10 Juli 2009

Jakarta, 27 Desember

Kamar itu berbentuk persegi, mungil dan sempit. Semua jendela sudah tertutup rapat sehingga cahaya tak seberkas pun kuijinkan masuk. Aku terduduk lunglai di sudut ruangan itu. Sambil menekuk kedua lutut dan memeluknya. Aku menutupi hampir sebagian wajahku dengan topi yang tersambung di jaket merahku. Aku menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Dan pundakku bergetar hebat. Mataku basah.

Sesekali aku memukul-mukul kepalaku, berusaha membuang semua ingatanku akan kejadian sejak kemarin. Namun hal itu tidak pernah berhasil. Membuatku semakin tersiksa dan tenggelam dalam tangisanku. Hatiku selalu berdenyut sakit. Tapi aku tetap tidak bisa menghapus semua ingatan itu.

Aku meremas tanganku semakin kuat. Semakin kuat hingga memerah dan seluruh urat-urat berwarna biru kehijauan itu menampakan diri di balik kulitku yang tipis.

Namun, aku tetap tak bisa mengusirnya dari kepalaku....

Aku mengangkat kepalaku dan menatap liar ke seluruh ruangan. Lalu pandanganku jatuh pada sebuah pigura yang terletak di seberang ruangan, di atas meja belajarku. Aku langsung bangun dengan tak sabar dan bergerak ke sana seperti anjing gila. aku meraih pigura itu dan menatapnya sebentar foto yang ada di sana. Fotoku dan seorang cewek...

Dengan tangan bergetar, aku mencengkeram sisi-sisi pigura tersebut. Sangat kuat sampai-sampai rasanya aku ingin mematahkannya jadi dua. Tepat di tengah-tengah antara aku dan cewek itu. Tapi tenagaku, meski sudah menyimpan amarah, namun tetap saja tidak sanggup untuk mematahkan benda dari kayu dan kaca tersebut.

Air mataku makin mengalir deras. Lalu kulemparkan pigura itu ke arah jendela yang tertutup kain tebal berwarna hitam. Sedikit berbalik arah, pigura itu jatuh tak berdaya. Bagian kacanya hancur berkeping-keping.

Mendadak kakiku lemas. Aku terduduk lunglai tak berdaya.

Sekelebat kejadian kemarin pun kembali berputar tanpa bisa aku hindari lagi...

Hari itu, hujan turun dengan sangat deras. Dan aku sedang berada di sebuah cafe, menunggu kedatangan pacarku. Sudah setengah jam aku duduk di samping jendela, dari cuaca masih sedikit cerah sampai hujan turun dengan sadisnya, sambil memperhatikan orang-orang berlalu-lalang. Namun, pacarku itu belum kunjung datang. Aku berusaha memakluminya karena hujan tengah turun dengan derasnya. Jadi kuputuskan untuk tetap menunggunya sampai dia datang. Meskipun aku harus memesan bercangkir-cangkir cofee late kesukaanku.

Aku masih setia duduk di samping jendela, saat seorang pelayan sudah menyuguhkan pesanan cofee lateku yang ke lima. Tepat saat aku melihat dua orang sosok yang aku kenal melintas di luar jendela, tengah berlari-lari kecil berusaha menghindari hujan, yang adalah pekerjaan sia-sia tentunya.

Mataku langsung memicing. Tanganku langsung mengepal di samping celana cargoku. Hatiku langsung memanas.
Aku sangat mengenal mereka. Kedua orang itu....

Aku langsung berlari ke luar cafe dan meninggalkan cangkir cofee lateku yang kelima itu. Aku berusaha untuk mengejar mereka, menembus hujan, dalam kuasa amarah. Saat mereka berbelok di tikungan, aku ikut berbelok. Dari belakang mereka, aku bisa melihat tawa ceria mereka.

Cih....tidak ada yang tau, aku tengah memendam badai yang lebih dasyat daripada hujan deras saat ini.

