21 Februari 2011

Karena Diriku Seorang Emak 2

Semakin bertambah usiaku dengan hari-hari yang berlalu penuh penyesalan dan air mata. Udara dihatiku menjadi badai yang menyeruak mambuat aku terus mearasakan kesedihan diri atas anak-anakku. Terakhir ku dengan semua anakku sudah menikah dan Rukha baru melangsungkannya sebulan yang lalu. Sesak rasanya hatiku sebagai emak mereka. Tak satupun dari pernikahan mereka ku saksikan, bukan karena aku tak mau, tapi karena aku sangat malu dan sudah tak punya muka dihadapan maereka. Aku hanya bisa berdoa dari sini, agar mereka selalu diberi kebahagian dan agar aku diampuni, ampun untuk dosa yang tak terbendung karena telah mendurhakai putra-putriku.

Aku sudah tak muda lagi, sekarang umurku hampir 70 tahun. Badan ini rasanya sudah aus dimakan zaman, lemah dan sakit-sakitan. Begitu halnya dengan mas Seno, tapi dia lebih kuat dari pada aku. Di usianya yang lebih dari 70 tahun dia masih sehat dan jarang sakit, dia pula yang selalu mengurusku yang sudah tua retah dan sakit-sakitan. Sakitku bukan dibadan saja, rasa sesal di hati ini yang lebih menyakitkan hingga tubuh juga ikut ambruk tak berdaya. Yang kuingat selalu adalah putra-putriku, aku ingin sekali bertemu mereka sebelum aku mati. Aku tidak ingin mati menjadi bangkai penuh dosa... aku ingin sekali memeluk mereka, meskipun maaf baru kudapatkan dengan mencium kaki mereka. Aku rela demi ampunan anak-anak terhadap emaknya yang takberdaya ini.

Hati terus bersambung darah tak henti beralir, Yudi anak sulungku datang ke kalimantan bersama istrinya. Aku sangat pangling sekali dengannya. Anakku yang kutinggal saat masih remaja kini telah menjadi seorang bapak. Dia melihatku tak berdaya dipembaringan, lemah, sakit, dan tua sekali. Aku hanya dapat menangis bila memandang wajahnya, aku teringat berpuluh-puluh tahun silam, aku telah menelantarkannya  dan tidak memberikan dia kasih sayang. Dia datang untuk menjemputku, membawa aku kembali pulang ke jawa. Yudi dan istrinya merawatku selama seminggu di rumahku, hingga aku mengiyakan untuk ikut dia kembali ke jawa, aku rindu Huda, Rohmah, dan Rukha. Memang aku sudah lupa rupa mereka tapi aku masih ingat telah melahirkan mereka dan aku adalah emaknya meski hanya emak tak tahu diri.

Mas Seno tidak ikut kembali ke jawa karena dia masih mempunyai kewajiban di desa imigrasi itu sebagai abdi kelurahan di perkebunan. Akhirnya hanya aku yang ikut bersama Yudi dan Sani, menantuku. Aku sudah ingin bertemu anak-anakku yang lainnya hanya untuk meminta maaf. Memohon ikhlasnya hati mereka atas segala salahku di masa laluku, masa dimana aku seharusnya memberi kebahagiaan pada putra-putriku bukan mengukir luka yang meradang seperti saat ini.
***

Sampai di rumah Yudi aku aku disambut anak-anak Yudi yang sangat baik sekali kepadaku. Yudi bukanlah orang kaya, ia hidup sederhana dengan keluarganya, tapi ia sangat menyangi anak-anaknya, hingga rumah kecil dan bersahaja ini  menjadi selalu hangat dengan kebahagiaan. Lain dengan mendiang bapaknya dulu yang kaya raya karena keuletannya menjaga warisan keluarga, sosok putra sulungku ini sangatlah bersahaja. Ia hidup dengan keringatnya sendiri, jerih payahnya selama ini untuk kebahagiaan keluarganya. Melihat kenyataan ini hatiku ngilu sekali, mengingat dulu mas Parman adalah tuan tanah yang dihormati, sedang anakku tidak mendapatkan apapun dari dirinya karena aku, karena khilaf yang membutakan mataku untuk menghabiskan seluruh kekayaan mendiang suami pertamaku demi menikmati kesenangan dunia yang semu.

