19 Juni 2010

Selamat Jalan Priti!

“Hhh...”

Hari ini desahannya cukup panjang. Walaupun Sharon sudah mulai terbiasa dengan desahan yang selalu mengawali tiap rutinitasnya, mau tak mau ia harus mengakui bahwa desahannya kali ini adalah yang paling berat. Apalagi kalo bukan itu alasannya. Hari pertama kali sekolah setelah dua minggu yang panjang mendekam di rumah karena liburan.

Aku harus siap. Anggap saja mereka seperti sebuah kerikil di sudut pandanganmu yang tak terjangkau mata. Ya, kerikil yang tak pernah minta diperhatikan, juga tak pernah memperhatikan. Aku harus bisa menjalani hari ini.Pasti.

“Tenang, aku pasti di sampingmu..” Sharon tersentak melihat sebuah sosok anak perempuan berbaju hijau kini tengah berdiri di depannya dengan senyum manis.

“Kamu... aduh, aku sampai kaget.” Kata Sharon melayangkan tinju candanya yang kemudian tembus melewati bahu anak itu.

“Kamu kan tahu, aku pasti selalu menjagamu, jangan biarkan anak-anak lain memperolokmu. Yakinlah pada dirimu sendiri. Ingat, hanya aku yang mengerti kamu.”

Hanya aku yang mengrti kamu. Kata-kata itu begitu menyanjung Sharon, yang sepersekian detik kemudian meraih kacamata botol susu sapinya dengan mantap dan berdiri lebih tegak.

“Iya, aku harus yakin, Priti...” begitu gadis bergaun hijau itu dipanggil. “Kamu janji kan nggak bakal tinggalin aku?”

“Priti mengangguk penuh keyakinan. “Aku tercipta untukmu Sharon...”
* * *

Walaupun sepatu pantofelnya sedari tadi menimbulkan gema di sepanjang lorong koridor sekolah, tak ada satu pun yang benar-benar peduli. Ketika Sharon yang berjalan tertunduk itu terjatuh ke belakang akibat air pel yang belum kering pun tak ada yang benar-benar menyimak. Sesaat Sharon mengira kepala bulatnya akan sukses beradu dengan lantai, sampai sedetik kemudian ia merasa ada yang menopangnya dari belakang. Ia baru saja akan berterima kasih pada sang empunya tangan, sebelum akhirnya air mukanya memerah, begitu menyadari siapa sang dewa penolongnya.

“Kau tak apa-apa? Hati-hati kalau jalan...”Sesaat sharon merasa dunianya berputar, begitu melihat pangerannya begitu dekat dengannya saat ini. Rasanya dengkul ini lemas dan kepalanya penat untuk sekian detik. Oh. Ia tak mau ini berlalu begitu saja.

“Hei, kau tak apa-apa kan? Apa kau mengalami semacam rematik sampai tak bisa bangun?”

Kuping Sharon memerah seketika. Ia terlompat seakan baru saja menemukan kesadarannya yang sempat mengembara. “Oh.. Ma... ma..af. Ma..ka..s.sih..” ucapnya terbata sambil tergesa lagi. Oh, benar-benar air pel sialan, rutuknya. Tampaknya ia harus membayar ucapannya itu karena sedetik kemudian badannya terayun ke depan begitu cepat dan ia siap terjatuh lagi.

Sharon merasakan badannya tertahan sebelum kacamata botol susu sapinya terjatuh dengan sukses.”Oops. Hampir jatuh lagi! Hati-hati kalau jalan!” kata pangerannya lagi sambil menyangga berat badan Sharon. Sharon tak mempedulikannya. Tangannya sibuk menggapai-gapai ke sekeliling. Berharap bisa menemukan kacamatanya. “Oh, nyari kacamata ya? Ini..”Kevin, begitu sang pangeran dipanggil, langsung menyerahkan kacamata yang terjatuh tadi. Sesaat ia memandang Sharon yang tanpa kacamata. Wih, dibalik kaca tebel ini tersembunyi paras nan rupawan, batin Kevin kumat untuk berfilosofi.
Buru-buru Sharon merebut kacamata itu dan memakainya tergesa. “Makasih. Aku nggak bisa melihat tanpa ini.”