Tepat di pinggir sebuah jalanan yang sepi, di depan sebuah restoran yang sudah tutup bertahun-tahun yang lalu, kedua orang itu berhenti. Aku memperlambat langkahku, sementara mengatur napas. Keringat sudah berlebur jadi satu dengan air hujan. Dan udara dingin yang menggrogotiku ini, tetap saja tidak bisa mendinginkan kepalaku.

Aku berjalan pelan-pelan mendekati mereka.

Yak, mereka sadar. Dan mereka menatapku dengan ekspresi terkejut yang luar biasa. Si cewek yang adalah sahabatku, maksudku selama ini kuanggap sahabatku, hanya bisa bersembunyi di balik pundak tinggi si cowok, yang lima menit lalu masih kuanggap sebagai pacarku.

Aku menyeringai. "halo" kataku sambil memamerkan senyuman iblis.

Si cowok seakan tak percaya dengan reaksiku, dia maju selangkah, berusaha melindungi si cewek.

"mau apa?" tanyanya sok pahlawan.

"bukannya kita ada janji di cafe?" tanyaku seakan tak terjadi apa-apa. Yah...aku mengubah topeng mukaku saat itu.

"janji? sejak kapan? bukan nya kamu tau hubungan kita udah putus sejak seminggu lalu?" kata si cowok sambil mengerutkan keningnya.

"putus? hei, setiap sabtu kita selalu ke cafe itu, dan setiap sabtu kamu selalu janji mau datang, kan?" ujarku setengah teriak.

"kamu gila. kamu lupa ingatan. kita udah putus, Tan," bentak si cowok.

Mendengar kata-kata itu, aku langsung berteriak seperti orang gila. Lalu tanpa sadar, aku sudah berlari seperti banteng ke arah si cewek dan dalam sekejap saja, si cewek sudah terkulai lemas dengan darah bersimbah.

Aku menatap tanganku. Sebuah pisau penuh darah ada di tangan kananku. Aku tertawa miris melihat si cowok mengguncang-guncangkan tubuh si cewek sambil memaki-maki ku.

Lalu aku teringat. Pisau...ah ya, pisau ini memang selalu kubawa kemana-mana dan kuselipkan di balik celana cargo ku.

Setelah itu, aku pun langsung berlari, meninggalkan mereka.
Berlari menembus hujan. Berlari pulang ke rumah. Berlari dari masalah. Dan masuk ke dalam kamar, lalu mengunci semua pintu dan menutup semua jendela. Aku membentangkan kain hitam supaya cahaya tidak ada yang bisa menerobos masuk.

Lalu aku pun terduduk di sudut ruangan.


06 Juli 2009

The Really Sweet Strawberry Cream

Akhirnya bel ala ringtone HP itu menjerit nyaring juga, disusul dengan Risa yang melesat cepat demi memenuhi tuntutan perut yang sedari tadi bernyanyi kencang. Yang ada di pikirannya kini hanya satu, Roti krim strawberry Bang Herdi! Perut udah nggak bisa diajak kompromi!!!

“Ris, nitip yah! Roti coklat!” samar-samar Risa mendengar teriakan Hany, yang hanya ditimpali dengan tangan yang melambai dan anggukan kecil.

Risa kini berlari cepat, berusaha menahan gejolak perut yang semakin kencang memainkan orkestra. Tersandung sesekali, terik matahari yang menyiram diri, itu semua belum cukup melunturkan semangat makan Risa yang membara. Setelah sekian lama berlari, akhirnya kantin yang tercinta itu terlihat juga di ujung mata. Roti strawberry… Here I come!

Hatinya mencelos seketika tatkala menangkap sekitar dua lusin anak mengerumuni kios Bang Herdi, tempat menjual roti tersebut. Berusaha mengingat kalau itu hari senin, Risa menepuk jidatnya keras, dan menyesali diri kenapa ia tak berlari lebih cepat kalau sadar Senin adalah hari yang paling banyak dikunjungi oleh siswa. Damn with Monday!