Sembilu berdarah merajam qalbu, menusuk dalam ke uluh hati. Sakit, perih dan panas. Seakan bara api keabadian tak kunjung padam, kekal dibawa mati. Anak-anakku juga berhati, merasa disakuti dan dikhianati oleh ibundanya sendiri. Setelah sekian lama ternyata luka itu tak lekas mengering, jangankan terangin angin... perih tersiram garam rasanya dengan kedatanganku lagi dihadapan mereka.

Sehari setelah kedatanganku di rumah Yudi, ketiga anakku lainnya datang menengokku. Huda dan Rohmah datang di sore harinya dengan istri dan suami mereka, sedangkan Rukha baru tiba di rumah Yudi selepas Maghrib. Putra-putriku bukan anak kecil lagi, mereka telah menjadi manusia dewasa yang tentunya mengetahui tentang konsekuensi kehidupan ini.

Lama mereka menatapku tanpa kata setelah mencium tanganku dengan airmata, airmata yang aku yakin bukan hanya airmata kebahagiaan namun merupakan luapan emosi kepadaku selama ini antara senang, kecewa, sedih dan trauma akan masa-masa yang denganku berupa ukiran pahit dariku.

Bayang-bayang masa lalu kembali menyapaku, menuntut keadilan.... meminta pertaanggung jawaban dan menyeretku dalam kedukaan yang melukai hatiku dengan belati beracun yang kupegang sendiri. Sesak dada ini, bahkan paru-parupun seakan tak mau menerima udara lagi untukku. Ku iklhaskan jiwa dan raga atau apa pun yang tersisa pada tubuh yang tua ini sebagai bayaran maaf dari darah dagingku...

”Mak, malang dirundung sengsara... hati ini beku jauh dari kasih sayangmu......., kami memang anakmu Mak, tapi pernahkah kau menjadi ibu kami selama ini..... siapa yang membelai kami disaat menangis, siapa yang merawat kami saat sakit.... bukan emakkan...!!!!! bulek Tri dan Bulek Sari yang memeluk kami dalam suka duka kami, bahkan saat kami kelaparan dan bapak kesakitan.... emak kah yang menyuapkan kasih sayang pada kami??????????????!!!!!!! Tidak Mak!!! Emak tidak pernah mengenal kami, karena kami hanyalah tumbal untuk mengganti kekayaan bapak yang emak Tuhankan”

”Maafkan emak Rohmah..... emak salah”

”tidak mak!!! Semua ini tak berarti” luka di hati Rohmah membara menyakitkan

”sudah mbakyu.... beliau emak kita..” pelukan Rukha menghambur ke mbakyunya yang tak kuasa menahan gejolak di hatinya....

”maaf kan emak nak....” hanya kata itu yang mampu ku ucapkan..... aku sudah takpantas mengucapkan apapun didepan anak-anak ku, bibir rasanya kelu.... suara pun hilang, berat memohon ampun diri.

Kamar ini saksi kehidupanku, saksi sebuah sidang dunia atas nestapa dan salah kepada para penghuni rahim yang menghujatku, Tuhan adalah seagungnya hakim... sedangkan aku hanyalah terdakwa yang tak berdaya... tanpa kebenaran... tanpa pembelaan.... yang kuharapkan hanyalah pelukan ikhlas dari hati para penghujatku sehingga Hakim dapat kembali tersenyum kepadaku dan rela menaungiku kelak...

Huda tetap diam dalam kekecewaan padaku... tak sepatah katapun ia ucapkan, hanyalah tatapan pilu yang melelehkan perasaanku.....

”Rohmah! Sudahlah...”  Yudi memeluk adik-adiknya, kemudian dia membelaiku dan mencium keningku.... kurasakan hangatnya hati  anak sulungku ini, hati yang penuh kasih sayang kepadaku.

”Maaf kan emak Nak..., emak salah, emak durhaka,.. emak berdosa.... balaslah emak nak..... pukul nak... pukul saja emak ini... emak rela mati asalkan kalian semua memaafkan emak” aku tak tahu harus mengatakan apalagi....

”Sampun Mak..... Cukup, kami anak-anakmu... kami berhutang nyawa padamu mak.... tidaklah pantas kami mendendam padamu Mak”  Yudi mencium tanganku dengan airmata yang semakin menyesakkan saja.

