu sangat menyenangkan, sudah lama sekali ia tidak merasakannya, bahkan ia sudah lupa perasaan itu.
Tak lama kemudian, telepon kembali berdering, Jeff pun cepat – cepat mengangkat telepon, pasti Grace, mungkin ada yang lupa ia katakan.

“Halo, Grace ? “ Jeff mengangkat telepon.
“Grace ? Gua Justin, gua mau bilang kalo besok kita harus mendekor aula untuk acara yang akan kita adakan sepulang sekolah, inget, jangan telat, ya ? “
“Bukankah minggu depan baru mendekor ? “
“Jadwalnya kan udah berubah, masa lu lupa ? “
“Apa tidak bisa diubah, bagaimana kalau lusa ? “
“Mana bisa, waktu kita sangat mepet. Lagian kita kan udah bicarain semua ini di rapat tadi siang. Pokoknya gua nggak mau tau, lu harus dateng, lu kan ketua OSIS. Jangan telat, ya ! “ Justin menutup telepon.

Seketika itu juga kepala Jeff jadi pusing. “Bagaimana ini ? Ah, telepon Grace saja untuk membatalkan janji, tapi … bukankah dia sudah tidur? Lebih baik jangan mengganggunya, katakan besok saja, ya, besok saja”

***

Grace berjalan menuju pohon di depan gerbang sekolah, tempat ia biasa menunggu Jeff, tapi ternyata di sana Lola sudah menunggu.
“Lola ? Mengapa kau di sini ? “ tanya Grace.
“Udah, mendingan lu pulang aja, dia nggak bakal dateng. Kemaren aja waktu gua omelin dia masih bisa membela diri, sampai kapan pun dia nggak akan sadar “ jawab Lola.
“Apa ? Apa yang kau lakukan ? Kau memarahi Jeff ? Mengapa kau lakukan itu ? “
“Gua cuma nggak suka ngeliat pemandangan yang nggak menyenangkan di depan rumah gua “
“Kau tahu ? Kau tidak berhak melakukannya, ini adalah urusanku, tolong jangan ikut campur “
“Terserah lu lah ! Dasar keras kepala ! “ Lola pun pergi.

Setelah Lola pergi, Grace pun mulai berpikir, apakah benar apa yang dikatakan Lola ? Apakah Jeff akan datang ?
Grace pun mulai menunggu Jeff seperti biasanya. Tak lama kemudian Jeff datang menghampirinya.
Betapa senangnya Grace, ia pun tersenyum lebar. Lola memang salah, lihat saja, buktinya hari ini Jeff datang lebih awal dari biasanya, dia tidak lagi membuat Grace menunggu, itu berarti yang dikatakan Lola tentang Jeff salah.
Jeff menghampiri Grace sambil terengah – engah.

“Kau sudah datang ? “ tanya Grace sambil tersenyum.

Saat itu, hati Jeff seperti ditimpa oleh ribuan batu, rasa bersalah menimpanya, menikam hatinya. Melihat senyum Grace yang begitu manis, hatinya malah terasa sakit, karena yang akan dikatakannya kepada Grace hanya akan membuat Grace sedih, ia tidak tega melakukannya, tapi dia tidak punya pilihan.
Wajah Jeff penuh rasa bersalah, ia berusaha berkata – kata, tapi mengeluarkan satu kata rasanya seperti mengangkat ribuan gunung dengan tangannya, berat, berat sekali.

“Grace… aku… “ Jeff menundukkan kepala, ia tak sanggup lagi berkata – kata.

Melihat ekspresi wajah Jeff, Grace pun tau apa yang terjadi. Matanya mulai berkaca – kaca, tapi dengan segera ditahannya air mata yang akan membanjiri pipinya itu. Grace tidak pernah mau memperlihatkan air matanya pada Jeff, karena ia tahu, hal itu hanya akan membuat Jeff sedih dan ia sangat tidak mengharapkan hal itu. Daripada membuat Jeff sedih, ia lebih rela menelan kesedihan itu sendiri.
Grace pun memasang senyum manisnya. “Pasti kau berhalangan lagi kan ? Tidak apa – apa, kok ! “
Jeff mengangkat kepalanya, saat itu ia melihat senyuman Grace yang begitu ceria. Kali ini Lola benar-benar ngawur, beginilah Grace yang ia kenal, tidak seperti yang dikatakan Lola.

