“Pernahkah kau lihat awan berarak di atas sana? mereka selalu bersama-sama, saat mereka muncul, mereka bergumbul. saat mereka menghilang, mereka mengkerut hingga tak pernah bisa terlihat oleh mata.”
Meira diam. Kepalanya terus mendongak ke cakrawala. Deru angin berhembus di sekelilingnya, menerbangkan selendang tipis yang melilit di leher. Meira terus tersenyum, merentangkan tangannya menembus udara.
“Mereka selalu bersama-sama. Tak pernah sendirian, karena kalau mereka sendirian, mereka akan lenyap, melarut dalam udara.”
Meira tersenyum lagi. Langit sedang cerah, awan tampak bergumul di satu sudut cakrawala, berdampingan dengan rumput, terlihat jelas dari tempatnya berdiri.
“Awan… aku senang sekali melihatnya. Aku ingin seperti awan, aku ingin selalu melihat awan, aku ingin punya awan sendiri…”
tiba-tiba Meira berubah sendu. Tangannya turun, perlahan merapat ke badan. Matanya masih tetap memandang awan yang berarak, lama hingga ia tak sadar bahwa bentuk awan yang dilihatnya sudah berubah.
“Awan tidak selalu sama…” gumam Meira sedih, “Mereka terus berubah-ubah. Tak pernah mempunyai wajah yang sejati.”
Meira menggeleng, ia mulai meringis. Kedua tangannya makin merapat, memeluk tubuhnya sendiri.
Angin berhembus makin kencang, menggoyangkan karpet hijau ini, melepaskan aroma tanah yang harum bersama bau rumput yang lezat.
“Aku tak mau mereka berubah. Aku tak mau mereka pergi. Aku tak mau, aku mau mereka tetap menjadi mereka, aku mau mereka tetap menjadi awan yang berarak, kemana-mana selalu bersama. Dalam suka maupun sedih, selalu ada disisiku, bagai awan berdampingan dengan langit.”
Angin melolong, suaranya melengking tinggi. Meninggalkan rasa takut yang mencekam. Meira menggeleng, air mata mulai menitik dari matanya, mengalir panjang sampai dagu.
“Tidak! Tidak… aku tak mau.. aku tak mau… aku tak mau mereka pergi…”
angin makin ribut. Auranya berubah, terasa kontras dengan hijau berdamping biru ini. Makin lama, angin terus melolong, desingannya berubah jadi tawa panjang yang menghina, melumatkan rasa ambisi menjadi sepi yang meranggas.
“Aku tak mau sendiri…”
Meira terus meratap. Tangisnya makin keras, menggema di udara.
“Kau terlalu egois!” sebuah suara menggema dari udara, “Kau terlalu naïf. Kau.. kau tak bisa mengikat orang untuk selalu menjadi milikmu, kau tidak bisa memakunya dalam pasungan!”
meira menggeleng,
“Awan punya kebebbasan. Sama seperti kau, bebas memilih awan mana yang jadi pelindungmu. Mereka, punya kebebasan sendiri,”
“Tidak!” teriak Meira. air mata makin mengalir di kedua pelupuk matanya, “Tidak.. aku tak mau! Aku tak bisa. Aku tak mau. Jika mereka memang awanku, sampai kapanpun mereka akan tetap menjadi awanku!”
suara itu tertawa. Panjang dan mencemooh.
“Kalau begitu, kau tak akan pernah punya awan yang bermuka sejati! Karena awan, selamanya tak bermuka!”
Malam itu sepi
Malam itu gelap
Malam itu mencekam
tapi malam tak kesepian
ada bulan yang selalu menemaninya
ada bintang yang selalu membuatnya tersenyum
malam..
aku ingin seperti malam…
Meira diam. Kepalanya terus mendongak ke cakrawala. Deru angin berhembus di sekelilingnya, menerbangkan selendang tipis yang melilit di leher. Meira terus tersenyum, merentangkan tangannya menembus udara.
“Mereka selalu bersama-sama. Tak pernah sendirian, karena kalau mereka sendirian, mereka akan lenyap, melarut dalam udara.”
Meira tersenyum lagi. Langit sedang cerah, awan tampak bergumul di satu sudut cakrawala, berdampingan dengan rumput, terlihat jelas dari tempatnya berdiri.
“Awan… aku senang sekali melihatnya. Aku ingin seperti awan, aku ingin selalu melihat awan, aku ingin punya awan sendiri…”
tiba-tiba Meira berubah sendu. Tangannya turun, perlahan merapat ke badan. Matanya masih tetap memandang awan yang berarak, lama hingga ia tak sadar bahwa bentuk awan yang dilihatnya sudah berubah.
“Awan tidak selalu sama…” gumam Meira sedih, “Mereka terus berubah-ubah. Tak pernah mempunyai wajah yang sejati.”
Meira menggeleng, ia mulai meringis. Kedua tangannya makin merapat, memeluk tubuhnya sendiri.
Angin berhembus makin kencang, menggoyangkan karpet hijau ini, melepaskan aroma tanah yang harum bersama bau rumput yang lezat.
“Aku tak mau mereka berubah. Aku tak mau mereka pergi. Aku tak mau, aku mau mereka tetap menjadi mereka, aku mau mereka tetap menjadi awan yang berarak, kemana-mana selalu bersama. Dalam suka maupun sedih, selalu ada disisiku, bagai awan berdampingan dengan langit.”
Angin melolong, suaranya melengking tinggi. Meninggalkan rasa takut yang mencekam. Meira menggeleng, air mata mulai menitik dari matanya, mengalir panjang sampai dagu.
“Tidak! Tidak… aku tak mau.. aku tak mau… aku tak mau mereka pergi…”
angin makin ribut. Auranya berubah, terasa kontras dengan hijau berdamping biru ini. Makin lama, angin terus melolong, desingannya berubah jadi tawa panjang yang menghina, melumatkan rasa ambisi menjadi sepi yang meranggas.
“Aku tak mau sendiri…”
Meira terus meratap. Tangisnya makin keras, menggema di udara.
“Kau terlalu egois!” sebuah suara menggema dari udara, “Kau terlalu naïf. Kau.. kau tak bisa mengikat orang untuk selalu menjadi milikmu, kau tidak bisa memakunya dalam pasungan!”
meira menggeleng,
“Awan punya kebebbasan. Sama seperti kau, bebas memilih awan mana yang jadi pelindungmu. Mereka, punya kebebasan sendiri,”
“Tidak!” teriak Meira. air mata makin mengalir di kedua pelupuk matanya, “Tidak.. aku tak mau! Aku tak bisa. Aku tak mau. Jika mereka memang awanku, sampai kapanpun mereka akan tetap menjadi awanku!”
suara itu tertawa. Panjang dan mencemooh.
“Kalau begitu, kau tak akan pernah punya awan yang bermuka sejati! Karena awan, selamanya tak bermuka!”
Malam itu sepi
Malam itu gelap
Malam itu mencekam
tapi malam tak kesepian
ada bulan yang selalu menemaninya
ada bintang yang selalu membuatnya tersenyum
malam..
aku ingin seperti malam…
Oleh : Mocca_chi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kamu bisa memberikan masukan, kritik dan saran untuk entry cerpen ini. Kata-kata kalian sangat membantu. Terima Kasih...