Tadi Eleanor bilang suka padaku. Aku belum jawab. Sebagai cewek, jual mahal itu penting. Tapi bagi Sisi, kembaranku satu itu, dia bilang aku bodoh.
“Itu namanya mainin perasaan!” katanya. Hah, Sisi salah besar, aku cuma mo ngetes, Eleanor benar-benar serius atau justru dia yang main-main. Kalo digantung satu dua hari aja nyerah, jangan berani nembak Sashi! Lagian, aku bukan perempuan yang gampang ambil keputusan. Apalagi masalah cinta, harus dipikir masak-masak dulu baru aku berani buka mulut.
Malam ini, kuputuskan jalan-jalan keluar, keliling kompleks sambil cari angin sepoi-sepoi. Jauh-jauh dari Sisi. Suasana amat mencekam gelap-gelap begini. Hanya terdengar gonggongan anjing dan jangkrik mengerik. Jalanan sesepi desa habis kena banjir, belum lagi lampu merkuri di sepanjang trotoar kedap-kedip melulu pertanda mau padam, disertai hujan gerimis. Meski begitu, di ujung blok sana, ada kafe tenda superramai. Aku mutusin berteduh di salah satu stand, memesan seporsi bakso spesial dan mengambil tempat di meja pojokan. Jernihnya kuah bakso bikin lidahku bergoyang tak sabar, sampai…
“Misi, boleh gabung?” suara nge-bass cowok bergaung di belakang telingaku. “Meja lain penuh.”
Aku memutar bola mata ke seantero tenda untuk memastikan bahwa cowok itu gak bohong. Dengan terpaksa, aku mengangguk. “Ya deh.”
“Trims,” sahutnya manis. Senyum simpulnya terkembang sempurna. Kalau kuperhatikan, umurnya belum 18 tahun. “Sering makan di sini?” tanyanya seraya menggulung mi.
“Baru sekali. Napa?”
“Punya masalah, kan?” tebaknya sok tahu.
“Gak.”
“Masa? Biasanya tipe-tipe kamu, datang ke sini karena bingung mikir cinta,” ujarnya datar.
Lho, memang tadi aku cerita sedang menggantung cinta cowok bernama Eleanor? “Kok tahu?”
“He he,” ia nyengir. “Betul kan? Aku suka kamu ngegantung dia, dia rese.”
“Kamu siapanya Eleanor?”
“Kenalin, Kaemon.”
Buset, it, itu nama orang? Bukan tokoh kartun Jepang? “Kamu mata-matanya Eleanor?”
“I’m not,” Kaemon melirik ke kanan, kemudian mencondongkan badannya mendekati wajahku. Ya Tuhan! Dia mau apa? Jangan sampai Kaemon berbuat macam-macam! Aku merem ketakutan, khawatir kalau cowok ini menubrukkan bibirnya ke bibirku trus…
Salah. Rupanya ia merapatkan jaketku yang melorot sehingga tank-top ini terlihat jelas. “Ati-ati, ada pria rada mesum di arah jam dua,” bisiknya.
“Mesum?” Aku menekuri arah tatapan Kaemon. Mesum dari mana? “Dia pake kemeja, necis, sepatu pantofel, celana lurus dan berpeci. Gak keliatan hidung…”
“Cintakuuu, minta Cola satu dong,” tanpa kuduga, pria tersebut gelayutan mesra pada seorang waitress. Demi Tuhan, nggak nyangka!
Kaemon menahan tawa. “Tuh kaaan.”
***
Aku tatap secarik kertas. Hasil ulangan trigonometri minggu lalu. Nggak tahu deh, waktu itu Bu Reni kerasukan apa, tapi sebelum diajarkan, kami malah tes trigonometri mendadak. Siaaall!
Yang pasti, ada angka 100 warna merah terpampang besar-besar di atas kertas ulanganku. Anak-anak lain, termasuk Sisi yang melirik kertas ulanganku, terkejut bukan main. Aku aja shock, apalagi mereka?
Pulang sekolah, aku dapat kejutan satu lagi. Bukan nilai matematikaku, tapi soal Eleanor. Kemarin dia menembakku, now, kayaknya doi lupa dan malah asyik belajar teori atom Dalton bareng cewek adik kelas. Kaemon betul, Eleanor brengsek!