“Jangan khawatirkan aku, ingat aku selalu mendukungmu. Jangan kecewakan aku, ya ? Buat aku bangga, lakukanlah tugasmu dengan baik “ hibur Grace.

Jeff pun membalas senyum Grace. Beginilah Gracenya Jeff, di saat – saat seperti ini cuma Grace yang bisa menghibur Jeff “Baik, kalau ada dukunganmu, aku tidak akan takut apa pun. Semuanya pasti dapat kulakukan dengan baik. Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu, ya ?”
Grace tersenyum sambil menganggukkan kepala. Jeff pun segera berbalik dan berlari menjauhi Grace.
Saat itu, tiba – tiba saja rasa penasaran menghampiri Jeff. Kepalanya di penuhi oleh sebuah kalimat “Pantes, udah beribu – ribu kali gua liat adegan lu ninggalin Grace sendiri, tapi sekarang gua baru sadar kalo lu nggak pernah sekalipun menoleh ke belakang waktu lu pergi”
Kata – kata itu terus terngiang – ngiang di kepala Jeff. Perlahan – lahan ia pun menghentikan langkahnya , tapi ia masih belum berani membalikkan badannya. Ia takut yang dilihatnya nanti adalah Grace yang sedang menangis. Ia berharap yang akan dilihatnya di belakang adalah Grace yang sedang tersenyum sambil melambai – lambaikan tangannya, dengan begitu, rasa bersalahnya akan berkurang.
Tapi tidak begitu kenyataannya. Saat Jeff berbalik, ia melihat Grace yang sedang menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Jeff pun segera menghampiri Grace dan memeluknya.
“Maafkan aku, Grace ! Maafkan aku ! “ ujar Jeff.
Grace melepaskan kedua telapak tangannya yang menutup wajahnya dan menatap Jeff dengan mata berkaca – kaca.
“Jeff ? Mengapa kau kembali ? “ tanya Grace. Sesaat kemudian sebelum Jeff menjawab, Grace baru sadar kalau ia telah menangis di depan Jeff, ia pun segera melepaskan pelukan Jeff dan berbalik ke belakang. “ Pergi ! Untuk apa kau kembali ? “
“Aku… aku tahu aku memang salah, tapi aku mohon, berilah aku kesempatan untuk memperbaikinya. Aku tidak akan mengingkari janji lagi, aku tidak akan mengecewakanmu lagi “
“Pergi !! Aku tidak mau melihatmu ! “ ucap Grace sambil menutup wajahnya, ia tidak mau Jeff melihat wajahnya yang berlinang air mata.
Jeff mendekati Grace dan membuka kedua telapak tangan yang menutupi wajah Grace. “ Jangan tutupi wajahmu ! Biarkan aku melihatnya ! Tolong, jangan begini ! Kau begini berarti telah membuatku menjadi orang yang kejam “
“Aku … “ Grace menatap Jeff, air matanya terus keluar.

Jeff segera memeluk Grace. “Menangislah ! Menangislah sepuasnya ! Jangan tahan lagi kesedihanmu, jangan simpan kesedihanmu sendiri, kau tidak boleh hanya berbagi kesenangan denganku, tapi kau juga harus berbagi kesedihan denganku, apa kau dengar ? “
Grace pun mengeluarkan semua kesedihannya di da.da Jeff yang bidang. Tak berapa lama, tangis Grace mulai mereda, ia melepaskan pelukan Jeff. “Aku sudah tidak apa – apa, kau kan masih ada urusan, seharusnya kau tidak di sini. Pergi.lah, aku akan menuggumu disini “
“Tidak, aku tidak akan pergi dari sini. Jika aku pergi pun, itu berarti pergi bersamamu, karena hari ini, aku akan mengundurkan diri dari OSIS “
“Tapi… bukankah kau sangat menyukai OSIS ? “
“Benar, aku memang menyukai OSIS, tapi… aku jauh lebih menyukaimu“ ucap Jeff sambil tersenyum.

***

Sementara itu …
“ Akhirnya gua bisa liat pemandangan indah di seberang rumah gua “ kata Lola sambil menyendok nasi goreng buatan maminya.

-SELESAI-


Oleh : Lusiana