”Rohmah, Rukha, Huda... adikku...., cukup!!! Tidak pantas kalian terus memojokkan Emak.... hilangkan dendam kalian... tahanlah emosi kalian.... coba lihat diri kita sendiri..!!!! memangnya apa yang telah berikan kepada Emak... nggak ada kan... sedangkan hidup kita bila bisa digadaikan takkan sanggup mengganti peluh yang menetes dari raga Emak saat kelahiran kita...!!!!”

kata-kata Yudi dingin sekali menyentuh hatiku..... bara ini serasa padam dari api abadi penyesalan hidupku selama ini. Lega rasanya.... tangan-tangan anakku kembali menghangatkan rongga keputusasahan yang membeku selama ini. Yudi, Huda, Rohmah, Rukha.. tak kuasa menahan tangis mereka, memelukku, menciumku..... hangat rasannya..... aku bahagia sekali.... aku baru merasakan terlahir didunia ini sebagai seorang ibu, meskipun terlambat... aku sangat-sangat bahagia... kebahagian yang sudah sangat lama kulupakan dan kuragukan keberadaannya, namun sekarang kudapat merasakannya..... terima kasih Tuhan....

Diriku tak membeku lagi.. rasa ku membara.... hatiku ringan... aku baru terlahir kembali, kurasakan dunia ini terang benderang..... semua indah terlihat... oh Tuhan, sungguh nikmat kurasakan.....

lambat laun suara anakku terasa jauh, sentuhan hangat mereka sudah tak dapat kurasakan.... tapi hangatnya hati mereka yang penuh kasih sayang kekal di hatiku....  kulihat mas Parman, suamiku tampak sangat tampan sekali, dia tersenyum dan aku ingin berlari memeluknya............

”EMAK...!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
indah dan bahagia yang kurasakan.....
”TIDAK!!!!, EMAK!!!!!....................”

S E L E S A I

Oleh : Zulfikar Alya

14 Februari 2011

Karena Diriku Seorang Emak 1

KARENA DIRIKU SEORANG EMAK
Part 1


Layaknya hutan yang tak bertuan, sepi sendiri di tengah hingar bingar meganhnya dunia. Hanya lemah raga yang menemani dengan penyesalan tiada henti, aduan airmata yang semakin deras saja setiap hari, penuh duka, amarah, kecewa dan sesal, tidak kepada siapapun di sampingku, tapi amarah yang menyesakkakn hati atas diri yang rentah dan hina, berkubang dosa, salah, semu hanyalah bayangan dunia yang membutakan pandangan di masa lalu. Masa lalu yang telah menjadi luka bagi hati-hati yang tak berdosa, bagi raga-raga yang masih lugu, meninggalkan dendam, benci dan kekecewaan

Kamar ini, sepercik air oase bagi padang prahara di hatiku. Memang bukanlah ruangan yang indah dengan ornamen mewah, hanya sebuah bilik kecil. Bilik yang disekat dengan dinding papan kayu seadanya dengan jendela kecil dekat langit-langit. Tapi ini semua adalah isyarat, tanda sayang dan cinta dari putra sulung ku. Anakku yang telah lama ku tinggalkan dan ku abaikan tanpa cinta, kasih serta belaian sayangku. Aku mendurhaki mereka. Aku menyakiti mereka, aku.. aku.. hanya salah padaku atas mereka selama ini.

Aku hanyalah seorang emak yang berkhianat pada kodrat sebagai wanita. Berpuluh puluh tahun yang lalu aku adalah wanita tercantik di desaku, semua mata akan tunduk syahdu memandang eloknya parasku, lelaki manapun pasti tergila-gila dengan rupaku, layaknya bidadari sanjungan dari mereka. Hingga seorang pemuda kaya raya berhasil mempersuntingku sebagai belahan jiwanya. Mas Parman, Suamiku adalah juragan tanah yang makmur, sawahnya terhampar luas di desa itu, hasil panennya terbaik diantara semua petani saat itu, tak heran kalau hidupku serba makmur dan berkucupan. Tiada hal yang mustahil kumiliki, seakan jadi perempuan paling beruntung didunia. Meski hidup di desa, aku bahagia, bersuka atas semua hal yang dipenuhi suamiku dan atas segala penghormatan penduduk desa kepadaku sebagai wanita terhormat dan kaya raya

