20 Oktober 2009

Last Words, Before I Miss U


New life… aku pikir semua orang kini punya dunia masing-masing. Ini bukan masa SMA yang dulu. Aku sadar..semua telah berubah. Dia, mereka..begitu juga denganku. Sungguh aku sadar dalam hidup tak ada yang abadi. Dulu dia memanggilnku ’sobat’ tapi sekarang aku bagai rumput yang tak terlihat. Belum lepas dari ingatan betapa ia mengagumiku..namun kini, aku bagai jalang yang terlupakan.

Suara berisik ada dimana-mana. Riuh rendah hingarnya tawa beradu dalam gema. Wajah ceria terlihat pada mereka yang terperangkap dalam ruangan ini. Siapa yang tak gembira, bila guru kimia yang super galak itu tiba-tiba berhalangan masuk hari ini. 3 IPA 2, tetangga sebelahku, mungkin iri dengan kegirangan yang tengah berlangsung di kelasku. Biarlah mereka memeras otak sampai botak mempelajari rumus-rumus setebal kamus. Aku tak peduli..toh, siapa yang tau dimana aku Empat tahun nanti.

”Sob, kantin yuk.” Teriak Jamal, kagetkan lamunanku.
“Entaran aja dech, perut gw belum laper nih.” Jawabku menolak.
“Halah..bilang aja lo lagi enak diliatin si Kiki.” Cetusnya sok tau.
“Hahaha.”

Aku mengenal gadis ini sejak Tiga tahun yang lalu. Sejak itu pula, aku tau betapa ia mengagumiku. Namun ada alasan yang mebuatku tetap jadikan ia pengagum paling setiaku. Apalagi kalau bukan atas nama cinta. Aku tak mencintainya, hanya sedikit suka. Sepanjang tahun, tetap kujadikan ia begitu. Lelah..sepertinya ia tak pernah lelah. Hari berganti, tahun pun berlalu..namun ia tak pernah berubah.

Sang lelah serasa tengah menelanjangiku. Ditambah lagi anak Kls 1 gebetan baruku yang selalu haus belaianku. Maka jadilah aku orang paling sibuk sepanjang waktu.
“Say, pulang sekolah aku tunggu depan gerbang yah.” Ucapnya dengan lembut.
“Mmm, sory Vi, hari ini aku harus nganter Mama ke Airport.” Ucapku polos tanpa dosa.

Pada bangku taman sekolah kududuk sendiri. Tanpa sobat, ataupun teman sejawat. Sejenak kuberpikir dan merenungi masa-masa yang telah terlewati. Lalu pada ujung kesadaranku, terbersit sebuah keputusan pasti. Aku harus mengakhiri semua kebodohan ini. Masa depan yang tengah menanti jauh lebih berarti. Bagaimana mungkin sisa waktu Tiga bulan ini kulewati dengan berleha-leha. Nongkrong sana-sini, keluyuran kemana-mana. Percuma bikin hati teman senang dengan menuruti apa mau mereka. Toh saat ujian akhir nanti, mereka tak berarti. Kesuksesan itu memang harus diraih dengan tangan sendiri. Dia, juga mereka..hanya bisa memandangiku bila kegagalan itu tiba. Tak berucap kata, bahkan mungkin tak disapa. Sebelum semua berkhir sia-sia..detik ini juga semuanya harus berubah.

“Kok Mama dari tadi senyum-senyum seh? Ada yang lucu?” tanyaku penasaran.
“Enggak..Mama cuman senang aja liat kamu jadi rajin belajar. Ada apa yah, kok tumben-tumbenan gini? Ucap Mama sembari bercanda.
“Wajar lagi Ma, Tiga bulan lagi kan mau UAN. Kalau ga belajar dari sekarang, gimana mau bisa lulus.”
“Oke dech..Mama mau kedapur dulu, siapain makanan buat kamu”

Ada awal, pasti ada akhir. Seperti kata mereka, perpisahan itu selalu menyedihkan. Layaknya mendung pagi ini, hati ini juga terasa bagai diselimuti kabut tebal. Mata yang berkaca-kaca jelas kulihat diwajah mereka. Sebagai mantan ketua Osis, aku diberikan kehormatan untuk menyampaikan kata-kata perpisahan. Lama kuterdiam memandangi mereka yang berbaris rapi di lapangan sekolah pagi ini. Bagai kehabisan kata-kata, tak sadar kumeneteskan air mata. Mereka yang ada disana sepertinya juga sama. Tanpa sadar, pandanganku mengarah pada sesosok gadis yang kerap tawarkan sebuah senyuman. Dialah sang pemuja. Teman sekelasku selama Tiga tahun, yang cintanya tak pernah kuhiraukan.

Tatapan itu seakan tiupkan mantra cinta dihatiku. Sadarku seakan tiba, bahwa aku juga menyukainya. Ego itu kini telah hancur. Tembok kesombongan yang selama ini memungkiri rasa suka itu kini telah rubuh. Tapi..kenapa baru saat ini. Tak habis pikir dengan apa yang berlaku. Aku mencintainya, dipenghujung indahnya masa-masa SMA.
“Wahai sang waktu..aku ingin membunuhmu!”

Tiga minggu kucoba menghubunginya, namun semuanya sia-sia. Semua teman telah kutanya, namun ia bagai hilang tanpa berita. Rumah dinas orang tuanya juga tak bisa berkata apa-apa, karna kini telah kosong tak berpenghuni. Kini aku terhimpit sempitnya putaran waktu. Sebentar lagi aku harus berangkat meninggalkan kota ini. Namun, yang kucarai belum kutemukan juga. Langkah ini terasa berat oleh kata yang belum sempat terucap.
“Wahai sang waktu..kenapa kau cepat sekali berlalu?”