“Sama-sama...” kata Kevin sebelum akhirnya Sharon tergopoh-gopoh meneruskan perjalanannya kembali dengan mata tertunduk. Kevin menatap punggung itu menjauh dengan jutaan rasa penasaran.
* * *

Tahun ajaran baru begitu membosankan seperti biasanya. Teman baru, kelas baru, lingkungan baru, semuanya membuat Sharon begitu nelangsa, frustasi karena tak segera mendapat teman duduk, jengkel karena belum bisa menyapa seorang pun, dan sebal lantaran sekelilingnya pun tak berusaha menyapanya. Kenapa ya?
Ia memandang penampilannya sendiri lewat layar HP yang cahayanya redup. Aku culun. Rambut diikat dua, kacamata setebal pantat botol, baju kebesaran, rok kepanjangan, sungguh bad style dari si aneh Sharon. Siapa yang mau berteman denganku? Apalagi Kevin. Batin Sharon seraya mengerling pangerannya yang asyik bercanda dengan anak perempuan yang agresif. Oh, pikir apa kamu Sharon? Jelas sajalah dia tak mau berteman denganmu. Jangan berharap terlalu banyak!

Kan ada Priti. Ya, Priti. Dia yang selama ini di sampingku sebagai teman. Kalau teman-teman sudah memperolokku, merendahkanku, dan meremehkanku, Sharon selalu menjadi yang pertama menghiburku dengan senyum tulusnya.
Tak terasa bibirnya mengulas senyum. Ternyata sudah 14 tahun ia menjalin pertemanan dengan Priti. Saat itu ia msih berumur 3 tahun, tatkala tetangganya memperoloknya begitu rupa. Saat itu Priti muncul dan membisikkan kata-kata penenang jiwa. “Tenang saja Sharon. Aku selalu di sampingmu, mulai sekarang kita berteman, ya.”

Sejak itu ia selalu muncul tak terduga. Menghibur Sharon sebanyak ia mau, muncul pada saat yang dibutuhkan, pagi, siang, sore, bahkan malam menjelang Sharon tidur. Sharon begitu menyayangi temannya ini. Bahkan ia rela kehilangan apa saja asal tak kehilangan Priti.
Lamunan Sharon pecah tatkala bunyi tumit sepatu kepunyaan Bu Hilda bergema di ruangan. “Ibu tak banyak waku saat ini, karena harus mengawasi OSIS yang mengorientasi murid baru. Yang jelas ibu mau membagi kalian menjadi 8 kelompok untuk mengerjakan tugas laporan pengamatan. Hasilnya akan dipresentasikan minggu depan.”

Terdengar koor ‘yaah’ dari seluruh penjuru kelas. “Tak ada protes. Ibu membagi kalian berdasarkan absen. Absen 1-5 kelompok A. Absen 6-10 kelompok B, begitu seterusnya. Silahkan kalian merundingkan sebuah tema bebas yang berbobot dan bagus. Ibu keluar dulu. Jangan ribut!” katanya sambil berlalu.
Setidaknya Sharon bisa bernapas lega karena ia tak perlu repot mencari teman sekelompok. Namun itu hanya berlangsung sesaat, ketika beberapa saat kemudian ada yang mengganggu pikirannya begitu teringat sesuatu. Mati aku! Namaku kan Liliana Sharon, berarti aku sekelompok dengan...

“Oi, aku sekelompok denganmu kan?” bagai lalat, dalam sekejap Kevin sudah hinggap di bangku kosong sebelah Sharon. Seketika jantung Sharon berdebar kencang. Duh, dia sekelompok dengan pangerannya!

“I...iya.” penyakit lama kumat. Tergagap.

“Eh, kita sekelompok sama siapa aja?” tiba-tiba Keisha sang primadona sudah berdiri di depan Sharon yang mematung. Begitu melihat Sharon, Keisha tak susah payah untuk menahan pandangan mencelanya. “Yaah, sama dia. Eh tapi nggak apa-apa kan Vin? Kita bisa sedikit santai. Kan ada si kacamata ini.”

Darah Sharon berdesir tak enak, namun segera dikuasainya.

“Apaan sih Kei? Itu yang disebut kerja kelompok?” tanya Kevin kalem, namun cukup membuat kuping Keisha memerah. “Nggak ada kerja sendiri, kita harus kerja semua. Oke?” katanya lagi disertai anggukan kasual Mona dan Lando. Keisha akhirnya mengangguk lemah. “Ya udah. Enaknya tentang apa, nih?”

“Tentang ini saja...” Mona memberi usul yang segera diinterupsi oleh Lando yang juga semangat memberi ide. Mereka begitu bersemangat mengutarakan pendapat, kecuali Sharon.