Hidup dengan kesempurnaan adalah hari-hariku, harta yang berlimpah, kehormatan yang tinggi dan suami yang selalu mencintaiku. Dia sangat memujaku, atas kecantikannku yang luar biasa menurutnya, lebih lebih aku telah bisa menghadiahinya anak-anak dambaannya. 5 tahun menikah kami sudah memilki 3 anak, 2 laki-laki dan seorang perempuan, Yudi, Huda, dan Rohmah. Suamiku sangat menyangi mereka dan selalu mencintaiku sehingga ia sama sekli tidak menginginkanku melelahkan diri untuk mengurus anak-anak kami. Batur- baturpun dibayar oleh mas Parman untuk mengurus gundik-gundik yang kulahirkan, sedangkan aku hanyalah ia minta untuk menikmati apa yang berikan kepadaku dan mempercantik diri untukku.

Hidup dalam kemakmuran dan berkecukupan membuatku menjadi sosok yang lupa segalanya. Duaniapun seakan sudah ada di genggamannku, aku tidak perduli dengan apapun tetek bengek di sekitarku, memperindah diri sendiri adalah hal yang terpenting bagiku. Mas parman memboyongku dari orangtuaku sejak kami menikah, sehingga aku sudah jarang sekali bertemu dengan ke dua saudaraku, Sari dan Tri. Mungkin karena harta yang membutakan hatiku, aku sudah berubah menjadi perempuan sombong dan acuh. Pernah suatu hari Sari datang ke rumahku untuk meminta bantuan, ia mengatakan padaku kalau anaknya sedang sakit keras dan di butuh biaya besar untuk pengobatan anakknya. Entah apa yang kupikirkan waktu itu sehingga aku menolak mentah-mentah kedatangannya yang seperti pengemis, bajunya kotor, lusuh dengan rupanya sudah persis gelandangan, memang waktu itu suaminya hanyalah seorang buruh angkut di pasar, sehari-hari keluarga mereka hidup serba kekurangan, apalagi ditambah dengan anaknya yang sednag sakit parah, semakin terpuruk saja keadaan adikku ini. Tapi itu semua sama sekali tidak membuat hatiku tersentuh untuk membantunya. Aku malu punya saudara seperti dia.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Sari saat itu, tidak dengan membantunya, aku malah mengusirnya. Aku marah padanya, salah sendiri kenapa dia mau menikah dengan orang miskin seperti suaminya itu yang hanya bisa memberikannya penderitaan sekarang saat dia kesulitan aku juga yang direpoti. Aku merasa Sari terlalu bodoh dan aku tak peduli lagi dengan urusannya sekalipun ia meronta-ronta memohon kepada ku tidak ada rasa kasihan di hatiku. Esoknya Sari datang lagi dengan diantar Tri, dan aku tetap beku. Kuusir mereka dan kuminta orang suruhan suamiku untuk menyeret mereka keluar rumahku.

”bagai batu yang tak berhati dirimu mbak, aku tidak akan mengemis padamu lagi. Aku kira sampeyan masih dulurku!!!, sesambung darah dari rahim...., tapi kalau memang ati wis malih rupa, batupun tidak sekeras hatimu.... ” kata-kata itulah yang sampai sekarang benar-benar lekat di benakku sebagai sesal di kemudian hari.

Mas parman tidak pernah marah kepadaku, dia hanya bertutur kalem agar aku besikap baik kepada saudara-saudaraku, tapi aku tetap segala-galanya bagi mas parman sehingga dia tidak akan pernah menggugat buruknya perangaiku. Lebih-lebih setalah aku melahirkan Rukha, anak keempatku. Bertambahlah suka cita dan cinta suamiku kepadaku. Aku telah memberinnya dua anak lelaki dan dua anak perempuan yang didambanya selama ini. Betapa ia merasa sempurna memandangku sehingga kesalahan kesalahanku sudah tak tampak lagi baginya meski ada di pelupuk matanya, yakni tergantikanya kasih sayangku kepada buah hati kami dengan harta dan kekayaan yang kupuja dengan sepenuh jiwa raga.