Menuju bandara, kulewati sekolahku yang dulu. Ia terlihat muram dengan tetesan hujan. Namun kenangan indah di dalamnya senantiasa tawarkan sebuah senyuman. Banyak waktu kuhabiskan disana. Tempat dimana setiap detiknya begitu ceria. Dan, di tempat ini juga kukenal dia. Dibangku sudut dekat jendela, tempat biasa ia duduk memandangiku diwaktu senggang tak bertuan. Bila ia berucap dekat padaku, wangi itu bagai sekuntum bunga. Yah, dia bagai bunga..bagai bunga dibalik jendela kaca.
“Wahai sang waktu..imgat kah kau saat-saat indah itu?”

Dari balik kaca mobil, rindu itu terucap. Kerinduan pada dia yang selalu tersenyum manis untukku.

“Trrrrrt..” getar Hanphone dalam kantong celana jeansku terasa begitu mengagetkan lamunanku akan masa yang lalu. Saat pesan itu terbaca, sungguh aku sangat merasa bahagia. Bagaimana tidak..Pencarian Empat tahun akhirnya terjawab. Rasa senang itu begitu dahsyat. Bahkan buatku hingga tak bisa berteriak. Dengan segera kuucapkan rasa terimaksih terdalam kepada si pengirim pesan barusan. Dia lah sahabat lamaku yang telah berhasil menemukan Nomor Handphone Kiki Amelia, sang pemuja yang telah lama hilang.

Rasa sabar, sudah tak ada. Kuingin segera hubungi dia. Namun, tiba-tiba kuterdiam. Sejuta pertanyaan timbul tenggelam dalam benakku. Bukan kah masa itu telah lama berlalu. Dia cintaku Empat tahun yang lalu..masih kah kini rasa itu ada? Hp dalam genggaman seperti terkejut melihatku. Gejolak itu tiba-tiba padam..seakan hilang dalam hembusan malam.

“Huh..”
Hembusan nafasku terasa berat. Kupandangi 12 digit nomor Handphone dibalik layar bersinar biru. Nomor itu seakan mengingatkanku pada senyuman manisnya. Wangi tubuhnya seperti melintas bersama hembusan angin malam ini. Resah yang meninggi, memaksa tanganku tuk meraih sebungkus rokok yang terdiam pada kantong kanan kemejaku. Kini, sebatang rokok itu terselip pada jemariku dengan bara yang menyala. Gumpalan asapnya bagai lukisan indah wajahnya. Kerinduan itu terasa semakin jelas dihatiku. Ya..aku merindukan gadis berambut sebahu yang Tiga tahun jadi teman sekelasku.

“Halo..ini Kiki yah?”
“Ya..ini siapa?”
“Ini Rendy.”
‘Rendy..Rendy yang mana yah?”
“Rendy teman sekelasmu dulu. Rendy mantan ketua Osis.”
“Oo..Mm, Ren..aku lagi sibuk kerja nih, kamu nelponnya entar aja yah.”

Komunikasi pun terputus. Kuterdiam dengan penuh kecewa. Sepertinya..banyak yang telah berubah. Apa boleh dikata. Aku adalah masa lalu baginya. Ini bukan masa SMA yang dulu. Kini dia punya dunia baru. Dan dia, bukan lagi sang pemuja setiaku.

Handphone yang tergeletak pasrah disampingku, segera kuraih kembali. Kuhubungi kembali Nomor itu. Namun kali ini, hanya sebuah pesan yang kukirimkan. Pesan terkhir..sebelum rindu itu terbuang.
“Sory bangat nih, Ki. Ga ada yang penting kok. Cuman just say’Hai’ N mo nanya kabar aja. Havea nicework yah. Maybe next time I call u again…thanks for the memory’s. Nite.”

New life..aku pikir semua orang kini punya dunia masing-masing. Ini bukan masa SMA yang dulu. Aku sadar..semua telah berubah. Dia, mereka..begitu juga denganku. Sungguh aku sadar dalam hidup tak ada yang abadi. Dulu dia memanggilnku ’sobat’ tapi sekarang aku bagai rumput yang tak terlihat. Belum lepas dari ingatan, betapa ia mencintai dan mengagumiku..namun kini aku bagai jalang yang terlupakan. Aku yakin, bila aku jadi orang sukses mereka akan kembali datang padaku. Dan dia, yang kini telah melupakanku..akan kembali memujaku. Masa lalu dan kini, bagai jejak langkah di atas pasir pantai yang sekejap bisa terhapus oleh deburan ombak. Walau kini jejak itu telah hilang tanpa bekas, tapi aku pernah ada disana, melintasinya..dan tinggalkan sebuah cerita.

“Ren, balik yuk. Besok gw harus kuliah pagi nih.”
“Okeh..gw juga besok mau bimbingan skripsi.”

Ruangan senat yang dipenuhi segerombolan makhluk-makhluk berambut gondrong, kutinggalkan bersama sebuah senyuman. Dengan hangat, mereka mengantarkan kepergianku. Lagu yang tertunda bersama obrolan yang tersisa, mari kita lanjutkan dilain waktu. Ada hal lain yang tengah menungggu..masa depanku. Biarlah mereka menikmati keceriaan malam ini. Aku tak peduli..toh, siapa yang tau dimana aku Empat tahun nanti.
“Last words, before I miss u…thanks for the memory’s.”



Oleh : Didi Roten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamu bisa memberikan masukan, kritik dan saran untuk entry cerpen ini. Kata-kata kalian sangat membantu. Terima Kasih...