11 Juni 2010

Seporsi Es Krim Stroberi

Krincing….

Lonceng pintu berbunyi saat seseorang membuka pintu. Pandanganku menoleh ke arah sana, menatap senang seorang pemuda berpakaian rapi yang baru masuk. Pemuda itu melihat sekelilingnya sejenak, sebelum kemudian menjatuhkan pandangannya di meja nomer lima- tempatku duduk. Dia tersenyum, melambaikan tangan.

Aku membalas lambaiannya sejenak, kemudian mengangkat tangan ke arah seorang pelayan sementara pemuda itu berjalan menuju mejaku.

“Halo, Cinta… apa kabarmu hari ini?” tanya pemuda itu sambil duduk. Tangannya yang usil menyentil pelan daguku, seperti kebiasannya selama ini.

Aku tersenyum, seperti biasa pula membalas dengan sebuah kerlingan setelah sentilan itu menjauh, “Seperti inilah, akhir bulan. Tutup buku, neraca saldo. Laporan keuangan…” aku tak meneruskan karena dia langsung melambaikan tangan, bosan.

“Bukan hal yang baru kurasa, tapi itu masih tetap membuatmu selalu cantik seperti ini,“ katanya sambil mengambil daftar menu dari seorang pelayan menghampiri meja kami. Sejenak ia meneliti menu itu, seperti yang sekarang aku lakukan.

“Bagaimana liburanmu, Say? Apa kau merindukanku?” tanyaku sambil memandangi gambar segelas es krim stroberi yang kelihatannya begitu menggiurkan.

Dia menggumam sesaat, “Soda diet ya, Mbak,” katanya pada sang pelayan.

“Diet? Mau kau apakan lagi patahan enam seksimu itu?” kelakarku, sambil berusaha menjauhkan minat dari es krim yang sepertinya lezat itu.

Dia meletakan menunya, “Aku selalu merindukanmu, Cinta,” balasnya, kuyakin senyumnya menggoda seperti biasa, “Uhmm.. seporsi es krim stroberi untuk Nona itu,” lanjutnya, membuatku mengangkat kepala.

“Hey.. aku juga mau diet, Say!” seruku, menolak pesanannya.
Ia melambaikan tangan, dengan pesona yang senantiasa menggoda, “Sesekali, melanggar itu hal yang wajar. Lagipula, mau kau apakan lagi gitar spanyolmu itu?” balasnya.

Aku, seperti biasanya tak akan bisa untuk tidak tersenyum jika dia sudah mengerling menggoda begitu. Aku meletakan daftar menuku, mengangkat bahu kepada pelayan, “Apa boleh buat, Mbak? Si Seksi ini sudah mematahkan dietku dan merangsang nafsu makanku dengan rayuannya,”

Pelayan itu tersenyum, setelah mengangguk dia memohon diri.

“Kau belum menjawabku, bagaimana dengan liburanmu?” tanyaku sambil mengetuk-ngetukkan kukuku yang runcing di meja.

“Uhmm.. menakjubkan,“ katanya sambil melonggarkan dasinya. Ia melepas jas kerjanya, “Aku menemukan sepatu cantik berwarna merah, seperti yang kau pakai itu, Cinta.” Jawabnya sambil menendang sepatuku pelan.

Aku balas menginjak kakinya, “Sepatuku bukan untuk ditendang, Say. Tapi untuk dicium.”

Ia menyampirkan jasnya di kursi sebelah, “Sesuatu itu mempunyai banyak sisi jika dilihat secara objektif, sama seperti seorang gadis cantik yang kutemui di Bali,” matanya berkilat-kilat saat menceritakan hal yang terakhir, membuatku cemberut.

Dia mengelus daguku mesra, “Ayolah Cinta, jangan cemburu begitu! Tak ada yang melebihi kecantikanmu sekarang, terlebih membayangkanmu tertelungkup di pasir pantai, dengan bikini yang terlepas di punggung, badan sedikit terangkat…” hayalannya semakin liar, aku bahkan sempat melihat jakunnya naik turun, “Ohhh.. kurasa aku bisa membayangkan gadis itu adalah dirimu, Cinta.”

