06 Juli 2009

The Really Sweet Strawberry Cream

Akhirnya bel ala ringtone HP itu menjerit nyaring juga, disusul dengan Risa yang melesat cepat demi memenuhi tuntutan perut yang sedari tadi bernyanyi kencang. Yang ada di pikirannya kini hanya satu, Roti krim strawberry Bang Herdi! Perut udah nggak bisa diajak kompromi!!!

“Ris, nitip yah! Roti coklat!” samar-samar Risa mendengar teriakan Hany, yang hanya ditimpali dengan tangan yang melambai dan anggukan kecil.

Risa kini berlari cepat, berusaha menahan gejolak perut yang semakin kencang memainkan orkestra. Tersandung sesekali, terik matahari yang menyiram diri, itu semua belum cukup melunturkan semangat makan Risa yang membara. Setelah sekian lama berlari, akhirnya kantin yang tercinta itu terlihat juga di ujung mata. Roti strawberry… Here I come!

Hatinya mencelos seketika tatkala menangkap sekitar dua lusin anak mengerumuni kios Bang Herdi, tempat menjual roti tersebut. Berusaha mengingat kalau itu hari senin, Risa menepuk jidatnya keras, dan menyesali diri kenapa ia tak berlari lebih cepat kalau sadar Senin adalah hari yang paling banyak dikunjungi oleh siswa. Damn with Monday!

Risa kini berada di barisan paling belakang. Ia berusaha mengintip dari celah tubuh yang bertumpuk dan matanya menangkap sederet roti strawberry yang telah terjual tiga perempatnya. Kini semangat juangnya makin berkobar sementara tangan sibuk menampik tubuh-tubuh tak berdosa di hadapannya. Segala cara harus ia lakukan agar ia bisa mendapatkan roti strawberry itu. Harus!!

Kerumunan mulai mereda, membuat hati Risa berdesir lega untuk sejenak, yang kemudian langsung panik lagi lantaran menyadari kalau roti strawberry itu tinggal satu! Melihat sekeliling, tak ada orang yang tersisa. Risa tersenyum puas sementara tangannya mulai meraih roti dengan mantap.

Risa tak tahu apa yang terjadi selanjutnya ketika badan kecilnya dengan sukses menyentuh lantai, menimbulkan bunyi gedabruk keras. Waduh, berat gue naik! Ujar Risa dalam hati. Namun kini ia sadar ini bukan saat yang tepat untuk membahas soal berat badan, ketika ia mulai bangkit lagi untuk membeli rotinya tercinta.

“Bang, rotinya gue beli yah!” Sebuah suara menjengkelkan menyambut gendang telinga Risa, yang membuat gadis ini naik pitam.

“TITOOO! LO NGGAK LIAT GUE YANG BELI BARUSAAAANN???”

“Lah, salah lo sendiri dong nggak buru-buru, keduluan orang deh!” sahut Tito menyebalkan.

“tapi
kan tadi lo liat gue yang megang duluan trus gue jatoh,WAIT A MINUTE!” Risa mulai merasakan keganjilan tentang proses ia jatuh. “Jangan bilang elo yang dorong gue barusan??”

“Kalo iya kenapa?” Tito menyeringai lebar. “Segala sesuatu harus dilakukan dengan penuh perjuangan toh. Dadaaah!”

Tito melengos pergi, meninggalkan Risa dengan setumpuk kekesalan dan darah yang mendidih mencapai ubun-ubun.

* * *

“Hmmmrh….”

“Ris.. Risa.. Tenang Ris..” tutur Hany takut-takut sambil menggigit roti coklatnya pelan. Heehh.. berantem lagi deh. Udah yang kedua dalam satu hari. Tadi pagi pas tali sepatu Tito lupa diiket trus diinjek sama Risa. Jadinya Tito jatoh. Mungkin ini semacam pembalasan dendam, batin Hany sambil manggut-manggut.

“Gue kesel banget Han sama dia!! Nggak pernah akur dari kelas satu. Heran gue!” ujar Risa agak sakit hati. Hatinya berdesir tak enak, mengingat hampir dua tahun terakhir ini ia habiskan untuk bertengkar dengan Tito. Padahal kalau mengingat pertemuan mereka berdua, sungguh merupakan pertemuan yang mengharukan. Setidaknya bagi Risa.

* * *

Sore itu sore yang naas bagi Risa. Di kantin ia kehabisan makanan karena mengerjakan tugas Biologi yang minta ampun ribetnya itu, lalu istirahat kedua ia tak sempat jajan karena menyelesaikan praktikum Fisika. Lengkap sudahlah penderitaannya hari itu.

Risa sungguh tak berselera melihat jajanan di pinggir jalan yang terkena langsung oleh polusi kendaraan. Tak hanya polusi, lalat yang beterbangan pun cukup sudah untuk menguapkan nafsu makannya. Risa hanya mau makan makanan yang terbungkus rapi oleh plastik atau makanan yang terrebus atau tergoreng matang. Maka dari itu sukses sudah Risa pulang dengan langkah gontai dan sempoyongan menahan lapar, persis seperti orang mabuk-mabukan.