***
Memasuki teras, suasana rumahku lebih pikuk dari biasanya. Tanteku satu-satunya datang dari Jogja. Kusambut tubuh Tante Nia yang duduk di ruang tamu. Sudah bertahun-tahun kami tak jumpa.
“Gimana? Masih suka liat yang serem-serem?” tanya beliau.
Dahiku berkerut. “Serem?”
“Loh, waktu kecil kan kamu hobi liat begituan. Yang ada anak kecil-lah, hantu itu-lah…”
Masa? Kok gak ingat ya? “Nggak tuh. Ngomong-ngomong, itu apa?” aku menunjuk buku besar yang digenggam Tante Nia.
“Album fotomu. Eh, foto-foto ini beneran?”
“Kenapa?”
“Nih, liat. Kata mamamu, kamu masih tiga bulan, kok bisa pegang botol susu sendiri?”
“Salah ya?”
“Ya salah. Masa masih delapan bulan bisa ngomong, trus satu tahun nyanyi lagunya Chrisye udah kenceng banget, lagi!” Tante Nia menyodorkan fotoku tengah memegang mike.
“Owh, biasaaa,” penyakit narsisku keluar. “Tante juga, tumben ke sini?”
“Cuti sebentar, mau bikin skripsi.”
“Tentang?”
“Biasa, anak hukum kerjaannya ngutak-atik hukum pidana melulu,” Tante Nia menyandarkan kepala di sofa.
“Tentang KUHAP gitu?”
“Yoi.”
“Padahal kalau aku disuruh milih, lebih seneng hukum pidana daripada perdata atau hukum adat. Susah ngapalin UU, belum lagi ada versi Belanda-nya,” ceritaku.
Awalnya Tante Nia terperangah heran, tapi lama-lama ia mulai menikmati perbincangan. “Iya, apalagi kalau sudah sampai hukum dagang, kan bakalan dibagi-bagi lagi tuh…” dan kami terhanyut dalam dialog panjang sepanjang siang.
***
“Nevermind,” jawab Kaemon gembira setelah aku cerita soal Eleanor. “Insting pria jitu, kan!” godanya. “Malah besok-besok lebih banyak Eleanor-Eleanor lain bakal ngejar kamu.”
“Makan tuh insting!”
“Gini-gini IQ-ku 180 lho!” Kaemon membela diri.
“Oh,” aku melirik ke samping kiri dan kananku. “Kayaknya kita diperhatiin orang-orang,” bisikku.
“Tauk ah,” Kaemon cemberut mendengar ketidakpedulianku. “Ambilin botol kecap dong, deket kamu tuh,” menggerutu ia.
“Ntar, baksonya enak loh!” aku sibuk meniup-niup kepulan asap kuah bakso.
“Aku makannya kapan ni?”
Aku taruh sendok lalu memandang botol kecap di sampingku dengan tajam. Jaraknya sekitar 40 senti tepat di sudut meja. Andai aku punya kemampuan telekinetik, sehingga dengan kekuatan pikiran, botol itu bisa bergeser dan berpindah ke tangan Kaemon. Aku menyipitkan mata, tapi ah, percuma! Khayalanku mengada-ada. Aku memutar bola mata kembali ke mangkok bakso, akan tetapi, WUSH! Tiba-tiba botol itu jatuh ke depan. Untung Kaemon sigap menangkap. “Ada yang usil nih.”
“Siapa?”
Kaemon langsung komen sambil mengelus-elus dagunya bahwa kami baru saja dikerjain hantu. Huh, mana percaya!
***
Ino membawa setangkai mawar lalu bilang suka padaku. Waks, ini rekor! Bayangin, baru tadi pagi, Adi, sang Ketua OSIS menembakku. Belum lagi masuknya segepok surat ke lokerku minggu-minggu ini, ditambah belasan SMS yang rata-rata berisi ajakan makan siang atau cuma say hi doang.
Asyik, tapi yang mengganjal pikiranku bukan itu. Ada hal penting dan harus kubicarakan dengan Sisi. “Cowok aneh?” ulang Sisi setelah kuceritakan tentang Kaemon. Cowok itu benar-benar meninggalkan tanda tanya besar. Kok dia bisa tahu kalau hari ini banyak sekali cowok sesekolahan mengejarku?