Risa kini berada di barisan paling belakang. Ia berusaha mengintip dari celah tubuh yang bertumpuk dan matanya menangkap sederet roti strawberry yang telah terjual tiga perempatnya. Kini semangat juangnya makin berkobar sementara tangan sibuk menampik tubuh-tubuh tak berdosa di hadapannya. Segala cara harus ia lakukan agar ia bisa mendapatkan roti strawberry itu. Harus!!

Kerumunan mulai mereda, membuat hati Risa berdesir lega untuk sejenak, yang kemudian langsung panik lagi lantaran menyadari kalau roti strawberry itu tinggal satu! Melihat sekeliling, tak ada orang yang tersisa. Risa tersenyum puas sementara tangannya mulai meraih roti dengan mantap.

Risa tak tahu apa yang terjadi selanjutnya ketika badan kecilnya dengan sukses menyentuh lantai, menimbulkan bunyi gedabruk keras. Waduh, berat gue naik! Ujar Risa dalam hati. Namun kini ia sadar ini bukan saat yang tepat untuk membahas soal berat badan, ketika ia mulai bangkit lagi untuk membeli rotinya tercinta.

“Bang, rotinya gue beli yah!” Sebuah suara menjengkelkan menyambut gendang telinga Risa, yang membuat gadis ini naik pitam.

“TITOOO! LO NGGAK LIAT GUE YANG BELI BARUSAAAANN???”

“Lah, salah lo sendiri dong nggak buru-buru, keduluan orang deh!” sahut Tito menyebalkan.

“tapi
kan tadi lo liat gue yang megang duluan trus gue jatoh,WAIT A MINUTE!” Risa mulai merasakan keganjilan tentang proses ia jatuh. “Jangan bilang elo yang dorong gue barusan??”

“Kalo iya kenapa?” Tito menyeringai lebar. “Segala sesuatu harus dilakukan dengan penuh perjuangan toh. Dadaaah!”

Tito melengos pergi, meninggalkan Risa dengan setumpuk kekesalan dan darah yang mendidih mencapai ubun-ubun.

* * *

“Hmmmrh….”

“Ris.. Risa.. Tenang Ris..” tutur Hany takut-takut sambil menggigit roti coklatnya pelan. Heehh.. berantem lagi deh. Udah yang kedua dalam satu hari. Tadi pagi pas tali sepatu Tito lupa diiket trus diinjek sama Risa. Jadinya Tito jatoh. Mungkin ini semacam pembalasan dendam, batin Hany sambil manggut-manggut.

“Gue kesel banget Han sama dia!! Nggak pernah akur dari kelas satu. Heran gue!” ujar Risa agak sakit hati. Hatinya berdesir tak enak, mengingat hampir dua tahun terakhir ini ia habiskan untuk bertengkar dengan Tito. Padahal kalau mengingat pertemuan mereka berdua, sungguh merupakan pertemuan yang mengharukan. Setidaknya bagi Risa.

* * *

Sore itu sore yang naas bagi Risa. Di kantin ia kehabisan makanan karena mengerjakan tugas Biologi yang minta ampun ribetnya itu, lalu istirahat kedua ia tak sempat jajan karena menyelesaikan praktikum Fisika. Lengkap sudahlah penderitaannya hari itu.

Risa sungguh tak berselera melihat jajanan di pinggir jalan yang terkena langsung oleh polusi kendaraan. Tak hanya polusi, lalat yang beterbangan pun cukup sudah untuk menguapkan nafsu makannya. Risa hanya mau makan makanan yang terbungkus rapi oleh plastik atau makanan yang terrebus atau tergoreng matang. Maka dari itu sukses sudah Risa pulang dengan langkah gontai dan sempoyongan menahan lapar, persis seperti orang mabuk-mabukan.

Di puncak usahanya mempertahankan keseimbangan dalam berjalan, akhirnya Risa tak berdaya begitu kakinya tak sengaja tersandung batu besar yang anehnya tak terlihat mata. Risa dengan pose mabuknya mulai terayun ke depan, pasrah untuk jatuh, ketika sebuah tangan menopang tubuhnya. Menoleh, ia mendapati seorang pria tinggi putih ganteng sedang merangkulnya, menyelamatkannya dari aksi jatuh yang memalukan.