Duh, aku harus gimana? Aku takut ngeluarin pendapat. Kepala Sharon kini berpusar hebat, menciptakan pening kecil di sisi kiri dahi. Ia tak kuasa berpikir dan terus menunduk, tak menyadari bahwa kini sepasang bola mata sibuk mengamatinya dengan penuh minat.
* * *
Diary, hari ini aku kebagian tugas kelompok bersama Kevin. Seketika aku kehilangan kata-kata. Walaupun hampr tak ada kata-kata yang aku keluarkan sepanjang hidup, tapi kali ini aku benar-benar kehilangan hasrat untuk bicara. Huff...

“Lagi nulis apa Sharon?” dalam satu kedipan mata Priti sudah berdiri di sampingnya.
“Lagi nulis kejadian di sekolah tadi. Waktu aku satu kelompok sama Kevin. Aku benar-benar deg-degan.”
“Kamu suka padanya?” mendadak raut muka Priti berubah beku.
“Eng.. enggak. Aku hanya takut bicara dengan laki-laki populer.”Sharon mengelak. “Tenang Priti. Hanya kau temanku.”
“Aku harap begitu” katanya dengan nada melunak.”Ingatlah. Hanya aku temanmu Sharon.”

Sharon tersenyum persis ketika pintu di belakang Priti berderit disertai Mama Sharon memasuki ruangan. “Kamu bicara dengan siapa nak?”

“Dengan Priti Ma. Barusan dia ada di sini.” Jawab Sharon kalem.
“Bukankah Mama sudah bilang, bahwa Priti tak ada sayang...”
“Mama, Priti adalah teman terbaikku, Mama nggak boleh bilang kalau dia tak ada!” Sharon menggebrak meja, menumpahkan segala emosi.”Kenapa sih mama nggak percaya?”
“Sayang, bukannya mama nggak percaya. Tapi dia hanya khayalanmu nak..” Suara Mama Sharon mulai bergetar.

“Sekali lagi mama ngomong begitu” Sharon menahan napas. “Aku tak segan untuk keluar dari rumah ini.”lalu ia berbalik menaiki ranjang,dan menarik selimut sampai menutup kepala dan tidur membelakangi Mama Sharon yang kini terisak dalam diam.
* * *

Hari ini Sharon akan mengerjakan tugas kelompok di rumah Kevin. Ingin rasanya ia melarikan diri. Namun ia sadar ia tak bisa. Ia hanya bisa mengikuti alur cerita.

“Sharon, kok duluan sih? Bareng saja!” panggil Kevin ketika kaki kanan Sharon hendak melangkah keluar kelas. Semu merah menjalar cepat di pipinya.
“Bareng dong. Mona, Lando, Keisha, ayo pergi! Time’s money!”

Lalu mereka berjalan berjejeran. Semuanya asyik berkicau, mengabaikan Sharon dalam kebisuan. Sharon sendiri pun lebih tertarik memandang tali sepatunya.

“Hei, Sharon, kok diam saja?” kata kevin tiba-tiba sementara yang lain sedang membeli minuman. Kini tinggal mereka berdua. “Oh ya kau tahu? Kau lebih cakep tanpa kacamata lho. Lebih baik kau pakai soft lens. Memangnya kau minus berapa?”
Sharon merasakan dadanya berdenyut-denyut. “Er... Minus 8”

“8?? Yang benar saja. Pasti sulit untuk melihat ya?”Sharon membuat gerakan seperti mengangguk. “Hei, yang lain udah selesai. Yuk berangkat!”
Lalu mereka kembali berceloteh dan Sharon asyik dengan dunianya.
* * *

Kini semua tengah sibuk dengan bagian masing-masing. Mereka memutuskan mengangkat tema ‘Kekerasan Terhadap Anak dibawah Umur’ untuk dipresentasikan. Kalau ini, aku jagonya, batin Sharon puas seraya mengumpulkan bahan dari berbagai koran. Sebelum dipindahkan ke kertas kosong dengan bahasa sendiri yang variatif.

Waktu terus bergulir hingga jarum jam menunjuk angka 5. “Wah, enggak kerasa ya udah jam 5” celetuk Mona tiba-tiba.