“Orang yang tau future gitu kayaknya ada istilahnya deh?” tanyaku.
“Dukun?” Dasar, wajah boleh cantik, tapi otak Sisi tetap susah diajak serius. Hingga akhirnya keluar beoan dari mulut Sisi. “Indigo kan?”
***
Aku browsing Internet dan menemukan banyak kejutan.
Indigo. Rata-rata, anak indigo emang beda sama anak-anak sebayanya. Anak indigo berjiwa dewasa serta mampu menghargai perbedaan. Indigo bukan penyakit dalam daftar WHO. Sejenak aku teringat, waktu itu Kaemon betulin jaketku agar terhindar dari hidung belang. Sangat dewasa, kan?
Kupatut lagi monitor komputer. Anak indigo punya banyak sifat. Pertama, tingkat kecerdasan superior dengan IQ tinggi. Kedua, anak indigo dapat ngerjakan sesuatu tanpa diajarkan. Ketiga, bisa nangkep perasaan orang lain. Keempat, tahu sesuatu yang tidak dapat dipersepsi oleh pascaindera di masa kini, masa lampau, dan masa depan. Persis Kaemon. Dia tahu masa depanku!
Yang bikin bulu kudukku berdiri ialah poin kelima: mampu mengetahui keberadaan makhluk halus. Jangan-jangan, benar kata-kata Kaemon kalau di stand bakso tersebut ada penunggunya? Bahkan, menurut info di buku, anak indigo cenderung memiliki ‘teman-teman tak terlihat’. Hiii!
Ya Tuhan, aku berteman dengan cowok abnormal! Gimana kalo dengan kemampuannya dia bisa mengetahui seluk-beluk hidupku bahkan yang paling rahasia sekalipun? Begitu kubicarakan masalah ini ke Sisi, dia ngakak. “Masa cowok itu indigo?” celetuk Sisi tak percaya.
Daripada jabarin sepanjang Sungai Nil, mending aku kasih langsung buktinya. “Ayo ikut!”
***
Kafe tenda, khususnya di stand bakso tampak ramai. Aku ajak Sisi ke tempat ini untuk menemui Kaemon, tapi hasilnya nihil. Sisi marah dan bilang aku tukang bohong. Tapi suer, setiap kali aku kesini, Kaemon mesti muncul. “Pak,” kuputuskan tanya pada pemilik stand yang sedang repot di balik gerobak. “Laki-laki yang biasanya ngobrol sama saya di pojokan itu, tinggi, terus rambutnya cepak, udah datang?”
“Bukannya Non biasa duduk sendirian?”
“Bapak nggak liat? Yang tempo hari duduk sama saya, sampai saya ngobrol cekakakan!”
“Enggak, malah saya heran, kok Non sering bicara sendirian? Seolah-olah Non lagi ngobrol sama orang, tapi bener, nggak ada siapa-siapa kok Non,” jelas tukang bakso itu.
“Bapak jujur?” Sisi nimbrung.
“Suer. Sampai diliatin orang-orang lho! Kalau nggak percaya, tanya deh ke pengunjung lain.”
Mampus. Apa-apaan ini? Lalu dengan siapa aku berbicara? Siapa Kaemon? Aku mulai mengingat ciri-ciri anak indigo yang pernah kulihatkan di Internet: cenderung memiliki ‘teman-teman tak terlihat’. It’s me! Dapat ngerjain sesuatu tanpa diajari, liat makhluk halus, kecerdasan superior. Itu aku kan?
Tiba-tiba ulangan trigonometri dapat 100, bisa ngoceh tentang hukum pidana bareng Tante Nia dan sekarang punya teman tak terlihat!? Jangan-jangan jatuhnya botol kecap karena telekinetikku, lagi!
J-jadi sebetulnya aku yang… Di tengah rintik hujan, aku berjalan tanpa arah. Tak kupedulikan teriakan Sisi yang memanggilku.
Oleh : Ayo_shiari
aku pernah baca cerpen ini di majalah deh. tapi gak inget nama penulisnya.
BalasHapusoh ya, cerpen ini aku copy paste dari sebuah forum, dan ID pengirimnya yang aku pasang dibawah itu : Ayo_shiari
BalasHapusheyy,,, eke kenal ama ayoshiari. haha :D
BalasHapuslucu jg cerpennya ^^~