“Lo nggak apa-apa?” katanya prihatin.

“Nggg…gak…” sahut Risa lemas, sebelum sebuah suara yang berasal dari perutnya bergema keras. Wajah Risa memerah seketika.

Sang pemuda tampak tak bisa menyembunyikan tawanya. “Laper yah? Oh iya, kebetulan tadi gue beli roti, belum sempet dimakan. Nih buat lo aja.” Katanya sambil menyodorkan sebuah bingkisan. Roti krim strawberry.

“Wuaaah… Makasiiih!!!” tanpa basa-basi lagi Risa langsung menyomot Roti dari tangan pemuda itu dan membuka plastiknya dengan semangat berkobar. Roti.. aku cinta padamu!! ~>gambaran perasaan Risa saat itu.

Belum sempat roti tersebut singgah di mulutnya, tiba-tiba sebuah tubuh menyenggol Risa, hingga Roti itu terpental sejauh satu meter di hadapannya, dan dengan sukses mendarat di kubangan lumpur.

“Ro… ti…” Risa terbata-bata, tak sanggup menerima kenyataan.

“Sorry…” kata tersangka yang menabrak dirinya, yang merupakan lelaki gempal besar. Anehnya selain kata itu sang cowok gendut hanya berlalu begitu saja.

“Ro… ti…” sang pemuda tinggi baik hati juga melontarkan kata yang sama, sebelum ia berkata keras. “Gimana sih?
Kan gue udah ngasih ke elo. Harusnya lo bisa jaga roti itu! Asal lo tau ya, gue juga belom makan dari tadi!!” Lalu sang pemuda melengos pergi, meninggalkan Risa melongo

“Aneh banget ya pertemuan lo sama Tito…” celetuk Hany tiba-tiba, membuyarkan alam imajinasi Risa.

“Iya. Gue juga sebel. Padahal waktu itu gue terpesona ma dia..” sahut Risa sambil melamun. Sedetik kemudian ia terlonjak. “Loh, lo tau dari mana tentang cerita itu?”

“Gimana sih,
kan lo sendiri yang nulis tuh di buku. Buat tugas “The unforgettable moment”. tugas Bahasa Inggris. Nggak sadar ya mbak?”

Risa langsung memeriksa buku latihannya dan benar saja, kisah pertemuannya dituturkan dengan indah ke dalam bahasa inggris satu halaman penuh. Gila. Ini bener-bener gila. Harus cepet-cepet dihapus, sebelom Mr. Syaiful nyuruh gue baca di depan.

“Yak… Waktu mengarang indah sudah selesai. Now it’s time to show up your story in front of your friends. For the first give a big hand for… Risa Wulandari!”

Ibuuuuuu!

Dengan langkah gontai Risa berjalan ke depan sementara telapak tangan berkeringat dingin. Mengingat Tito sekarang duduk di paling depan membuat segala keberanian kendor sudah. Dosa apa aku Tuhan?? Jangan Hukum aku seperti ini!!!

Perlahan Risa mulai membaca karangannya dengan bahasa Inggris yang agak cacat. Diabaikannya koor cieee teman-teman begitu mendengar kalimat “I was so impressive with his concern when he gave me his bread”. Tertolong Risa tak menyebutkan namanya, namun sang pemeran utama dalam cerita ini pasti tersadar bahwa ini adalah dirinya.

Tiga menit terasa sangat panjang ketika akhirnya Risa usai membaca ceritanya. Tertunduk serendah mungkin, Risa berusaha menyembunyikan wajah merahnya dari sengatan mata Tito yang tajam. Bahkan sampai ke tempat duduknya yang di ujung pun Risa masih dalam usahanya menutupi wajah yang kian merona. Ia benar-benar kehilangan segala hasrat untuk menengadah.

Beberapa orang berlalu dengan cerita tak berarti. Ketika kira-kira delapan orang telah maju, akhirnya nama yang paling akrab di telinga Risa dipanggil. Tito.

Tito maju ke depan dengan wajah tenang. Risa kembali dengan aksi menunduknya. Rasanya ia ingin ditelan bumi sekarang.