Yudi, Huda, Rohmah, dan Rukha secara badaniah adalah anak-anakku, darah dagingku dan mas Parman, akan tetapi nyatanya, sehari-hari merekalah putra-putri batur-batur yang kubayar untuk mengasuh mereka. Mereka memanggilku emak, hanya suatu panggilan tentunnya, ada di bibir saja namun tak secuil hati mereka menyebutku benar-bener sebagai seorang emak. Salahku sendiri memang, aku sangat jarang memberi perhatian kepada mereka, hanya uang yang berlimpah kutitipkan pada batur-batur untuk memenuhi segala permintaan anak-anakku. Aku tak sadar kalo itu semua masih jauh dari cukup. Mereka tidaklah bahagia, hati mereka kering dan akhirnya menjdi keras tanpa sentuhan kasih sayangku sebagai emak yang telah melahirkan mereka.

Yudi dan Huda tumbuh menjadi anak yang menyusahkan sekali, berkali-kali mereka berulah disekolah, dihukum gurunya bahkan hingga dikeluarkan. Suamiku sangat marah, sedikit berbeda dengan diriku yang acuh, mas Parman masih memperhatikan anak-anak kami, ia mendidik mereka dengan keras, melatih mental mereka dengan tangannya sendiri, tak heran jika Yudi dan Huda lebih hormat kepada bapaknya. Rohmah dan Rukha sangat menurut pada orang tuanya, meski mereka anak perempuan perhatianku kepada mereka tidak lebih dari perhatianku kepada batur-batur, kasar dan keras. Mungkin tidak salah bagi mereka berempat kalau tidak ada sosok seorang ibu di hati mereka.

***

Sudah belasan tahun kami menikah, bahkan Yudi sudah akan lulus SMP. Hidupku terasa selalu indah dengan kekayaan suamiku, hingga pada suatu saat mas Parman mulai sakit dan semakin hari semakin parah saja sakitnya. Sejak kecil mas Parman biasa hidup soro dan ngonyo dan disinilah mulai terasa lelahnya setalah sekian lama bekerja keras. Yudi dan Huda harus mengganti pekerjaan baapaknya nguusi hasil sawah, tapi tetap saja suamiku ikut mengawasi sambil mendidik mereka karena ia berharap agar suatu saat anakknya bisa mandiri kelak.

Hari berganti, bulan berlalu cepat. Sudah 2 tahun sakit mas Parman tak kunjung sembuh, dadanya sesak dan sering nyeri, dua bualan ini ia hanya bisa tergolek lemah di kamar. Segala pekerjaannya terbengkalai tidak ada yang mengatur bahkan beberapa petak sawah kami harus dijual untuk membiayai pengobatan suamiku. Secara umum ia masih muda, baru 40 tahunan, tapi karena sakitnya yang takkunjung sembuhnya ia tampak sangat tua dan lemah sekali. Karena badannya yang sudah tidak kuat lagi untuk mengurusi kerjanya, keadaan perekonomian keluarga kami pun kacau balau, belum lagi untuk mengobatan mas Parman sendiri yang tidak ada habisnya.

Takdir betul milik Tuhan. Tak lama setelah kondisi suamiku sangat lemah dan sering tidak sadarkan diri, Mas Parman pun menghembuskan nafas terkhir. Meninggalkan kami semua, aku dan anak-anakku tanpa pesan sama sekali. Aku hanya bisa meratap, membayangkan hidupku selajutnya yang sangat menghantuiku. Siapa lagi yang akan menanggung hidupkku dan anak-anaku... entahlah, aku sangat terpuruk sekali waktu itu. Begitu pula dengan anak-anakku yang benar-benar harus kehilangan satu-satunya sosok orang tua mereka yakni, suamiku tercinta.

Kepergian mas Parman membuatku limbung deperti anak ayam kehilangan indukknya, keadaan keluargaku kacau balau. Sepeninggal suamiku aku yang mengurus semua pekerjaannya, selama ini aku tidak pernah ambil bagian dalam urusan ini, aku sama sekali tidak tau menahu bagaimana harus melakukannya. Tapi semua usahaku untuk mengurus peninggalan suamiku hancur, semua pekerja menghilang, aku tidak tahu apa sebab jelasnya, mungkin memang aku tidak pandai mengurus pekerjaan karena yang kutahu selama ini hanyalah bagaimana merias diri dan menghamburkan uang.