“Iya, capek.” Sahut Lando sambil menguap. “Vin, udah selesai? Vin? Haloo..”
“Eh, oh sudah...”
“Kau mikir apa sih?”
“Enggak. Eh, Sharon, bentar ya. Maaf, maaf banget.” Tanpa diduga Kevin membuat gerakan seolah mau membelai Sharon. Keisha terbelalak tatkala Kevin ternyata hendak membuka ikatan rambut Sharon.
“Ei..Ei, apa yang kau lakukan?”pekik Sharon tertahan sebelum Kevin melepaskan kacamata kebangsaan Sharon.
“Nah gimana Do? Lebih baik seperti ini kan?” kata KSevin puas seraya mengagumi karyanya. Sang karya sendiri hanya sanggup mematung.
“Wow. Kesan nerd hilang sudah kalau rambutmu digerai. Mulai sekarang seperti ini saja.” Puji Lando disertai anggukan semangat Mona dan –tak diduga- Keisha.
“Iya Sharon, kalau kamu dandan seperti ini, pasti kamu nggak akan dipandang sebelah mata lagi.” Tutur Keisha sungguh-sungguh.
Sharon merasakan sesuatu yang hangat merayapi relung hatinya.
* * *

Ternyata mempunyai teman sangatlah menyenangkan. Semenjak kejadian sore itu, Sharon tampak lebih berani dalam berbusana. Roknya dipotong hingga mencapai lutut atasan dikit. Bajunya pun dirancang sedemikian rupa agar lebih pas di badan. Kacamata pantat botol itu pun tersimpan rapi di laci, tergantikan oleh soft lens hijau zamrud. Kini pun ia lebih berani berbincang dengan Kevin, seperti,

“Vin, siapa yang akan jadi moderator nanti?”
Dan Kevin pun tak sungkan lagi mengajak bicara Sharon, seperti

“Sharon, kau berubah. Jadi lebih berani dan PD. Good, I Like it.”
Seketika Sharon tak merasa kakinya berpijak di tanah. Asanya makin melambung seiring dengan jantungnya yang berdebar tatkala berhadapan dengan pangerannya. Sesekali ia juga menangkap percik-percik sayang yang terpancar dari mata Kevin. Sharon serasa melayang. Terbuai lembutnya awan dan betah berlama-lama.

“Jadi kamu sudah melupakan aku Sharon?”cetus suara dingin yang berasal dari sudut kamar Sharon. Imaji Sharon pecah seketika.

“Priti! Kamu kemana aja? Aku kangen...kenapa jarang muncul?”

“Karena kamu tak menganggapku ada.” Sahut Priti sedih seiring dengan tubuhnya yang mulai pudar. “Aku akan menghilang, Sharon...”

“Jangan Priti! Kamu adalah temanku!”

“Kalau begitu kau bunuh dia!” desis Priti luar biasa berbahaya seraya bergerak cepat ke arah Sharon yang terbelalak. “Bunuh Kevin. Dia yang merebutmu dariku!”

“Aa..aa... Kau gila?” erang Sharon tak percaya mendengar hal setabu ini keluar dari mulut Priti yang sedetik kemudian hilang bagai asap. Hening menyusul, menjemput Sharon yang sesenggukan dalam diam.
* * *

Frekuensi munculnya Priti melebihi kapasitas biasa tiap Sharon bertemu Kevin, ia muncul bagai nyamuk dan selalu mendesiskan kata yang sama. “Bunuh dia!”. Sharon merasa hampir gila, hingga suatu hari ia dan Kevin berada di atap sekolah dengan ketinggian 2 lantai.

“Kenapa kau memanggilku ke sini?” tanya kevin bingung. Ia hampir mencapai bibir atap sementara desisan “Bunuh dia”-nya Priti begitu memekakkan telinga. Priti sendiri sekarang berdiri di belakang Kevin dengan wajah luar biasa dingin.

“Bunuh dia...”

Sharon maju perlahan. Tubuhnya bergetar hebat. “Sharon, hei kamu baik-baik saja?” kevin bertanya bingung.

“Bunuh dia....”

“Sharon, ada apa?”tanya Kevin sementara tangannya hendak menyentuh dahi Sharon.

“BUNUH DIA”

Bagai kesetanan, Sharon meraung dengan tangan terjulur ke depan, siap mendorong Kevin. Ketika jarak mereka tak lebih dari 5 cm, Sharon berbelok dan dengan emosi mengganti sasaran targetnya.

“ENYAH KAU PRITI!!!”

Tubuh Sharon terayun begitu cepat ketika tangannya menembus badan Priti yang transparan. Berpijak di udara, jatuh dengan kecepatan luar biasa, semuanya terjadi begitu cepat. Lalu semuanya gelap.
* * *
Samar-samar bau alkohol menerobos penciuman Sharon. Lamat-lamat dibukanya mata yang entah berapa lama terpejam. Ketika retinanya benar-benar
berfungsi, kini giliran fungsi mulutnya yang bekerja. “Emmh... Dimana nih?”