Samar-samar Risa mendengar cerita Tito yang dilantunkan dengan suara lantang. “I was thinking if that girl so hungry, so I gave my bread to her as a present. That time I really wanted to laugh, but when I saw her face, I…”

Risa menengadah. Ia mulai memasang telinga. Tito kini menatapnya sekarang sambil meneruskan ceritanya dengan suara lantang. Bisik-bisik mulai terdengar dari seluruh penjuru kelas.

“Kayaknya gue pernah denger ni cerita deh…”

“Iya, dimana ya?”

Tito menyelesaikan kalimat terakhirnya dengan kata-kata : “Although that bread had fallen, I really glad that I’d ever given my favourite bread to her. To a sweet hungry little girl…”

“Aaaaah! Ceritanya sama sama RISA!!” Hany menjerit tiba-tiba, yang membuat seluruh murid berteriak yang sama : “AAAH!”

Koor cieee menyusul dengan sukses. Risa sudah tak berani membayangkan mukanya kini sudah semerah apa. Kini ia kian membenamkan mukanya, sementara Tito-nya sendiri tampak kalem dan duduk kembali ke tempat semula.

Sungguh hari yang memalukan!!

* * *

“Oi…” Tito menghampiri Risa yang masih menunduk begitu Mr. Syaiful keluar kelas. Hany mundur sukarela sebelum mengacungkan jempolnya ke Tito sambil mengedipkan mata. Tito balas mengedip.

“Apa?” sahut Risa galak.

“Galak bener..”

“Elo sih bikin gara-gara..”

“Lah, siapa yang duluan baca cerita itu?”

Akhirnya Risa mengangkat wajahnya. Mukanya kini tak semerah tadi, namun masih menyisakan bekas rona di beberapa bagian. “Kok bisa sama seh?’

“Mana gue tau?” jawab Tito menyebalkan. Lalu ia melempar buku latihannya ke pangkuan Risa sambil memberi isyarat untuk membukanya.

Risa menurut dan membuka halaman yang jadi masalah. Ia terhenyak ketika di halaman terakhir bukanlah kisah tentang pertemuan mereka, tapi kisah tentang hari kelahirannya. Lalu ia membalik halaman sebelumnya. Kisah tentang “Sweet hungry little girl” tertulis rapi di
sana, tertimpa dengan tanda silang besar plus kata “SALAH”.

“Gue tadinya juga nggak sadar nulis itu. Trus langsung kaget setengah mati pas tulisannya udah selesai.” Sama ama gue, batin Risa tak percaya. “Akhirnya gue nulis ulang deh. Tapi pas elo maju ke depan tadi… Akhirnya gue mutusin buat cerita yang sama kayak lo!”

“Apaan sih??
Kan gue maluuu!” pekik Risa tertahan, walau kini hatinya berbunga-bunga.

“Lo kira gue nggak malu? Tadinya gue sempet mikir, ntar kalo lo ke-geeran gimana nih? Ntar kalo lo ngerasa sok kecakepan gimana nih?”

“Elo mikir apa sih sebenernya?” Risa mendelik.

“Hehe.. Becanda.”

“Ber… ber… arti.. kita…” mereka berdua saling pandang, dan bersamaan menunduk dengan muka bersemu merah.

“Hadooh, belom pernah gue ngalamain hal yang memalukan kayak gini.” Tito tertawa kecil, yang membuat wajah pemuda itu terlihat manis sekali. Jantung Risa berdegup kencang, tatkala Tito kini menatapnya lembut. “Iya Ris, gue su…”

Kruuuyuuuuuk.

Bisu. Hening. Tak ada kata menyusul.

“Mbuahahahahhaa… Laper Ris? Ya ampuuun! Sampe moment kayak gini perut lo bunyiii?”Tito tergelak kencang sekali, mengabaikan erang protes Risa yang mulai mengungkit kejadian di kantin tadi. “Iya.. Iya, aku ngerti.”

Tito kembali ke mejanya dan beberapa detik kemudian ia kembali dengan bungkusan di tangan. Roto krim strawberry.