Di puncak usahanya mempertahankan keseimbangan dalam berjalan, akhirnya Risa tak berdaya begitu kakinya tak sengaja tersandung batu besar yang anehnya tak terlihat mata. Risa dengan pose mabuknya mulai terayun ke depan, pasrah untuk jatuh, ketika sebuah tangan menopang tubuhnya. Menoleh, ia mendapati seorang pria tinggi putih ganteng sedang merangkulnya, menyelamatkannya dari aksi jatuh yang memalukan.

“Lo nggak apa-apa?” katanya prihatin.

“Nggg…gak…” sahut Risa lemas, sebelum sebuah suara yang berasal dari perutnya bergema keras. Wajah Risa memerah seketika.

Sang pemuda tampak tak bisa menyembunyikan tawanya. “Laper yah? Oh iya, kebetulan tadi gue beli roti, belum sempet dimakan. Nih buat lo aja.” Katanya sambil menyodorkan sebuah bingkisan. Roti krim strawberry.

“Wuaaah… Makasiiih!!!” tanpa basa-basi lagi Risa langsung menyomot Roti dari tangan pemuda itu dan membuka plastiknya dengan semangat berkobar. Roti.. aku cinta padamu!! ~>gambaran perasaan Risa saat itu.

Belum sempat roti tersebut singgah di mulutnya, tiba-tiba sebuah tubuh menyenggol Risa, hingga Roti itu terpental sejauh satu meter di hadapannya, dan dengan sukses mendarat di kubangan lumpur.

“Ro… ti…” Risa terbata-bata, tak sanggup menerima kenyataan.

“Sorry…” kata tersangka yang menabrak dirinya, yang merupakan lelaki gempal besar. Anehnya selain kata itu sang cowok gendut hanya berlalu begitu saja.

“Ro… ti…” sang pemuda tinggi baik hati juga melontarkan kata yang sama, sebelum ia berkata keras. “Gimana sih?
Kan gue udah ngasih ke elo. Harusnya lo bisa jaga roti itu! Asal lo tau ya, gue juga belom makan dari tadi!!” Lalu sang pemuda melengos pergi, meninggalkan Risa melongo

“Aneh banget ya pertemuan lo sama Tito…” celetuk Hany tiba-tiba, membuyarkan alam imajinasi Risa.

“Iya. Gue juga sebel. Padahal waktu itu gue terpesona ma dia..” sahut Risa sambil melamun. Sedetik kemudian ia terlonjak. “Loh, lo tau dari mana tentang cerita itu?”

“Gimana sih,
kan lo sendiri yang nulis tuh di buku. Buat tugas “The unforgettable moment”. tugas Bahasa Inggris. Nggak sadar ya mbak?”

Risa langsung memeriksa buku latihannya dan benar saja, kisah pertemuannya dituturkan dengan indah ke dalam bahasa inggris satu halaman penuh. Gila. Ini bener-bener gila. Harus cepet-cepet dihapus, sebelom Mr. Syaiful nyuruh gue baca di depan.

“Yak… Waktu mengarang indah sudah selesai. Now it’s time to show up your story in front of your friends. For the first give a big hand for… Risa Wulandari!”

Ibuuuuuu!

Dengan langkah gontai Risa berjalan ke depan sementara telapak tangan berkeringat dingin. Mengingat Tito sekarang duduk di paling depan membuat segala keberanian kendor sudah. Dosa apa aku Tuhan?? Jangan Hukum aku seperti ini!!!

Perlahan Risa mulai membaca karangannya dengan bahasa Inggris yang agak cacat. Diabaikannya koor cieee teman-teman begitu mendengar kalimat “I was so impressive with his concern when he gave me his bread”. Tertolong Risa tak menyebutkan namanya, namun sang pemeran utama dalam cerita ini pasti tersadar bahwa ini adalah dirinya.

Tiga menit terasa sangat panjang ketika akhirnya Risa usai membaca ceritanya. Tertunduk serendah mungkin, Risa berusaha menyembunyikan wajah merahnya dari sengatan mata Tito yang tajam. Bahkan sampai ke tempat duduknya yang di ujung pun Risa masih dalam usahanya menutupi wajah yang kian merona. Ia benar-benar kehilangan segala hasrat untuk menengadah.

Beberapa orang berlalu dengan cerita tak berarti. Ketika kira-kira delapan orang telah maju, akhirnya nama yang paling akrab di telinga Risa dipanggil. Tito.

Tito maju ke depan dengan wajah tenang. Risa kembali dengan aksi menunduknya. Rasanya ia ingin ditelan bumi sekarang.