Bingung karena sudah tidak banyak lagi kekayaan mas Parman yang tersisa akupun menjual semua sawah yang kami miliki agar aku bisa terus bersenang-senag dengan uang. Aku tak ambil pusing dengan Yudi, Huda, Rohmah, dan Rukha, meski aku ibunya aku tak seberapa kenal dengan mereka selama ini mereka lebih dekat dengan bu leknya atau adik-adikku. Biar Yudi menjadi anak badung sekalipun bahkan sampai dikeluarkan dari sekolahnya aku tak perduli, yang penting bagiku bersenang-senang dan menghamburkan uang. Sampai pada suatu saat aku bertemu dengan mas Seno seorang lelaki yang dapat memikat hatiku kembali. Dia mengaku adalah seorang komandan ABRI, waktu itu tenatara sangat dihormati hingga aku sangat tersanjung. Tak beberapa lama kamipun menikah.

Malang kepalang aku ini, ternyata aku hanya dibohongi oleh mas Seno. Ia bukanlah anggota ABRI, ia hanya tentara gadungan... lebih dari itu dia juga buronan polisi atas kasus pencurian. Selama ini aku kenal mas Seno sebagai seorang yang baik-baik, ia mengatakan kepadaku sedang ditugaskan di desaku, aku percaya saja dan sudah menggantungkan diriku kepadanya. Walaupun aku marah sekali dengan mas Seno aku tidak bisa berbuat apapun karena ku sudah menyerahkan diri sepenuhnya kepadanya. Benar-benar keputus asaan yang kumiliki waktu itu, aku rela kemanapun dan melakukan apapun demi mas Seno, karena aku sudah kalap dan gelap hatiku.

Sebulan setelah pernikahan kami desas desus kebohongan suami ke duaku ini sudah mulai terdengar. Merasa terancam dengan keadaan seperti mas Seno mengajakku untuk pindah ke luar pulau, saat itu di desa tetangga kami sedang ada pendaftaran imigrasi ke kalimantan. Akhirnya kami pun mendaftar dan pindah ke Kalimantan selatan daerah pedalaman, jauh dari kota. Mengetahui rencana seperti itu adik-adikku sangat tidak senang sekali, ia tidak tega membiarkan ke 4 anakku ikut pindah denganku. Aku tidak menghiraukan mereka sama sekali, biar mereka mau menahan anak-anakku disini aku tak perduli, dan itu bagus malahan... aku tidak perlu repot-repot lagi mendengan racauan anak-anak nakal itu. Aku lebih memilih hidup dengan mas Seno dari pada harus ribut mengasuh mereka.

Di kalimantan kehidupan kami tidak semakin baik, kami disana hanya diberi rumah dan lahan untuk memenuhi kehidupan. Tidak seperti mas Parman yang ulet mas Seno adalah lelaki pemalas ia juga tidak pandai mengurus lahannya sendiri hingga kami hanya bekerja menjadi buruh kebun saja selama berpuluh-puluh tahun disana. Setelah jauh dirantau aku jadi sering teringat dengan anak-anakku di jawa. Sudah jadi apakah Yudi dan Huda, sudah menikahkah Rohmah dan Rukha, sesak sekali dadaku ini mengingat mereka. Kehidupan di kalimantan serba susah dan sebuah janji mas Seno hanya bualan. Aku menyesal dan kecewa.

Kadangkala aku mengirim sepucuk surat ke Yudi, anak pertamaku. Sekedar bertukar kabar dan kesusahan kami, selama ini Yudi tidak pernah membalas surat dari ku, ia hanya mengirim wessel berisi sejumlah uang kepadaku. Aku sadar aku tak pantas mengadu kepada mereka, anak-anakku yang telah kusakiti. Suatu hari aku juga berkirim surat kepada Sari dan Tri untuk meminta maaf, dari itu aku baru sadar kenapa mereka begitu menyayangi putra-putriku. Saat mas Parman masih hidup secara diam-diam ia sering membatu keluarga Sri dan Tri, maka dri itu adik-adikku merasa berhutang budi pada mas Parman hingga mereka begitu menyayangi anakku.
 
Bersambung ke bagian 2


Oleh : Zulfikar Alya