“Makan nih. Emang gue niat beliin buat lo tadi…” katanya sambil tersenyum lembut. Risa menatap Tito dengan penuh terima kasih.

Dan tanpa ragu ia langsung melahap habis roti itu dalam tiga gigitan.

Really sweet strawberry cream!!

Dan ini adalah hari terindah baginya.


Oleh : Anien_Chan

03 Juli 2009

Drama Jalanan

Aku menghentikan motorku di pinggir jalan, tepat di depan rumah Gimbal, sobat karibku. Rumah Gimbal... sebenarnya tidak tepat juga kalau dikatakan begitu. Rumah itu dikontrakkan sebenarnya, milik salah satu saudara jauh sobatku itu. Namun, berhubung sampai sekarang belom juga ada yang mau mengontrak di situ, Gimbal kebagian jatah menjaga dan merawatnya. Yang untung jelas aku dan teman-temanku yang lain, dapet tempat nongkrong gratis yang bisa dipakai tanpa sungkan, hehehehe...

“Tut, baru dateng lo?” Gimbal menyapaku. Ia tadi sedang asyik mencuci vespa antiknya. Oh ya. Namaku Kresna, tapi entah kenapa teman-temanku lebih suka memanggilku Itut.

“Ya lah. Ga ada acara ini,” jawabku santai tanpa turun dari motor. Nasib cowok-cowok perserikatan KTS macam kami ya kayak gini, malem minggu ga ada acara. Menyedihkan. Oh, kalau kalian belom tahu, KTS itu singkatan dari Kasih Tak Sampai... jomblo maksudnya.

“Ga ada acara pala lo peyang,” Gimbal langsung berkata, sambil melempar lap motornya sembarangan ke dalam rumah. “Lo lupa ni hari tanggal berapa? Ada yang ulang taun hari ini, tau. Makan kenyang nih kita.”

“Sapa yang ulang taon? Emang ada pa?” Aku mengerutkan kening, mengingat-ingat. Terbayang wajahku cewek kecil yang cerewet dan ceria. “Jah, iya. Chica yah?”

“Itu inget lo,” sahut Gimbal sambil mengikat rambut gondrong keritingnya. Mentang-mentang kuliah jurusan seni, ga pernah potong rambut dia.

“Tunggu apa lagi Mbal? Ayo kesana!” Aku mengajak antusias. Ini memang kerjaan cowok-cowok jomblo kayak kami. Inget-inget ulang tahun temen, samperin... paksa deh nraktir makan.

“Bentar, nunggu Kosa. Tu anak mau kesini bentar lagi. Tadi telpun dia,” jawab Gimbal kalem, lalu cuek saja masuk ke dalam rumah tak mempedulikanku.

Ditinggal gitu, aku menghabiskan waktu dengan memikirkan panggilan kami. Aneh-aneh sebenernya kalau dipikir. Haryanto jadi Gimbal, karena rambut gondrongnya yang keriting. Kresna dipanggil Itut, nggak tahu kenapa. Perkasa dipanggil Kosa, karena...

Teeettt...! Suara terompet mengganggu konsentrasiku. Aku berpaling dan melihat dia, si Kosa datang mendekat, mengayuh santai sepeda antik yang dipasangin trompet buat belnya, memboncengkan Birbin.

“Ke tempat Chica sekarang, Sa?” Aku menyapa dengan pertanyaan, langsung ke pokok permasalahan.

“Percuma,” dia menjawab kesal, menghentikan sepeda tanpa rem itu dengan kakinya yang bersendal jepit. Birbin langsung cepat meloncat turun. “Ada yang mendahului kita tuh. Si Cacing ama si manusia tanpa ekspresi tuh. Udah pergi Chicanya sama mereka. Lewat rumahnya tadi kita bedua.”