Aku menimpuknya dengan sehelai tisu, jujur aku tak rela dia membayangkanku dengan pose seronok begitu. Aku tak suka, bukan tak suka tapi tak mau. Karena hayalan itu, hanya milikku pribadi.

“Sabar!” serunya sambil pura-pura cemberut, ia mengamati wajahku lekat. “Itu cuma selingan, seorang pria dewasa itu wajar jika punya selingan. Asalkan…”

“Asalkan apa?” tantangku,

Dia menarik sesuatu dari saku celananya dan meletakannya di atas meja. Sebuah kotak mungil berwarna cokelat mengkilat. Dengan sebelah tangan ia membuka kotak itu, sebuah cincin platina indah bermata hijau mempesona mataku.

“Asalkan.. cincin ini diterima di jari manis yang lentik, selingan itu hanya sekedar selingan,” katanya serius sambil memainkan kotak itu.

Aku tergoda, tak kuasa mencegah tanganku untuk menyentuhnya.

“Indahkah? Kamu suka?” tanyanya.

Aku tak bisa menahan lidah untuk berkata, “Oh.. hanya gadis buta yang akan mengatakan cincin ini sebagai bayangan gelap. Aku.. aku menyukainya….”

Dia tersenyum puas, “Jika kau menyukainya, kurasa Jelita juga menyukainya. Kalian mempunyai selera yang sama.” Katanya sambil kembali menarik jas. “Jadi.. kau saja yang memberikannya ke dia!”

Aku terkejut, memandang dia yang berdiri, “Aku? Kenapa selalu aku? Kau bisa memberikannya sendiri, kan?!”

Ia mengedikkan kepalanya pelan, “Aku terlalu biasa memberikannya lewat kurir,” kelakarnya sambil menaruh selembar seratus ribuan di atas meja, “Cinta, aku terlalu sibuk untuk menemanimu menghabiskan seporsi es krim stroberi, maaf.”

Aku melambaikan tangan enteng, “Sudah biasa seperti itu!”

Dia mengangguk, meninggalkan sebuah sebuah senyum yang mendebarkan sebelum berbalik dan pergi. Aku mengangkat tangan ke arahnya dan memanggilnya, “Saiful.. ingat ya, Jelita memang sahabatku, dan aku mak comblang yang hebat. Tapi kau lupa satu hal, mak comblang juga manusia penyuka perhiasan,”

Dia menoleh, “Soal itu gampang! Aku punya banyak stok untukmu, jika dia sudah menerimaku secara full time!” ujarnya sambil berlalu, membuatku menggeleng geli.

Krincingg…

Lonceng kembali berbunyi saat dia membuka pintu dan menghilang di baliknya. Aku tak melihatnya lagi, mataku terlanjur terpesona dengan cincin ini. Aku tergoda untuk mencobanya melihat di jemariku, tapi sebuah getaran terasa dari tasku.

HPku berbunyi, ketika kuambil muncul nama Jelita dilayarnya.

“Jelita sayang…” sapaku.

“Cin, apa tulisan di cincinnya?” Jelita langsung bertanya dengan semangat, “Dibawah kotaknya!”

Aku bergumam sebentar sambil membalik kotaknya.

WILL U MARRY ME?

“Og.. Lita… dia dia.. dia…” aku tak sanggup menahan bahagia.

“Apa?”

“Will U marry Me?”

Suara Jelita tak terdengar lagi, tapi aku tahu dia sedang tercekat, menahan bahagia sambil menitikkan air mata.

“Permisi, Mbak,” seorang pelayan menghampiriku, menaruh seporsi es krim seperti yang kulihat digambar tadi di mejaku. Segelas soda juga mampir, tapi akan teronggok diam begitu saja di sana.

“Terimakasih,”kataku sambil meletakan HP ditas, tak perduli Jelita nanti berteriak karena aku mengabaikannya, yang penting sekarang bagiku adalah es krim ini.

“Haa.. sebenar lagi akan ada satu pesta, “ kataku sambil menyuapnya, “Hmm.. selalu enak seperti ini.” Desahku, melayang.

MPK, 11-1-08, 10.39 AM


Oleh : Mocca_chi

1 komentar:

Kamu bisa memberikan masukan, kritik dan saran untuk entry cerpen ini. Kata-kata kalian sangat membantu. Terima Kasih...