Samar-samar Risa mendengar cerita Tito yang dilantunkan dengan suara lantang. “I was thinking if that girl so hungry, so I gave my bread to her as a present. That time I really wanted to laugh, but when I saw her face, I…”

Risa menengadah. Ia mulai memasang telinga. Tito kini menatapnya sekarang sambil meneruskan ceritanya dengan suara lantang. Bisik-bisik mulai terdengar dari seluruh penjuru kelas.

“Kayaknya gue pernah denger ni cerita deh…”

“Iya, dimana ya?”

Tito menyelesaikan kalimat terakhirnya dengan kata-kata : “Although that bread had fallen, I really glad that I’d ever given my favourite bread to her. To a sweet hungry little girl…”

“Aaaaah! Ceritanya sama sama RISA!!” Hany menjerit tiba-tiba, yang membuat seluruh murid berteriak yang sama : “AAAH!”

Koor cieee menyusul dengan sukses. Risa sudah tak berani membayangkan mukanya kini sudah semerah apa. Kini ia kian membenamkan mukanya, sementara Tito-nya sendiri tampak kalem dan duduk kembali ke tempat semula.

Sungguh hari yang memalukan!!

* * *

“Oi…” Tito menghampiri Risa yang masih menunduk begitu Mr. Syaiful keluar kelas. Hany mundur sukarela sebelum mengacungkan jempolnya ke Tito sambil mengedipkan mata. Tito balas mengedip.

“Apa?” sahut Risa galak.

“Galak bener..”

“Elo sih bikin gara-gara..”

“Lah, siapa yang duluan baca cerita itu?”

Akhirnya Risa mengangkat wajahnya. Mukanya kini tak semerah tadi, namun masih menyisakan bekas rona di beberapa bagian. “Kok bisa sama seh?’

“Mana gue tau?” jawab Tito menyebalkan. Lalu ia melempar buku latihannya ke pangkuan Risa sambil memberi isyarat untuk membukanya.

Risa menurut dan membuka halaman yang jadi masalah. Ia terhenyak ketika di halaman terakhir bukanlah kisah tentang pertemuan mereka, tapi kisah tentang hari kelahirannya. Lalu ia membalik halaman sebelumnya. Kisah tentang “Sweet hungry little girl” tertulis rapi di
sana, tertimpa dengan tanda silang besar plus kata “SALAH”.

“Gue tadinya juga nggak sadar nulis itu. Trus langsung kaget setengah mati pas tulisannya udah selesai.” Sama ama gue, batin Risa tak percaya. “Akhirnya gue nulis ulang deh. Tapi pas elo maju ke depan tadi… Akhirnya gue mutusin buat cerita yang sama kayak lo!”

“Apaan sih??
Kan gue maluuu!” pekik Risa tertahan, walau kini hatinya berbunga-bunga.

“Lo kira gue nggak malu? Tadinya gue sempet mikir, ntar kalo lo ke-geeran gimana nih? Ntar kalo lo ngerasa sok kecakepan gimana nih?”

“Elo mikir apa sih sebenernya?” Risa mendelik.

“Hehe.. Becanda.”

“Ber… ber… arti.. kita…” mereka berdua saling pandang, dan bersamaan menunduk dengan muka bersemu merah.

“Hadooh, belom pernah gue ngalamain hal yang memalukan kayak gini.” Tito tertawa kecil, yang membuat wajah pemuda itu terlihat manis sekali. Jantung Risa berdegup kencang, tatkala Tito kini menatapnya lembut. “Iya Ris, gue su…”

Kruuuyuuuuuk.

Bisu. Hening. Tak ada kata menyusul.

“Mbuahahahahhaa… Laper Ris? Ya ampuuun! Sampe moment kayak gini perut lo bunyiii?”Tito tergelak kencang sekali, mengabaikan erang protes Risa yang mulai mengungkit kejadian di kantin tadi. “Iya.. Iya, aku ngerti.”

Tito kembali ke mejanya dan beberapa detik kemudian ia kembali dengan bungkusan di tangan. Roto krim strawberry.

“Makan nih. Emang gue niat beliin buat lo tadi…” katanya sambil tersenyum lembut. Risa menatap Tito dengan penuh terima kasih.

Dan tanpa ragu ia langsung melahap habis roti itu dalam tiga gigitan.

Really sweet strawberry cream!!

Dan ini adalah hari terindah baginya.


Oleh : Anien_Chan

3 komentar:

  1. wah, roti strawberry...aku suka tuh. btw, kalo mo tukeran link, mampir ke blog gudang award ya. linkmu aku taruh disitu.

    BalasHapus
  2. tapi link aku taruh dimana nih?
    cek link kamu di http://gudang-award.blogspot.com

    BalasHapus
  3. Haduh-haduh ternyata mbak fanny mampir kesini toh, padahal belum saya buka blog yg ini soalnya masih proses imigrasi entri dari wordpress... tapi makasih atas komennya...

    BalasHapus

Kamu bisa memberikan masukan, kritik dan saran untuk entry cerpen ini. Kata-kata kalian sangat membantu. Terima Kasih...