“Sialan!” Aku memaki spontan. Yang disebut Cacing itu nama aslinya Ari. Karena badannya kurus kering kayak cacing, jadi deh panggilannya Ari Cacing. Manusia tanpa ekspresi itu Nova, anak kampung sebelah yang suka main kesini. Bukan tanpa ekspresi sih sebenarnya, cuma ekspresinya aneh bin ajaib. Ketawa kayak kebelet pipis, marah kayak orang malu, malu kayak pengen ketawa... aneh pokoknya.

“Yo, Sa!” Gimbal menyapa. Ia keluar rumah dengan lenggang santai. Ia ganti pakaian, tapi menurutku sih mendingan yang tadi. Sekarang, pake celana jins robek-robek, jaket jins robek-robek juga. Mending tadi, kaos oblong ma celana pendek, paling nggak utuh dua-duanya, nggak ada yang robek.

“Halo semua!” Belum sempat Kosa membalas, terdengar sapaan dari pengendara motor yang berhenti di dekat kami.

“Mo pada ke tempat Chica yah? Ikut dong. Laper nih gua!” Orang itu melepas helmnya. Ternyata itu Zhito, anggota geng kami juga.

“Telat!” gerutu Birbin. “Dah pergi dia ama Cacing ma Nova.”

“Yah, sialan tuh anak bedua,” Zhito memaki kesal. “Hajar aja yuk!” lanjutnya, becanda maksudnya.

“Oi... Oi...! Berantem ama temen ga baek tahu...,” cegah Gimbal. Tapi dari cara senyumnya aku tahu kalau ia pasti merencanakan skenario sesat lagi.

“... kalo tanpa rencana,” lanjut Gimbal. Nah, benar kan. Aku langsung bisa menebak rencana kacau mahasiswa gondrong itu.

“Sini...” Gimbal menggerakkan tangannya memanggil lalu membisikkan skenario drama di benaknya. Benar seperti dugaanku, kacau dan sesat abis. Zhito dan Kosa nampak mengangguk-angguk bersemangat.

“Oke deh,” Zhito berseru penuh semangat. “Gua pergi dulu, cari benda yang bakalan bikin tambah ancur-ancuran ntar.” Ia langsung naik dan memacu motornya tanpa menunggu tanggapan kami.

“Bantu gua ntar Bin,” kata Kosa dengan seringai liar. Sementara Gimbal kembali melenggang masuk rumah, bersiap buat rencana gilanya.

OooOOooO

Hari sudah semakin malam. Sudah jam sembilan lewat, jauh lewatnya... Tempat Gimbal ini sudah semakin rame saja. Mereka yang habis apel sama mereka yang tadi jalan-jalan ke mall, pada berkumpul di sini; pada nongkrong di luar semua nyanyi sambil maen gitar, nggak ada yang masuk dalam rumah. Hampir semuanya cowok. Pas banget buat rencananya si gondrong.

Masalahnya, disini ada satu cewek... Menil, adiknya Gimbal, dan dua orang tua... bapakku dan ayahnya Gimbal, yang baru pulang dari latihan badminton.

Kosa mendekati Gimbal, dengan ragu bertanya pelan apa rencananya jadi dijalankan. Gimbal mengangguk dengan mantap, sangat yakin tampaknya dia. Selain kami berempat, dan Zhito yang entah kenapa belum balik sekarang, yang lain tak ada yang tahu rencana kami.

Lalu, yang kami tunggu pun datang juga. Nova yang memboncengkan Chica, dan Cacing yang memboncengkan cewek berambut panjang, teman Chica. Kedua cowok itu menghentikan motornya di dekat kami dan turun dengan lagak bangga. Aku agak kesal juga melihatnya.

Lalu Kosapun, yang tampangnya dari tadi sudah makin kusut saja, beraksi. Ia cepat mendekati dan mencengkeram kerah leher Cacing dan mendekatkan wajah dengan tampang merah mengancam, penuh emosi.

“Apa maumu sebenarnya hah?! Lo pikir lo siapa... Lo pikir gua nggak bisa marah!” Kosa menggeram.

“Oi... Oi...! Apa-apaan nih Sa? Jangan becanda ah,” kata Cacing menenangkan. Tapi mukanya kelihatan pucat. Wajar saja, diancam cowok kekar macam Kosa. Aku aja, yang lebih gede badannya dari Cacing, ogah cari perkara sama dia.