“Sha, kamu udah sadar?” Kevin menggenggam tangannya dengan erat. Di belakangnya berdiri Lando, Mona, dan Keisha yang berdiri dengan cemas.

“Apa yang terjadi? Ugh..” Sharon merasakan sakit luar biasa menyerang keningnya, yang segera ditahan dengan segala kemampuan.

“Kamu jatuh dari lantai dua Sha. Beruntung kamu tersangkut pohon...” papar Kevin seraya mengeratkan genggamannya. “Apa yang terjadi Sha? Kamu mengigau nama Priti”

Sharon tercengang mendengar nama itu keluar dari mulut Kevin. Rupanya rasa traumatik yang begitu besar sangat mempengaruhinya hingga menyerang memori Sharon dan memaksanya untuk mengatakan nama itu dalam alam bawah sadarnya. Perlahan diutarakannya semua yang akhir-akhir ini menyesakkan daada Sharon. Mona dan Keisha mendekap mulut dengan kedua tangan sementara Lando membelalak.

“Sharon, itu hanya khayalanmu...Cobalah menerima kalau ia tak ada.”kata Kevin lembut.

“I’ve tried. But She’s so real.” Tiba-tiba sudut matanya menangkap gaun hijau melambai-lambai dari malik punggung Kevin. Priti berdiri di sudut ruangan. Wajahnya tampak sendu. Setetes air mata bergulir di pipinya. “Dia ada di sini, Vin. Dia ada...”

“Konsen, Sha. Dia nggak ada. Konsen. Pejamkan mata!”. Sharon menurut. Ia mencoba untuk fokus. Namun gendang telinganya menangkap sesuatu yang lain.

“Maafkan aku Sharon. Aku hanya ingin kamu menjadi milikku seorang. Aku salah. Aku cemburu. Tapi kini aku sadar kamu punya teman yang lebih baik dari aku. Selamat tinggal Sharon. Kuharap kau bahagia...”
Sharon membuka mata dengan cepat. Sosok Priti sudah tak ada di sana. Ia lenyap.

“Bagaimana?” tanya Kevin gusar.

“Sudah tak ada Vin. Lenyap.” Rasa lega berbaur dengan sedikit luka yang terbersit di hati Sharon. Kenyataan bahwa bertahun-tahun ia telah menjalani pertemanan dengan Priti membuat hatinya sakit tatkala kehilangannya.

“Priti temanku yang paling baik.” Tanpa sadar Sharon berucap. “Dia selalu ada ketika aku butuh dia. Dia benar-benar sosok teman idaman. Waktu kecil aku sering bermimpi punya teman seperti dia. Cantik, lembut, anggun, dan entah darimana ia muncul. Mungkin keinginan yang kuat untuk berteman dengan teman seperti itu yang membuat ia muncul di khayalanku secara nyata. Dan ia benar-benar memberikan segala kenyamanan seorang sahabat. Dia sahabat yang baik.”

“Memang, sahabat yang paling baik sangat melekat di hati kita. Walau itu imajinasi. Walau ia sekarang tak ada, tapi sebenarnya ia tetap ada.” Kevin menunjuk dadanya. “Di sini... Di hati kita. Tapi kita tak boleh berputar di masa lalu. Biarlah Priti menjadi salah satu kenangan terindahmu. Lagipula kau punya kita kan?”
Sharon mengukir senyum paling manis. “Makasih, Kevin.”

“Iya, Sha. Kan ada kita juga. Kau tak usah sedih lagi ya. Semangat!” timpal Mona sembari mengacungkan tinju ke udara. Senyum Sharon semakin lebar.
Priti, aku tahu kau hanya khayalanku. Khayalan yang muncul di saat aku sendiri. Sepi, terbunuh oleh perasaanku sendiri yang menginginkan kehadiran seorang teman. Tapi kau tetaplah kenangan terindah dalam hidupku. Kenangan dalam masa kesepianku.
Tapi Priti, kini aku tahu satu hal, bahwa aku tak sendirian lagi.... Walaupun begitu, aku tak akan pernah melupakanmu, karena kau merupakan anugrah terindah dalam hidupku.
Selamat Jalan Priti....

Oleh : anien-chan

1 komentar:

Kamu bisa memberikan masukan, kritik dan saran untuk entry cerpen ini. Kata-kata kalian sangat membantu. Terima Kasih...