10 Juli 2009

Jakarta, 27 Desember

Kamar itu berbentuk persegi, mungil dan sempit. Semua jendela sudah tertutup rapat sehingga cahaya tak seberkas pun kuijinkan masuk. Aku terduduk lunglai di sudut ruangan itu. Sambil menekuk kedua lutut dan memeluknya. Aku menutupi hampir sebagian wajahku dengan topi yang tersambung di jaket merahku. Aku menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Dan pundakku bergetar hebat. Mataku basah.

Sesekali aku memukul-mukul kepalaku, berusaha membuang semua ingatanku akan kejadian sejak kemarin. Namun hal itu tidak pernah berhasil. Membuatku semakin tersiksa dan tenggelam dalam tangisanku. Hatiku selalu berdenyut sakit. Tapi aku tetap tidak bisa menghapus semua ingatan itu.

Aku meremas tanganku semakin kuat. Semakin kuat hingga memerah dan seluruh urat-urat berwarna biru kehijauan itu menampakan diri di balik kulitku yang tipis.

Namun, aku tetap tak bisa mengusirnya dari kepalaku....

Aku mengangkat kepalaku dan menatap liar ke seluruh ruangan. Lalu pandanganku jatuh pada sebuah pigura yang terletak di seberang ruangan, di atas meja belajarku. Aku langsung bangun dengan tak sabar dan bergerak ke sana seperti anjing gila. aku meraih pigura itu dan menatapnya sebentar foto yang ada di sana. Fotoku dan seorang cewek...

Dengan tangan bergetar, aku mencengkeram sisi-sisi pigura tersebut. Sangat kuat sampai-sampai rasanya aku ingin mematahkannya jadi dua. Tepat di tengah-tengah antara aku dan cewek itu. Tapi tenagaku, meski sudah menyimpan amarah, namun tetap saja tidak sanggup untuk mematahkan benda dari kayu dan kaca tersebut.

Air mataku makin mengalir deras. Lalu kulemparkan pigura itu ke arah jendela yang tertutup kain tebal berwarna hitam. Sedikit berbalik arah, pigura itu jatuh tak berdaya. Bagian kacanya hancur berkeping-keping.

Mendadak kakiku lemas. Aku terduduk lunglai tak berdaya.

Sekelebat kejadian kemarin pun kembali berputar tanpa bisa aku hindari lagi...

Hari itu, hujan turun dengan sangat deras. Dan aku sedang berada di sebuah cafe, menunggu kedatangan pacarku. Sudah setengah jam aku duduk di samping jendela, dari cuaca masih sedikit cerah sampai hujan turun dengan sadisnya, sambil memperhatikan orang-orang berlalu-lalang. Namun, pacarku itu belum kunjung datang. Aku berusaha memakluminya karena hujan tengah turun dengan derasnya. Jadi kuputuskan untuk tetap menunggunya sampai dia datang. Meskipun aku harus memesan bercangkir-cangkir cofee late kesukaanku.

Aku masih setia duduk di samping jendela, saat seorang pelayan sudah menyuguhkan pesanan cofee lateku yang ke lima. Tepat saat aku melihat dua orang sosok yang aku kenal melintas di luar jendela, tengah berlari-lari kecil berusaha menghindari hujan, yang adalah pekerjaan sia-sia tentunya.

Mataku langsung memicing. Tanganku langsung mengepal di samping celana cargoku. Hatiku langsung memanas.
Aku sangat mengenal mereka. Kedua orang itu....

Aku langsung berlari ke luar cafe dan meninggalkan cangkir cofee lateku yang kelima itu. Aku berusaha untuk mengejar mereka, menembus hujan, dalam kuasa amarah. Saat mereka berbelok di tikungan, aku ikut berbelok. Dari belakang mereka, aku bisa melihat tawa ceria mereka.

Cih....tidak ada yang tau, aku tengah memendam badai yang lebih dasyat daripada hujan deras saat ini.

Tepat di pinggir sebuah jalanan yang sepi, di depan sebuah restoran yang sudah tutup bertahun-tahun yang lalu, kedua orang itu berhenti. Aku memperlambat langkahku, sementara mengatur napas. Keringat sudah berlebur jadi satu dengan air hujan. Dan udara dingin yang menggrogotiku ini, tetap saja tidak bisa mendinginkan kepalaku.

Aku berjalan pelan-pelan mendekati mereka.

Yak, mereka sadar. Dan mereka menatapku dengan ekspresi terkejut yang luar biasa. Si cewek yang adalah sahabatku, maksudku selama ini kuanggap sahabatku, hanya bisa bersembunyi di balik pundak tinggi si cowok, yang lima menit lalu masih kuanggap sebagai pacarku.

Aku menyeringai. "halo" kataku sambil memamerkan senyuman iblis.

Si cowok seakan tak percaya dengan reaksiku, dia maju selangkah, berusaha melindungi si cewek.

"mau apa?" tanyanya sok pahlawan.

"bukannya kita ada janji di cafe?" tanyaku seakan tak terjadi apa-apa. Yah...aku mengubah topeng mukaku saat itu.

"janji? sejak kapan? bukan nya kamu tau hubungan kita udah putus sejak seminggu lalu?" kata si cowok sambil mengerutkan keningnya.

"putus? hei, setiap sabtu kita selalu ke cafe itu, dan setiap sabtu kamu selalu janji mau datang, kan?" ujarku setengah teriak.

"kamu gila. kamu lupa ingatan. kita udah putus, Tan," bentak si cowok.

Mendengar kata-kata itu, aku langsung berteriak seperti orang gila. Lalu tanpa sadar, aku sudah berlari seperti banteng ke arah si cewek dan dalam sekejap saja, si cewek sudah terkulai lemas dengan darah bersimbah.

Aku menatap tanganku. Sebuah pisau penuh darah ada di tangan kananku. Aku tertawa miris melihat si cowok mengguncang-guncangkan tubuh si cewek sambil memaki-maki ku.

Lalu aku teringat. Pisau...ah ya, pisau ini memang selalu kubawa kemana-mana dan kuselipkan di balik celana cargo ku.

Setelah itu, aku pun langsung berlari, meninggalkan mereka.
Berlari menembus hujan. Berlari pulang ke rumah. Berlari dari masalah. Dan masuk ke dalam kamar, lalu mengunci semua pintu dan menutup semua jendela. Aku membentangkan kain hitam supaya cahaya tidak ada yang bisa menerobos masuk.

Lalu aku pun terduduk di sudut ruangan.


2 komentar:

Kamu bisa memberikan masukan, kritik dan saran untuk entry cerpen ini. Kata-kata kalian sangat membantu. Terima Kasih...