“Apa-apaan?! Lo nggak nyandar kelakuan lo!” Kosa menggeram keras, serem deh.

“Lo juga! Ngapain cengar-cengir! Nggak sadar salah lo juga?!” Ia juga membentak Nova, yang langsung mengkeret takut.

“Sabar Sa!” Aan, kakak Birbin yang baru saja datang dari apelnya, mencoba menengahi.

“Jangan ikut campur!” Kosa membentaknya.

“Iya An, biarin aja,” Birbin ngomporin. “Tu anak berdua emang perlu dikasih pelajaran.”

“Sa! Masa gitu aja marah Sa? Aku ngapain Sa?” Cacing memohon. Ia masih dicengkeram kerahnya sama Kosa.

“Hajar aja Sa!” Birbin buka mulut memanaskan suasana.

“Hush!” Kusno, salah seorang dari kami yang berada disitu, langsung menegurnya. “Jangan berantem lah. Ada orang tua disini, ga malu?”

“Trus mereka didiemin saja?” Kosa meraung emosi, mencengkeram kerah Cacing lebih kuat. “Kagak bisa!”

“Kalian berdua ini... Sabar! Bicarain baek-baek di dalem sana deh.” Gimbal memeluk dan setengah menyeret Kosa dan Cacing ke dalam rumahnya, menepuk pundak Kosa, seolah mencoba meredakan emosinya... kalau diliat mereka yang nggak tahu.

Tak lama, Gimbal melenggang keluar dengan tenang. Suasana dalam rumah tampak tenang-tenang saja. Semua yang ada disitu nampak agak lega, tapi...

Blaannggg...!

Terdengar suara keras benda dibanting dari dalam, diikuti teriakan panik Cacing, “Saaa...! Jangan Sa...!”
Gimbal langsung berbalik dan berlari masuk rumah, diikuti teman-temanku yang lain. Aku siap beranjak mengikuti mereka ketika...

Rruunggggg...!

Terdengar suara motor meraung keras. Zhito datang mengendarai motornya, menyeret tonggak kayu besar yang kelihatannya adalah bekas papan penunjuk nama jalan. Busyet! Mau apa dia mencabut papan nama jalan seenak perutnya?

“NOVA! Sini lo!” Zhito membentak keras sambil mendelik marah, menghentikan motor di tengah jalan, dan turun sambil menyeret tonggak kayunya. Busyet! Ini sih kebangetan...

Nova langsung mengkeret ketakutan. “To...! Jangan To! Emang... emang aku ngapain To?” Ia memohon sambil melangkah mundur, menjauh. Takut. Siapa yang nggak takut? Dideketin cowok kalap yang menyeret kayu segede itu.

Aku segera berlari mendekati Zhito dan menahannya. “Sabar... Sabar To! Jangan pake itu dong. Ada masalah kan bisa diseleseiin baek-baek. Sabar!”

“Nggak pake sabar-sabaran!” Zhito membentak dan menyingkirkan tanganku.

Sempat kudengar di dalam rumah, Kosa juga meraung, “Sini lo, SETAN!”

Suasana terasa panas sekali... sesaat... tapi langsung berubah begitu terdengar suara Birbin cekikikan, tak kuat menahan ketawa.

Zhito melepaskan tonggak kayu yang diseretnya dan mulai ikut ketawa sampai terbungkuk-bungkuk.
Pintu rumah terbuka dan Kosa keluar sambil ketawa ngakak juga. Gimbal dibelakangnya nyengir sangat lebar. Aku... aku juga terbungkuk-bungkuk menahan tawaku.

Teman-temanku yang lain, cowok juga cewek, juga bapakku dan ayah Gimbal, memandang kami sambil melongo tak mengerti. Aku tertawa semakin keras.

“Drama duel babak pertama selesai,” Gimbal berkata kalem.


Oleh : Unknown

02 Juli 2009

Selamat Datang di Pulau Cerpen

Selamat Datang di Pulau Cerpen